Senin, 03 Mei 2021

 

Prestasi Bahasa Indonesia dan Visi Politik Jokowi

 

Per Agustus 2019, semua siswa SD di Taiwan diwajibkan mempelajari bahasa Indonesia. Sebelumnya, bahasa Indonesia juga dipelajari di sejumlah negara di dunia misalnya Kanada, Jepang, Korsel, Australia, Ukraina, Kepulauan Hawai, dan lain sebagainya (www.idntimes.com). Bahkan, menurut peneliti bahasa dari Balai Bahasa Jawa Timur (BBJT) Yani Paryono MPd menyebutkan bahwa bahasa Indonesia saat ini sudah diajarkan oleh 46 negara di kawasan Asia, Australia, Amerika, Afrika, Eropa, maupun Timur Tengah (www.republika.co.id).

Sebaran data di atas menunjukkan bahwa bahasa Indonesia sudah terbukti go internasional. Seluruh masyarakat Indonesia pantas merasa bangga terhadap kenyataan ini. Dengan merambah dunia internasional, bahasa Indonesia sudah mengangkat harkat dan martabat bangsa kita. Artinya, dunia telah mengakui bahwa budaya kita tidak boleh dipandang sebelah mata. Budaya kita memang sepantasnya disejajarkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia, sesuai amanat pembukaan UUD 1945.

Sejak didirikan per 1945, negara Indonesia (founding father) memang memiliki cita-cita luhur yakni mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa di dunia dalam segala hal. Salah satunya ialah aspek budaya yaitu bahasa. Karena bahasa mencerminkan kepribadian dan budaya bangsa. Jadi, kemampuan bahasa Indonesia menembus dunia membuktikan bahwa kesetaraan sudah diambang mata.

Selain mengangkat martabat bangsa, kenyataan ini juga menyebabkan bahasa Indonesia akan memiliki daya tawar (bargaining) tinggi di dunia. Bahasa Indonesia bukan hanya sekadar bahasa nasional yang remeh di mata bangsa sendiri. Sebab, bahasa Indonesia lambat laun akan menjadi bahasa komunikasi internasional. Harapan ini tentu tidak terlalu muluk-muluk, mengingat fakta persebarannya yang sangat luas.

Fakta bahasa Indonesia go internasional juga memberikan sinyal bahwa bangsa Indonesia seharusnya fanatik terhadap bahasa Indonesia. Saatnya kini, seluruh masyarakat harus fanatik menggunakan bahasa dalam berbagai kesempatan baik dalam dunia tulis-menulis maupun lisan. Bangsa ini harus fanatik menggunakan bahasa Indonesia baik dalam skala even lokal, regional, maupun internasional.

Fanatisme ini harus ditularkan secara konsisten, berkesinambungan, ajeg, dan menyeluruh. Sehingga, ke depan dapat mengetuk kesadaran kaum milenial untuk bangga menggunakan bahasa Indonesia. Karena selama ini, kaum milenial terlalu bangga menggunakan bahasa asing sebagai komunikasi. Mereka terlalu bangga berkomunikasi dengan bahasa yang kebarat-baratan. Karena menurutnya, kecakapan menggunakan bahasa barat dijadikan citra status, prestise, dan simbol modernisasi (kemajuan).

  Mabuk bahasa barat ini harus segera diantisipasi. Kita harus memiliki regulasi yang jelas dan ketat untuk mengikat agar bangsa kita setia, loyal dan taat menggunakan bahasa Indonesia. Kita tidak cukup hanya mengandalkan pasal 36 UUD 1945 secara mentah. Namun, kita perlu interpretasi dan turunan yang sistematis tentang pasal ini. Dalam konteks inilah, kita perlu belajar dari Jepang misalnya. Untuk mengikat fanatisme berbahasa nasional, konon Jepang tidak mengijinkan semua buku (atau media lain) menggunakan bahasa asing. Semua buku harus diterjemahkan terlebih dahulu (ke dalam bahasa Jepang). Selanjutnya, baru boleh dicetak dan diedarkan di negaranya. Bangsa Indonesia bisa meniru strategi Jepang dalam menciptakan fanatisme berbahasa.

Regulasi juga harus menyentuh dunia pendidikan (sekolah), lembaga pemerintahan, instansi-instansi swasta, dan terutama lingkungan keluarga. Regulasi-regulasi ini harus dapat mengatur dan menciptakan kebanggaan dan fanatisme berbahasa Indonesia sejak dini dan berkelanjutkan, sehingga bahasa Indonesia kian eksis.

Fanatisme berbahasa Indonesia oleh pendukungnya, menjadi sangat penting. Apalagi, bahasa Indonesia sudah mendapat ruang yang luas di dunia. Bahasa Indonesia sedang menunjukkan kualitas dan jati dirinya di dunia internasional. Ini adalah modal besar untuk menjadi bangsa yang besar dan kuat di dunia, sesuai dengan pidato Visi Politik Presiden Joko Widodo (presiden 2019-2024) pada tanggal 14 Juli kemarin.

Dalam pidatonya, Jokowi dengan semangat nasionalis mengumandangkan kepada seluruh rakyat Indonesia akan membawa negara Indonesia menjadi salah satu bangsa terkuat di dunia. Ia sangat optimis untuk mewujudkan cita-cita mulia itu bersama 260 juta penduduk Indonesia. Cita-cita ini tentu bukan sekadar bualan. Saat ini, kita sudah memiliki modal untuk menjadi bangsa besar dan kuat yakni bahasa Indonesia.

Jadi, tidak ada pilihan lain. Seluruh masyarakat Indonesia harus terus mendukung persebaran bahasa Indonesia di dunia. Caranya, kita harus setia, loyal,  fanatik dan bangga menggunakan bahasa Indonesia. Sikap-sikap positif ini merupakan wujud nyata menguatkan bangsa. Pun wujud menghargai “sumpah sejarah” yang diikrarkan oleh barisan pemuda seluruh Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 silam. (Dayu Shinta) 

 

I Nyoman Aditya Parwangsa

Pertama Langsung Sabet Perak



Kualitas peneliti-peneliti muda asal Bali tidak boleh dipandang remeh. Dari tahun ke tahun, sejumlah peneliti muda Bali selalu menorehkan prestasinya baik di tingkat lokal, regional, nasional hingga internasional. Terbaru, peneliti asal SMAN 8 Denpasar berhasil meraih medali perak (silver) di ajang International Young Scientist Innovation Exhibition, tanggal 8-12 Juli 2019, di Mandarin Court Hotel  Kuala Lumpur kemarin. Prestasi internasional ini diraih oleh 4 anak hebat dari SMAN 8 Denpasar. Salah satunya ialah Adit.

Bersama temannya, Adit mempresentasikan hasil penelitiannya yang berjudul “Combination of Anredera Leaf Extract (Anredera Cordifolia) and Moringa Leaf Extract (Moringo Oleivera) for Lower Blood Sugar Level (Kombinasi Ekstrak Daun Binahong dan Daun Kelor Untuk Menurunkan kadar Gula)”. Dengan kehebatannya, pria bernama lengkap I Nyoman Aditya Parwangsa ini sukses meyakinkan juri hingga memperoleh medali perak.

Bagi Adit, prestasi ini sungguh di luar dugaan. Pasalnya, ia tidak memiliki latar belakang yang kuat sebagai peneliti. Pria yang lahir pada tanggal 5 November 2002 ini memulai kecintaannya terhadap research sejak kelas X (satu tahun lalu). Bermodalkan dengkul, ia iseng-iseng masuk ektra jurnalitik di sekolahnya.

Jam terbang mengikuti lomba-lomba pun masih sangat minim. Momen keikutsertaannya dalam ajang kemarin di Malaysia merupakan yang pertama kalinya. Sebelumnya, pria yang duduk dibangku kelas XI ini belum pernah sekalipun ikut lomba penelitian ilmiah baik tingkat kota, provinsi, maupun nasional. Karena itulah, dirinya tidak pernah membayangkan akan mendapat medali merak.

Minim pengalaman, tidak menyebabkan Adit minder dan patah semangat. Sebelum berangkat ke Malaysia, Adit harus konsen selama kurang lebih 2 bulan untuk menyelesaikan penelitiannya. Di samping itu, ia juga terus berlatih untuk memantapkan skil berbahasa Ingrisnya. Syukurnya, kedua orang tuanya sangat mendukung. Inilah suntikan semangat sampingan yang membuat ia makin bersemangat untuk mengikuti lomba karya ilmiah kemarin. “Di samping niat dan kemauan, dukungan papa-mama juga sangat berharga hingga aku seperti sekarang,” tutur pria berzodiak Scorpio ini.

Tiba di Kuala Lumpur, Adit sempat gentar. Pria pasangan dari I Wayan Parwata dan Ni Wayan Putri Anggeriani ini sempat pesimis. Pasalnya, jumlah pesertanya tergolong cukup banyak. Total negara yang ikut berpartisipasi ialah 10. Namun, masing-masing negara  itu mengirim banyak tim. Tim paling banyak berasal dari Malaysia. Sedangkan, Indonesia paling sedikit, hanya dua tim yaitu dari SMAN 8 dan SMAN 4 Denpasar.

Untuk mengatasi rasa grogi itu, Adit membulatkan tekadnya. Karena ia sadar, dirinya berjuang membawa nama besar RI. Beban yang tentu sangat berat bagi dirinya. Akan tetapi, ia berusaha tenang ketika mempresentasikan hasil penelitiannya. Karena dia yakin apa pun yang dilakukan dengan penuh keseriusan dan kerja keras pasti akan mendapat hasil setimpal. Filosofi inilah yang menumbuhkan rasa percaya dirinya. “Jangan berpikir pertama kali. Itu bakal bikin minder. Lakukan dengan serius, semangat, yakin, dan doa. Semua akan menjadi biasa,” ujar alumni SMP Cipta Dharma ini.

Meskipun sudah berprestasi di tingkat internasional, namun tidak membuat Adit tinggi hati. Pria berbadan tambun ini tetap dikenal sebagai sosok yang murah senyum, supel dan santun terhadap semua orang. Baginya, prestasi hanya motivasi untuk belajar lebih giat dan tekun lagi. “Prestasi bukan untuk dibangga-banggakan!” sarannya. (Dayu Tantri)

 

Diskriminasi Siswa Berprestasi: Catatan Merah PPDB 2018


Judul            : PPDB: Kekacauan Yang Tak Kunjung Henti

Penulis                   : Sintia Arnita, dkk.

Penerbit       : Madyapadma Journalistik Park SMAN

                       3 Denpasar

Halaman       : 101 halaman

Edisi            : I

Tahun terbit  : 2018

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) selalu menuai polemik. Hampir setiap tahun (termasuk tahun 2018), kisruh PPDB selalu marak dalam rekaman media massa. Tidak hanya dalam media cetak, elektronik dan termasuk di dunia medsos. Kisruh  tahunan ini menandakan bahwa sistem PPDB masih dianggap kurang sempurna. Puncaknya ialah ketika lahir sistem zonasi 90% tahun 2018 yang lalu.

Jalur zonasi 90% ini tidak hanya mengundang protes dari masyarakat (ortu), sekolah, dan termasuk dari kalangan pelajar. Pasalnya, pemerintah terlalu mengistimewakan jalur zonasi, tetapi mendiskreditkan jalur lain, terutama jalur prestasi (hanya 5 persen). Kasus diskriminasi inilah yang menjadi fokus sorotan buku kompilasi yang berjudul “PPDB: Kekacauan Yang Tak Kunjung Henti”. Buku yang ditulis oleh 14 penulis (14 artikel) asal SMAN 3 Denpasar (klub jurnalistik Madyapadma) ini mengupas secara gamblang betapa kebijakan zonasi mematikan ruang gerak siswa yang berprestasi. Kalau tidak segera dievaluasi, ke-14 penulis ini prihatin bahwa minat dan semangat siswa untuk berprestasi menjadi tenggelam.

Pada dasarnya, ada 4 turunan diskriminasi yang diulas dalam buku kompilasi ini. Namun, empat diskriminasi ini bersumber pada satu kasus jalur prestasi. Pertama, diskriminasi kuota. Dari 14 penulis sepakat menyimpulkan bahwa kuota jalur prestasi yang 5% dipandang terlalu sedikit. Tidak sesuai dengan kenyataan jumlah siswa yang berprestasi di wilayah Bali. Akibatnya, banyak siswa berprestasi tidak mendapatkan kursi di sekolah favorit.

Kedua, diskriminasi penyelenggaraan. Diskriminasi ini muncul karena tidak sembarang prestasi diakui oleh pemerintah. Pemerintah hanya mengakui piagam prestasi yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah. Sementara itu, prestasi dari lomba-lomba yang diselenggarakan oleh pihak swasta, lembaga nonpemerintah, dan termasuk sekolah tidak mendapat pengakuan dari pemerintah.

Ketiga, diskriminasi penilaian bobot (skala prioritas). Pemerintah meranking nilai atau bobot nilai prestasi berdasarkan tingkatan skala piagam. Pemerintah tidak mengkalkulasikan bobot dan jumlah piagam yang diraih siswa. Siswa yang meraih penghargaan tingkat internasional (walaupun hanya 1 piagam) akan menjadi unggul dibandingkan dengan siswa peraih prestasi tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota (meskipun banyak piagam).

Keempat, tidak ada tes ulang. Jika tahun sebelumnya, jalur siswa berprestasi harus melalui tes ulang untuk membuktikan atau mempertanggungkan penghargaan yang diraihnya. Nah, tahun 2018 siswa tidak perlu dites ulang. Mereka secara otomatis mendapat sekolah hanya bermodalkan piagam penghargaan yang diraihnya. Sistem ini dianggap tidak adil karena kasus “piagam bodong” sering berembus di masyarakat. Dengan relasi yang kuat, bisa saja siswa meraih piagam dari membeli atau memalsukannya. Kalau tidak dites ulang, tentu akan merugikan siswa yang berprestasi sungguhan.

Diskriminasi jalur prestasi muncul sebagai bentuk ego pemerintah. Pemerintah dipandang terlalu kukuh dengan sikapnya. Pihak pemerintah kurang realitis melihat kenyataan di lapangan. Selain itu, polemik jalur prestasi ini juga disebabkan oleh minimnya sosialisasi oleh pihak pemerintah ke lapangan. Banyak ortu dan siswa merasa mendadak memperoleh informasi detail tentang kebijakan jalur prestasi ini sehingga kewalahan dan kurang siap.

Berkaitan dengan kasus diskriminasi jalur prestasi, hampir semua penulis buku ini menyarankan agar kuota jalur prestasi ditingkatkan lagi. Bahkan, penulis I Putu Abiananda Klapodhyana (dalam artikelnya “Antara PPDB 2017 vs 2018”) menginginkan porsi yang seimbang antara jalur zonasi dengan jalur prestasi. Di samping itu, rata-rata penulis menyarankan piagam penghargaan harus diakui sama baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun di luar pemerintah. Pun pembobotan nilai, sebaiknya dengan sistem kalkulasi  atau total jumlah bobot atau nilai piagam. Terakhir, penulis sepakat harus ada tes ulang sebagai bentuk pembuktian.

Jika dicermati lebih dalam, ulasan artikel dalam buku ini kritis dan berimbang. Artinya, masing-masing penulis memiliki daya kritis yang tidak jauh berbeda. Ulasan-ulasan kritis ini juga diimbangi dengan fakta-fakta referensi yang ilmiah. Sehingga, artikel-artikel ini menjadi rasional,  ilmiah, dan layak dipercaya. Cara pandang penulisannya juga sangat alami. Penulis memposisi diri sebagai siswa yang pro prestasi (karena penulis siswa sekolah favorit) sehingga berseberangan dengan kebijakan pemerintah.

Meskipun ulasan sangat kritis, buku ini juga menyimpan beberapa kelemahan. Secara keseluruhan, masih menggunakan beberapa kalimat yang kurang efektif. Pun dijumpai pengorganisasi ide tulisan kurang runtut dan kurang hemat sehingga agak susah dipahami. Kelemahan kecil lainnya ialah adanya beberapa kata salah ketik.

Terlepas dari kekurangannya, buku ini sangat pantas dibaca oleh semua kalangan baik orangtua, pelajar dan terutama pemerintah. Karena buku ini merupakan representasi dan sekaligus kritik kontruktif terhadap kebijakan PPDB. Buku ini sangat bermanfaat sebagai pertimbangan untuk menghasilkan kebijakan PPDB (terutama jalur prestasi) yang lebih baik ke depan. (Adenia) 

 

Memaknai Eksistensi Penjual Atribut 17 Agustus-an

 

Meskipun masih sebulan, aroma kemerdekaan sudah mulai tercium.  Aroma ini datang dari para penjual atribut  17 Agustus-an. Mereka sudah menjajakan pernak-pernik 17 Agustusan di sejumlah titik perempatan jalan di Bali. Salah satunya di kota Denpasar. Pernak-pernik khas yang dijual berupa bendera dan ketupat bernuansa merah putih. Namun, keberadaannya masih tergolong sangat sedikit.

Penjualan atribut (pernak-pernik) 17 Agustus-an biasanya mulai marak antara penghujung bulan Juli hingga awal Agustus. Biasanya, para penjual membuka lapak di pinggir jalan yang srategis. Umumnya, mereka menjual bendera dari berbagai ukuran, kecil, sedang dan besar serta bentangan kain merah putih. Bisnis musiman ini sudah menjadi tradisi sejak lama.

Hingga kini, bisnis pernak-pernik kemerdekaan ini masih eksis. Karena, masyarakat membutuhkan mereka. Eksistensinya dianggap penting karena beberapa hal. Pertama, keberadaannya memudahkan masyarakat mendapatkan atribut peringatan kemerdekaan. Kedua, menormalkan ingatan masyarakat tentang peringatan bersejarah terutama masyarakat di kota. Karena, biasanya masyarakat kota terlalu larut dengan kesibukannya. Dengan melihat pajangan pernak-pernik 17 Agustus, maka secara otomatis ingatan masyarakat menjadi pulih. Ketiga, memberikan ruang instrospeksi dari generasi ke generasi.

Sepintas, keberadaan penjual atribut itu tampak sepele. Mereka sama saja dengan penjual pada umumnya. Menjual hasil produksi, lalu hasilnya dinikmati untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, jika kita lihat pada ingatan momen maka mereka menjadi istimewa. Sesungguhnya, mereka tidak hanya sekadar berjualan, tetapi menawarkan momen bersejarah. Momen ketika nyawa dan darah dikorbankan demi mencapai kemerdekaan. Lepas dari belenggu penjajahan.

Lewat atribut yang ditawarkan, mereka hendak mengabarkan bahwa kemerdekaan harus dirayakan secara berkelanjutan. Bung Karno pernah berujar bahwa kemerdekaan hanyalah jembatan emas. Jembatan menuju cita-cita yang diidealkan. Artinya, kemerdekaan bukan puncak atau akhir perjuangan.

Kemerdekaan harus terus dinyalakan. Tugas generasi berikutnya untuk merawat dan mengawal kemerdekaan itu. Para pejuang (dulu) mati-matian meraihnya dengan darah dan nyawa. Maka, kita (sebagai generasi penerus) harus bertanggung jawab atas warisan kemerdekaan itu dengan membangun segala sektor. Bukan hanya fisiknya (pembangungan infrastruktur), termasuk jiwanya (kualitas manusianya). Karena, sesungguhnya penjajahan di atas dunia belum berakhir.

Penjajahan (sekarang) menjelma dalam berbagai hal. Misalnya, penjajahan ekonomi, tenaga kerja, barang, jasa dan lain sebagainya. Model-model penjahan ini siap mengancam kita sewaktu-waktu. Jika kita lengah, malas, tidak berkepribadian, berjiwa konsumtif maka bersiaplah atas kehancuran kemerdekaan yang pernah dititipkan oleh para pendahulu kita.

Sebuah kedurhakaan jika kemerdekaan kita harus hancur. Entah karena faktor luar maupun faktor intern. Sebab, sinyal-sinyal itu ada dan nyata. Kasus pilpres kemarin adalah contohnya. Sesama bangsa sendiri, kita harus terbelah hanya karena beda pilihan politik. Masyarakat pendukung kubu 01 (Jokowi-Ma’aruf) dan kubu 02  (Prabowo-Sandi) harus saling gontok-gontokan dalam simbol cebong-kampret. Hingga, memunculkan ketegangan nasional yang memicu munculnya kerusuhan 21-22 Mei di depan gedung KPU dan bawaslu.

Para pejuang kita tentu merasa malu dan sekaligus marah. Jangan sampai kita terkena kutukan dari para pahlawan kita. Oleh karena itu, momen peringatan 17 Agustus ini harus dijadikan introspeksi untuk kembali bersatu memajukan bangsa Indonesia--mencapai cita-cita bersama yakni kehidupan yang adil dan makmur.

Dalam konteks inilah, kita pantas berterima kasih atas keberadaan para penjual atribut itu. Eksistensinya menyadarkan kepada kita bahwa makna kemerdekaan harus terus digali dan diinterpretasikan sesuai dinamika zaman. Kemerdekaan bukan sesuatu yang mati. Ia harus terus diingatkan dari generasi ke generasi berikutnya. Itulah pesan yang ingin disampaikan para penjual atribut itu. Kelihatannya sepele. Namun, penjualan atribut itu memberikan ruang kepada kita untuk merenung terhadap wajah kemerdekaan yang kita raih sekarang. 

Minggu, 02 Mei 2021

 

Belajar dari Guru Gaptek

Oleh

I Ketut Serawan

 

Foto: tribunnews.com
Bukan rahasia umum lagi jika dunia IT menjadi dominasi bagi kalangan anak muda (milenial). Mereka sangat piawai memanfaatkan IT dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, kaum tua cenderung gaptek. Ketimpangan ini terjadi hampir di segala sektor, termasuk dalam dunia pendidikan. Para guru muda lebih gesit memanfaatkan IT dalam pembelajaran dibandingkan dengan guru-guru berumur (tua).

Ketimpangan ini berlangsung lama. Namun, kurang ada rasa “jengah” dari kaum guru tua (gaptek) untuk belajar dan beradaptasi dengan IT. Kebanyakan dari mereka berusaha berkelit (enggan belajar IT) dengan berbagai alasan. Akibatnya, mereka terperangkap ke zona nyaman. Nyaman melakukan pembelajaran dengan cara-cara lama, yang minim memanfaatkan IT. Mereka beranggapan bahwa IT tidak berpengaruh signifikan terhadap kegiatan pembelajaran. Karena tanpa penguasaan IT, toh mereka masih dapat melakukan pembelajaran di kelas dengan lancar.

Masalah muncul ketika pandemi covid-19 melanda dunia pendidikan pada awal tahun 2020. Pemerintah tidak mengizinkan sekolah menggelar pembelajaran tatap muka. Para guru diwajibkan melakukan pembelajaran jarak jauh (online). Pembelajaran berbasis IT ini membuat para guru gaptek terperangah. Zona nyaman mereka terusik.

Pembelajaran jarak jauh (PJJ) menjadi semacam mimpi buruk bagi kaum guru gaptek. Penerapannya dirasakan begitu mendadak dan di luar prediksi. Apalagi, PJJ dijadikan satu-satunya alternatif dalam melakukan pembelajaran. Tidak hanya mengagetkan, situasi ini juga membingungkan dan membebani psikologi kaum guru gaptek.

Sistem PJJ akhirnya membuat para guru gaptek (tua) terpaksa dan memaksakan diri belajar IT. Mereka menggenjot diri belajar IT meskipun tertatih-tatih dan terlambat. Namun, kita pantas memberikan acungan jempol atas semangat mereka. Setidaknya, mereka masih memiliki spirit beradaptasi dengan IT. Artinya, masih ada tanggung jawab moral yang tinggi dari mereka. Bayangkan, kalau mereka cuek dan masa bodoh dengan IT. Muaranya jelas. Mereka akan digilas oleh teknologi. Lalu, mengapa para guru tua (umumnya) banyak yang telanjur terperangkap di zona gaptek itu?

Faktor Pendorong Gaptek

“Kegaptekkan” guru lebih banyak dipengaruhi oleh faktor intern terutama berkaitan dengan perspektif diri. Guru gaptek cenderung memiliki sikap tertutup (tidak terbuka). Mereka ingin membentengi diri dengan romansa masa lalunya yaitu nilai-nilai kebenaran pada zamannya. Sebaliknya, mereka berusaha menolak perubahan-perubahan atau nilai-nilai masa kini.

Karena itulah, IT sebagai produk modern (kekinian) sering mereka abaikan. Mereka memiliki optimisme terlalu tinggi terhadap nilai kebenaran pada zamannya. Nilai-nilai “yang dulu” itulah yang dijadikan pedoman berpikir dan bertindak.  Celakanya, beberapa “nilai yang dulu itu” kadangkala tidak melalui proses upgrade. Mereka mengaplikasikan dengan mentah-mentah. Nilai-nilai inilah yang menimbulkan benturan perspektif antara guru gaptek dengan siswa (generasi Z).

Jika guru sebagai pembentuk masa depan anak didik, sewajarnya guru bersifat terbuka dan kekinian (mengupgrade diri). Barangkali dalam bahasa remaja dikenal dengan istilah “gaul”. Bukan gaul soal penampilan fisik saja, melainkan gaul terhadap dinamika sosial, budaya, cara berpikir, dan lain sebagainya.

Karakter gaul ini membentuk pribadi dinamis sehingga guru tidak memaksakan “nilai masa lalu” yang kurang relevan kepada anak didik. Di sisi lain, guru gaptek justru kurang dinamis. Mereka membentengi diri dari nilai kekinian, termasuk pengaruh kemajuan IT.

Jika guru membentengi diri dari kemajuan IT, maka pantas kita meragukan peran mereka sebagai pembentuk “masa depan anak didik”. Jangan-jangan mereka sesungguhnya membentuk “masa lalu dirinya kepada anak didik”. Guru ingin membentuk mental anak didik ke masa lalunya. Padahal, waktu terus bergerak ke depan dengan dinamikanya.

Selain itu, “kegaptekkan” guru juga dipengaruhi oleh cara pandangnya yang negatif terhadap efek teknologi. Mereka menganggap bahwa teknologi lebih dominan berefek negatif, merusak peradaban, khususnya merusak moral anak didik. Cara pandang inilah yang memicu guru gaptek kian berjarak dengan IT.

Faktor lainnya ialah soal visioner. Guru gaptek kurang memiliki visioner. Mereka kurang peka membaca masa depan. Mereka tak sempat berpikir bahwa ke depan era digitalisasi akan menjadi budaya baru. Era yang serba instan dan cepat. Era ini ditandai dengan lompatan IT yang hampir tak terjangkau oleh rasional manusia. Jika guru gaptek, lalu bagaimana mereka menyiapkan masa depan anak didiknya. Bagaimana mungkin guru bisa menjadi agen perubahan, sedangkan mereka masih tersesat dalam “rimba” teknologi. 

Penguasaan IT menuntut kegigihan belajar, keberanian, coba-coba, dan pembiasaan. Sementara itu,  guru gaptek justru enggan belajar, kurang pemberani dan terlalu teoritis. Mereka enggan belajar IT dan kurang memiliki nyali untuk trial and error. Ketakutan guru ini disebabkan oleh mentalnya yang ingin selalu benar. Padahal, dalam proses belajar dibutuhkan nyali untuk berani salah. Karena dari salah inilah kita akan mendapatkan ruang introspeksi menuju kebenaran.

Di samping ingin sempurna (selalu benar), guru juga sering terlalu teoretis. Guru menjadi gudangnya teori. Namun, saking banyaknya memiliki teori, guru sering mandul dalam mengaplikasikannya. Teorinya memenuhi seisi ruangan kelas, tetapi mereka alpa mempraktikannya. Setidaknya, karakter ini mempengaruhi mereka menjadi gaptek. Mereka enggan melakukan praktik, padahal belajar IT harus lebih sering berlatih (praktik) dan dibiasakan secara kontinyu.

 

Solusi gaptek

Analisa terhadap guru gaptek (sebelumnya) memberikan gambaran bahwa zona nyaman gaptek mengganggu karier menjadi guru profesional. Seberapa pun hebatnya guru tua/ senior, tanpa didukung oleh kemampuan adaptasi IT—maka tetap mengurangi kadar profesionalismenya. Artinya,  profesionalisme guru mengalami pergeseran. Takarannya berubah-ubah sesuai tuntutan zamannya.

Dengan kata lain, menjadi guru profesional sekarang tidak boleh gaptek, apapun alasannya. Saatnya guru gaptek harus membuka mindset bahwa IT bukan wilayah kavlingan dari kaum muda. Siapa pun dia (guru) wajib menguasai IT. Era digitalisasi tidak memandang guru tua atau muda. Era digitalisasi menuntut setiap guru bisa “bermain” IT supaya tetap eksis dan terjaga profesionalismenya.

Momen pandemi covid-19 inilah semestinya menjadi kesempatan yang sangat baik bagi guru gaptek untuk introspeksi. Mulat sarira untuk belajar beradaptasi dengan IT. Untuk menguatkan realisasinya, ada beberapa hal yang perlu dipahami oleh guru gaptek.

Pertama, mulailah membuka diri dengan filosofi long life education. Manusia akan terus belajar seumur hidup, termasuk guru. Guru bukan manusia sempurna. Justru gurulah yang pantas memberikan teladan kepada masyarakat untuk terus semangat belajar. Gurulah yang mesti memberikan contoh bahwa belajar tak mengenal istilah tua dan terlambat.

Karena itu, kurang baik rasanya jika guru senior/ tua merasa jumawa di hadapan siswa maupun guru junior. Semua orang di lingkungan sekolah adalah manusia pembelajar. Bukan zamannya sekarang, guru gaptek (senior) merasa malu belajar IT kepada guru muda termasuk kepada siswanya sendiri.  

Kedua, guru gaptek sebaiknya low profile. Saya pernah membaca kalimat kurang lebih begini: “Semakin banyak yang kau ketahui, sesungguhnya semakin banyak pula yang kau tidak ketahui”. Kalimat filosofis ini pantas menjadi renungan bersama, terutama kalangan guru gaptek. Artinya, banyak hal yang masih perlu dipelajari ketika menjadi seorang guru.

Banyak pengetahuan dan kecakapan yang belum dikuasai oleh guru. Karena itu, guru sepatutnya berusaha mengurangi “ego menggurui”. Sebaliknya, selalu rendah hati untuk belajar dengan siapan pun dan kapan pun. Guru (terutama gaptek) sepatutnya selalu terbuka, gaul, dinamis, siap dikritik, dan lain sebagainya. Hanya dengan kerendahan hati, guru akan bisa mengurangi ego menggurui, siap dikritik dan terus mengisi diri.

Ketiga, guru gaptek mesti visioner. Belajar dari rendah hati, gaul, dinamis dan bersahabat dengan kritik, maka guru (gaptek) akan bisa berpikiran maju. Mereka siap dengan perubahan-perubahan. Guru siap bersahabat dengan nilai-nilai kekinian. Bahkan, dapat memprediksi dinamika zaman ke depan. Mental visioner ini sangat dibutuhkan oleh guru gaptek agar tetap eksis sepanjang zaman sehingga tidak menemui kendala berarti dalam menyiapkan masa depan anak didik.

Setelah terbuka dengan kesejatiannya sebagai guru, selanjutnya guru gaptek diajak melakukan langkah praktis (keempat). Bagaimana mengajak mereka belajar dengan nyata. Misalnya, sekolah menyelenggarakan pelatihan-pelatihan pembelajaran berbasis IT dengan mandiri. Dalam pelaksanaannya, sekolah dapat mengundang narasumber yang kompeten di bidangnya atau cukup memanfaatkan guru intern yang menguasai IT. Sekolah dapat mengatur frekuensi dan waktu pelatihan sesuai dengan kebutuhan sekolah. Karena setiap sekolah tentu sudah memiliki analisis atau grafik kemampuan IT tenaga pendidiknya.

Bukan hanya di sekolah, pelatihan pembelajaran berbasis IT perlu direspon di tingkat lebih tinggi misalnya di intern MGMP kabupaten/ kota. Jangan sampai MGMP hanya menggelar kegiatan berkaitan dengan perangkat pembelajaran saja. Cobalah mungkin tingkatkan intensitas pertemuan dengan menggelar pelatihan-pelatihan pembelajaran kreatif berbasis IT.

Lebih tinggi lagi, misalnya di tingkat dinas pendidikan (kabupaten/ provinsi). Lembaga ini tentu sangat bertanggung jawab dalam “membasmi” guru gaptek di wilayahnya. Semestinya dinas pendidikan sudah memiliki program dan agenda yang jelas untuk meningkatkan kemampuan IT para guru gaptek.

Kelima, hasil pelatihan harus direspon terutama oleh guru sendiri, pihak sekolah dan pemerintah. Guru gaptek harus mengadakan fasilitas IT secara mandiri dengan gaji sendiri. Jika memungkinkan disubsidi oleh pihak sekolah atau pemerintah. Kepemilikan fasilitas ini penting sebagai modal untuk latihan-latihan mandiri oleh guru gaptek di rumah. Selanjutnya, sekolah harus menyediakan fasilitas IT yang siap dijadikan media untuk mengembangkan kemampuan IT guru gaptek.

Jika guru gaptek sudah memahami kesejatiannya, rajin mengikuti pelatihan, dan membiasakan diri berlatih secara kontinyu sangat mungkin cerita guru gaptek akan tamat riwayatnya. Dari guru gaptek, kita sepatutnya bisa belajar agar tidak menjadi guru gaptek sekarang.

Mendidik Siswa, Guru Tak Mesti Membully

Oleh

I Ketut Serawan

Foto: www.liputan6.com

Kasus pembullyan di dunia pendidikan (sekolah) tidak hanya pelakunya dari oknum pelajar. Namun, pembullyan juga sering dilakukan oleh oknum guru di sekolah, baik secara verbal hingga intimidasi fisik. Sayangnya, sedikit orang yang menyadari hal ini. Rata-rata ortu, siswa, dan masyarakat menerima tindakan bully seorang guru sebagai bagian dari tindakan mendidik atau mendisiplinkan siswa.

Sebagai pendidik, guru adalah sebuah perkecualian. Mereka dianggap memiliki hak istimewa untuk menjalankan tugasnya, termasuk melakukan tindakan bullying. Padahal, siapa pun pelakunya, tindakan bullying akan berdampak buruk bagi korbannya. Mulai dari cemas, depresi, stres, tak percaya diri, bahkan bunuh diri. Namun sayangnya, pelaku dan termasuk masyarakat belum banyak yang menyadarinya.

Aroma bully  dalam dunia pendidikan setidaknya dipicu oleh dua faktor yaitu perspektif historis dan budaya. Perspektif historis bersumber dari efek penjajahan yang berlangsung hingga hitungan abad. Saking lamanya, cara-cara kekerasan model penjajahan ini sangat mempengaruhi cara pandang bangsa kita. Tanpa disadari, kekerasan sehari-hari yang dilakukan penjajah (bullying) sudah dianggap sebagai nilai kebenaran/ pembiasaan. Kemudian, nilai ini menyusup ke dunia pendidikan melalui kekuasaan sosok guru.

Dari perspektif budaya, bangsa kita memandang guru sebagai orang yang harus dihormati dan nihil dari kritik. Salah satunya dapat dilihat dari perspektif budaya masyarakat Bali. Masyarakat Bali mengenal konsep lokal jenius “alpaka guru” yaitu tidak boleh melawan guru baik terhadap guru wisesa (Tuhan), swadiaya (pemerintah), pengajian (guru), maupun rupaka (orangtua). Konsep alpaka guru ini kurang lebih bermakna bahwa guru tidak boleh dikritisi (dilawan), karena dianggap sebagai sosok yang mahatahu (sempurna). Inilah yang menyebabkan guru memiliki kekuasaan penuh (otoritas) dalam mendidik siswanya, termasuk dengan unsur bullying.

Setidaknya, dua perspektif inilah yang mungkin dijadikan landasan oleh Mahkamah Agung (MA) dalam melahirkan yurisprudensi tentang profesi guru. Yurisprudensi MA menyatakan bahwa guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa.

Karena itulah, semenjak ramai beredar video tentang kekerasan (bullying) guru yang berujung ke pengadilan, banyak guru naik pitam. Inilah yang mendorong para guru melahirkan statemen viral di dunia maya yaitu ”Orangtua Yang  Anaknya Tidak Mau Ditegur Guru di Sekolah, Silakan Didik Sendiri, Bikin Kelas Sendiri, Buat Rapor dan Ijazah Sendiri”.  

Statemen tersebut spontan mengundang ragam tafsir dari para nitizen. Banyak nitizen menafsirkan sebagai bentuk pendiskreditan dan ancaman (pemecatan anak) terhadap orangtua. Sebagian lagi, menafsirkan sebagai ungkapan menyadarkan orangtua agar menghormati dan tunduk dengan cara mendidik guru (otoritas guru) di sekolah. Ada pula yang menafsirkan sebagai respek frustasi guru dalam mendidik dan ketergantungannya dengan tindakan bully. Sisanya, menafsirkan agar orangtua tidak bersikap arogan (semena-mena) terhadap guru sehingga selalu mengedepankan penyelesaian secara kekeluargaan.

Ambiguitas Bullying

Dalam konteks kekinian, eksistensi yurisprudensi MA menjamin perlindungan guru agar nyaman menjalankan tugasnya. Namun di sisi lain, perlindungan ini rawan diselewengkan oleh oknum guru (termasuk membully) untuk alasan mendidik.

Penyelewengan ini tentu berdampak kurang baik terhadap beberapa hal. Pertama,  berdampak buruk terhadap siswa yang dibully, karena dapat menganggu perkembangan mental/ psikologisnya.  Kedua, berpotensi dijadikan contoh oleh para siswa lainnya, karena guru dianggap sebagai sosok yang digugu dan ditiru. Khawatirnya, tindakan bullying yang dilakukan guru dianggap sebagai sebuah kebenaran. Kemudian, ditiru oleh siswa (terutama anak-anak) dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di masyarakat.

Jadi, bullying yang dilakukan oleh guru selalu berpotensi menimbulkan makna ganda (tergantung perspektif dan respon siswa). Selain negatif, tindakan bullying dari guru tentu juga bermakna positif. Efeknya, malah memotivasi siswa menjadi berkarakter lebih kuat dan mandiri. Dalam konteks inilah, bullying guru tersebut dapat diterima sebagai koridor kebenaran dalam mendidik. Situasi inilah yang paling dominan dirasakan oleh masyarakat (ortu) dulunya. Akibat kepatuhan masyarakat (dulu), mereka selalu merespon positif setiap tindakan yang dilakukan oleh guru. Guru seolah-olah dianggap sebagai penguasa kebenaran yang mutlak.

Seiring perkembangan zaman, kekuasaan (kebenaran) guru mulai melonggar. Tidak semua tindakan guru direspon sebagai kebenaran. Tindakan bully guru (misalnya) sering direspon negatif, dianggap berdampak buruk, dan celakanya malah ditiru sebagai kebenaran. Dalam konteks inilah, bullying yang dilakukan guru gagal mencapai tujuan mendidik. Guru dianggap tidak mampu menjalani peran sebagai yang digugu dan ditiru, karena justru melemahkan mental dan menjadi stimulus berbuat bully (negatif) baik secara langsung maupun tak langsung.

Idealnya, pendidikan harus minim dari unsur bullying. Guru sebisa mungkin menghindarkan diri dari sikap dan tindakan membully, meskipun agak sulit. Selama ini bullying seringkali dibutuhkan dalam menjaga wibawa dan kredibilitas guru serta untuk memberikan efek jera kepada siswa. Pemanfaatan semacam ini biasanya bersifat turun-temurun. Warisan dari guru-guru model lama, yang dianggap kurang relevan untuk tipekal anak-anak milenial sekarang.

Cara-cara intimidasi (bullying) merupakan model pendidikan yang lebih mengedepankan kekuasaan, emosional, kaku, dan otoriter. Cara-cara ini akan menciptakan mental regenerasi menjadi penakut, pengecut, dan pembangkang. Efeknya, akan mengerdilkan potensi dan kreativitas para siswa. Dampak ini jelas berseberangan dengan esensi pendidikan.

Sepatutnya, guru harus terus mengupgrade dan meningkatkan profesionalismenya sehingga dapat beradaptasi dengan minat, selera, cara pandang, dan keinginan siswa. Tujuannya ialah untuk meminimalisir benturan cara pandang guru (old) dengan siswa masa kini. Sehingga, memudahkan guru meresponnya dalam wujud pembelajaran yang lebih kreatif, inovatif, ramah, sabar, dan menyenangkan.

Sejatinya, siswa di mata guru merupakan subjek pembelajaran yang tak ada habisnya. Para siswa selalu memberikan persoalan-persoalan sesuai dinamika zamannya. Karena itulah, guru tidak boleh lelah belajar memahami subjek didiknya. Caranya ialah menjaga keterbukaan dengan siswa. Guru dan siswa dapat saling mengkritisi. Guru terbuka menerima kritik dari siswa. Sebaliknya, siswa juga harus siap dikritik oleh gurunya.

Keterbukaan itu berfungsi untuk menganalisa dan memetakan kelemahan maupun kelebihan kedua belah pihak. Kemudian, data-data kelemahan-kelebihan itu dijadikan kekuatan saling mengisi untuk mendorong iklim pembelajaran yang lebih kooperatif, humanis dan terhindar dari unsur-unsur bullying.

Selain dengan siswa, komunikasi juga penting dibangun dengan ortu siswa. Guru dan ortu siswa tidak dapat dipisahkan dalam memahami subjek didik. Ortu siswa harus dapat diberdayakan sebagai pasangan yang solid. Bukan malah memperkeruh keadaan, dengan melakukan intimidasi ke pihak guru.

Karena itulah, penting sekali adanya komunikasi yang baik antara pihak guru, ortu, dan sekaligus siswa. Semuanya harus saling terbuka, hangat berdiskusi, dan selalu mengutamakan cinta kasih. Sehingga, sekolah tetap menjadi tempat yang ramah, nyaman dan menyenangkan bagi siswa. (Penulis adalah guru di SMP Cipta Dharma Denpasar) 

Sabtu, 01 Mei 2021

 

Bahasa Indonesia: Mesin Pembunuh UN

Oleh

Ketut Serawan

Hasil pengumuman pelulusan UN tingkat SMA/SMK (26/4) kemarin membuat publik kecewa. Pasalnya, angka kelulusan tahun ini menurun pada semua provinsi di Indonesia. Tragisnya lagi, turunnya angka kelulusan tahun ini disebabkan oleh jebloknya nilai siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Kontan saja membuat publik gigit jari dan bertanya-tanya. Mengapa mayoritas siswa tidak lulus pada mata pelajaran bahasa Indonesia?

Pengamat pendidikan, Arthanegara (Ketua YPLP PT IKIP PGRI Bali) menyebutkan bahwa jebloknya nilai siswa pada mata pelajaran Indonesia disebabkan oleh dua faktor. Pertama, adanya pandangan menyepelekan bahasa Indonesia dengan mata pelajaran lain. Kedua, adanya ambiguitas opsi jawaban yang membingungkan siswa dalam menentukan pilihan yang tepat.

Bahasa Indonesia sebagai pelajaran underdog (baca:disepelekan) merupakan lagu lama. Dibandingkan dengan pelajaran yang lain, bahasa Indonesia dianggap  lebih gampang bahkan sering sebagai komplementer. Pandangan ini tumbuh tidak hanya dari kalangan siswa tetapi publik secara umum.

Apa yang ada di pikiran kita jika seorang siswa ingin les privat bahasa Indonesia? Kedengarannya pasti tidak lumrah bukan? Tentu kita menyarankan tidak untuk bahasa Indonesia.  Kalau pun iya, kita akan menyarankan anak les untuk mata pelajaran yang lain. Inilah bukti yang tak terbantahkan bahwa asumsi sepele terhadap pelajaran bahasa Indonesia sudah mengakar sejak lama pada diri kita sendiri (masyarakat).

Jadi, jika Arthanegara baru mengungkap masalah ini ke permukaan semata-mata karena momen. Kebetulan tahun ini anak-anak kita tersandung oleh nilai bahasa Indonesia. Kalau tidak, publik tentu tidak memberikan perhatian pada pelajaran bahasa Indonesia.

Di luar anggapan, pemicu lain jebloknya nilai siswa ialah kemiripan opsi jawaban soal. Kemiripan opsi jawaban soal tidak hanya menjadi kesulitan bagi siswa. Sesama guru bahasa Indonesia pun tidak jarang menimbulkan beda pendapat terhadap pilihan yang tepat.

Artinya, tidak serta merta guru bahasa Indonesia bisa menjawab semua soal dengan mudah. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagai sebuah ilmu, bahasa Indonesia memiliki kesulitan tersendiri layaknya pelajaran-pelajaran yang lain. Namun, sebagai alat komunikasi bahasa Indonesia jelas dianggap mudah. Di sekolah, bahasa Indonesia yang diujikan bukan fungsinya sebagai alat komunikasi, melainkan ilmunya. Hal inilah yang kurang disadari publik.

Kemiripan opsi jawaban hanya salah satu bentuk untuk menciptakan tingkat kesulitan soal bahasa Indonesia. Tingkat kesulitan soal sebagai bahasa nasional memang mesti dibedakan dengan bahasa asing (seperti bahasa Inggris, bahasa Jepang dan lain-lainnya). Opsi jawaban bahasa asing boleh saja kentara satu sama lain. Namun, jika opsi jawaban bahasa Indonesia dibuat kentara seperti bahasa asing jelas tidak proposional. Tampaknya hal ini sering luput dari pemahaman siswa, termasuk publik.

Selain anggapan dan bentuk opsi, faktor pemicu jebloknya nilai bahasa Indonesia sebetulnya karena siswa malas membaca. Keluhan yang sering dilontarkan siswa ketika akan mengerjakan soal bahasa Indonesia ialah ”Ah...soal bahasa Indonesia, malas bacanya”.

Soal bahasa Indonesia memang lebih didominasi oleh bacaan atau ilustrasi soal. Dibutuhkan waktu yang ekstra dalam membaca dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain. Oleh karena itu, kecermatan dan ketelitian siswa menjadi taruhan dalam memahami  butir-butir soal.

Kenyataannya, siswa justru enggan mengerjakan soal bahasa Indonesia karena malas membaca soal. Kemalasan ini dipicu lagi dengan bentuk soal pilihan ganda. Siswa yang mengalami ’frustasi baca’ tinggal menunggu jawaban teman dan/ atau langsung membuat bulatan di sekitar a, b, c atau d.

Budaya Baca Siswa

Dari tiga faktor penyebab jebloknya nilai bahasa Indonesia, muaranya ialah rendahnya budaya membaca di kalangan siswa. Masalah menyepelekan, opsi yang mirip bukan masalah besar jika budaya membaca tumbuh dan berkembang di kalangan siswa. Budaya membaca menimbulkan daya baca yang tinggi--yang berujung pada kecerdasan dan kekritisan pada siswa. Kecerdasan dan kekritisan merupakan alat untuk menentukan opsi jawaban dengan tepat.

Persoalannya, bagaimana dunia pendidikan (sekolah) kita mampu memotivasi siswa untuk membudayakan membaca. Selama ini sekolah hanya ingin mencari hasil instan dari tujuan pembelajaran namun sering mengebiri budaya membaca pada siswa. Hingga kini masih berkembang model pembelajaran ‘gurusentris’. Guru menjadi pusat ‘serba tahu dan pemberi tahu’ pada siswa. Akibatnya, siswa diam menunggu keringkasan pengetahuan guru. Model ini jelas tidak mengupayakan siswa untuk membaca dan menggali secara mandiri.

Media pembelajaran seperti LKS juga merupakan cermin bagaimana budaya baca siswa hendak dikerdilkan. LKS dengan keringkasannya mendidik siswa untuk membaca sesedikit mungkin untuk berlatih menjawab soal sebanyak-banyaknya. Pun ketika musim siswa menghadapi UN, guru mendrill para siswa dengan rangkuman-rangkuman materi untuk alasan efisiensi waktu. Di sisi lain, budaya membaca melonggarkan siswa membaca sebanyak mungkin untuk membentuk konsep dan pengetahuan.

Oleh karena itu, sudah sepantasnya sekolah (khususnya para guru) menghindarkan siswa dari iklim pengerdilan budaya baca. Media dan model pembelajaran yang tak memotivasi siswa untuk membaca sebaiknya segera direnovasi dan ditanggapi dengan kreatif. Kalau tidak, bukan tidak mungkin tahun berikutnya siswa akan tersandung oleh “batu  bahasa Indonesia” lagi. Penulis, guru swasta ‘warawiri’ di Denpasar.