Eks Pelabuhan Sanur: kini Sudah Tak Melayani Penyeberangan Penumpang Lagi |
Meski
berulang-ulang, perayaan hari raya Galungan di kampung saya dulu (tahun 90-an, Nusa
Penida, Bali) tetap dirasakan greget.
Gregetnya tampak dari hari III, II
dan I sebelum hari raya Galungan. Selama 3 hari inilah denyut Galungan terasa, yang ditandai dengan arus
mudik yang tak biasa dari Bali seberang. Para pemudik datang dari Pelabuhan Sanur
ke Pelabuhan Dermaga Banjar Nyuh-NP, dengan jukung
bermesin yang overload dan standar safety yang minim, demi
merayakan Galungan di kampung halaman bersama keluarga.
Selama 3 hari menjelang Galungan,
Dermaga Banjar Nyuh (DBY) bisa kedatangan jukung
lebih dari 4-5 perharinya (normalnya, 1 jukung
perhari). Jumlah penumpangnya pun tidak main-main. Jika kapasitas normalnya berkisar
80-90, maka menjelang Galungan bisa mencapai 120 lebih. Para penumpang yang
rindu kampung halaman itu duduk seperti be
pindang mulai dari belakang dekat mesin jukung
, dalam bodi jukung, ujung depan
hingga di atas atap jukung.
Situasi overload ini diperparah oleh barang bawaan penumpang yang
tergeletak serampangan. Namun demikian, tidak menyurutkan beberapa penumpang
(yang perokok) menyemburkan asap rokoknya secara sporadis. Asapnya meluber ke
hidung-hidung penumpang lainnya bersama parfum, bau ayam, bau bebek dan bau-bau
lainnya.
Namun, kondisi tak nyaman itu tidak
membuat para pemudik kapok. Mereka tetap saja berniat besar untuk pulkam setiap
menjelang Galungan. Tidak peduli apapun proses yang harus dilewati. Karena itu,
menjelang hari raya Galungan, Pelabuhan DBY selalu kebanjiran orang (pemudik
Galungan).
Situasi yang tak biasa tersebut
sekaligus menjadi kesempatan bagi persatuan ojek di DBY. Ketika jukung mendarat, puluhan tukang ojek langsung
menyerbu penumpang dengan rayuan mautnya. Tawar-menawar harga liar dimulai. Biasanya,
tak butuh waktu lama. Negosiasi segera disepakati. Si tukang ojek langsung
mengambil tangan sang penumpang yang cantik beserta barang bawaannya. Spontan
sorak-sorai masyarakat memecah keramaian pelabuhan.
Di samping tukang ojek, ada sekelompok masyarakat
biasa yang iseng cuci mata. Para pencuci mata itu kebanyakan dari kalangan
pemuda. Mereka ikut berbaur hanya untuk bersorak-sorai dan menonton pemudik
cantik, seksi, montok yang berdandan ala anak metropolitan.
Zaman itu, ojek menjadi satu-satunya
alternatif tranportasi darat yang efektif dan digemari masyarakat. Sepeda motor
dapat mengantar penumpang hingga depan rumah, walaupun melewati jalan setapak
nan terjal. Karena itu, pilihan motor yang digunakan biasanya RX Special, RX
King dan GL Pro.
Ketiga motor tangguh ini berderu di atas
jalan beraspal kasar dan sempit. Tampak wajah-wajah tukang ojek ceria
membonceng pemudik metropolis yang berbusana pendek dan ketat, dengan parfum sedikit
menyengat, kulit halus mengkilap, kaki mulus serta rambut terurai ditiup angin.
Jalanan mendadak menggeliat. Para
tukang ojek mengangkut pemudik modis secara sambung-menyambung. Mirip pesta arak-arakan.
Membuat siapa pun yang melihat spontan melototkan mata, walau hanya sekejap.
Maklum, lari motor si tukang ojek tidak
ada yang pelan. Mereka mengendarai motornya dengan sekencang mungkin agar mendapatkan
penumpang di pelabuhan lagi. Semakin cepat, maka berpeluang besar untuk
mengangkut penumpang lebih banyak. Peluang ini sangat dimaksimalkan oleh tukang
ojek, sebab masih jarang orang memiliki sepeda motor pribadi. Hanya sedikit
orang yang memiliki sepeda motor dan dimanfaatkan untuk ngojek guna meraup
rezeki menjelang hari raya Galungan.
Tren
Menjadi TKW
Jika diamati lebih detail, para pemudik
itu didominasi oleh kaum perempuan. Usianya masih belia, sekitar 13-18 tahunan.
Umumnya, mereka bekerja sebagai TKW di Pulau Bali. Mereka mendapat izin pulang,
merayakan hari raya Galungan bersama keluarga setiap enam bulan kalender Bali.
Akhir tahun 80-an dan sepanjang tahun
90-an, bekerja sebagai TKW seolah-olah menjadi tren. Kebanyakan perempuan-perempuan
belia (waktu itu) hanya kuat bersekolah pada tingkat SD. Tamat dari SD, mereka
berlomba-lomba bekerja menjadi TKW di kota-kota, Bali seberang (Denpasar,
Badung, Gianyar).
Bahkan, yang tidak sabar, beberapa
langsung berhenti sekolah. Ada yang berhenti waktu kelas 5 atau kelas 6 SD. Mereka ikut-ikutan
mengadu nasib menjadi TKW di Bali seberang, termasuk saudara sepupu saya. Dari
8 saudara sepupu saya, hanya satu yang mampu menamatkan diri dari bangku SD.
Sisanya, adalah putus sekolah. Semuanya pernah menjadi TKW di Bali daratan.
Zaman itu, kesadaran akan pendidikan
tinggi memang masih kurang di kampung saya dan beberapa desa lainnya. Pendidikan
dianggap sebagai pemborosan dan tidak menghasilkan uang. Maklum, ekonomi
masyarakat kala itu masih rendah.
Per tahun 2011 saja, Badan
Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, KB dan Pemerintahan Desa Kabupaten
Klungkung mencatat bahwa angka
kemiskinan terbesar di Klungkung disumbangkan oleh Kecamatan NP yang mencapai
48,8 % (hampir 50 persen). Sementara Klungkung 13,14 %, Banjarangkan 11,98 dan
Dawan 11,38 %. (https://media.neliti.com/media/publications/44256-ID-profil-penduduk-miskin-didesa-desa-pesisir-nusa-penida-kabupaten-klungkung.pdf).
Di samping karena faktor geografis, kondisi
kemiskinan dulu juga dipicu oleh jumlah anggota keluarga. Setiap KK, rata-rata
harus menghidupi lebih dari 4 anak. Dengan melepaskan anak sebagai TKW, bisa
jadi sangat membantu meringankan beban ortu waktu itu. Karena itulah, beberapa
anak laki-laki juga ikut-ikutan menjadi tenaga kerja. Lapangan pekerjaan yang
sempit di kampung, beban hidup ortu yang berat, membuat mereka harus hengkang
ke kota seberang.
Begitulah dulu. Zaman ketika partai
Golkar menjadi superior, sedangkan PPP dan PDI hanya menjadi pesaing hiburan.
Zaman ketika gedung SD Inpres sudah berjamuran di desa saya. Sayangnya,
kesadaran pendidikan warga masih belum terbangun optimal.
Pendidikan tinggi masih dipandang remeh
oleh masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dari dagelan-dagelan obrolan
masyarakat dalam kesehariannya sebagai berikut: “Ngudiang sekolah tegeh-tegeh. Nyen kal ganti? Presiden nu hidup.
Menteri nu seger.” (Ngapain sekolah tinggi-tinggi. Siapa mau diganti?
Presiden masih hidup. Menteri masih sehat).
Itulah dagel-dagelan yang berkembang
kuat.di kampung saya. Zaman ketika Soeharto dan Harmoko menjadi penguasa tv.
Presiden dan menteri penerangan (tak tergantikan) masa orba ini hampir tidak
pernah absen dari TVRI. Apakah dagelan ini sebuah otokritik terhadap Soeharto
yang tak tergantikan sepanjang orba? Atau jangan-jangan dagelan itu sangat
politis hendak mengukuhkan Soeharto sebagai presiden seumur hidup? Entahlah.
Yang jelas, efek dagelan itulah yang
mungkin membentuk mind set masyarakat
menyekolahkan anaknya cukup di tingkat SD saja. Masyarakat menilai bahwa
pendidikan terbatas pada pembebasan diri dari kasus buta huruf. Yang penting
anak-anak memiliki kemampuan membaca huruf, menulis huruf dan menghitung dasar.
Modal ini sudah dirasakan cukup.
Karena itu, tamat SD, mereka diarahkan
untuk bekerja di Bali seberang. Kondisi ini (secara tak sadar) menyebabkan siswa
tidak memiliki visi pendidikan. Cukup sampai SD. Yang penting sudah bisa baca,
tulis dan menghitung. Selanjutnya, mereka siap bekerja di kota-kota Bali
seberang.
Setelah bekerja di kota, setiap 6 enam,
mereka diberikan kesempatan pulang ke kampung halaman, NP. Kelompok inilah yang
paling mendominasi arus mudik menjelang Galungan di pelabuhan DBY. Sisanya
ialah dari kalangan pedagang, pelajar, mahasiswa dan pekerja profesional
lainnya. Namun, kelompok pekerja usia sekolah inilah yang menggetarkan denyut
perayaan Galungan di NP—termasuk pasca Galungan.
Satu hari setelah Galungan, kelompok
pekerja usia sekolah ini nongkrong (bertemu)
di satu titik lokasi, Dermaga Banjar Nyuh. Mereka menikmati deburan ombak,
langit, dan laut di atas DBY sambil cuci mata, mencari kenalan bahkan memadu
asmara. Di samping itu, ada pula masyarakat umum, para orang tua dan anak-anak
dengan baju barunya.
Manis Galungan terasa begitu meriah. Sepanjang
dermaga dipadati orang dari berbagai desa di NP. Mungkin inilah momen yang paling
besar bagi para pekerja usia sekolah untuk mencari kenalan dan menjalin asmara.
Karena esoknya, mereka harus balik. Kembali bekerja dengan kesibukan
masing-masing sebagai tenaga kerja di Bali seberang.
Tren menjadi tenaga kerja usia sekolah
ini pelan-pelan mulai berkurang ketika budidaya rumput laut berkembang di NP. Setidak-setidaknya,
anak-anak dapat menamatkan diri dari SMP dan SMA. Seiring peningkatan
penghasilan rumput laut, kesadaran bersekolah ikut terbangun. Generasi remaja
tahun 90-an, bertani rumput laut sambil membiayai sekolahnya sendiri.
Kesetaraan gender mulai tampak. Awalnya,
hanya kaum laki-laki yang diprioritaskan mengenyam pendidikan tinggi. Sedangkan,
kaum perempuan tetap diarahkan bekerja menjadi TKW. Akan tetapi, seiring
dinamika, kaum perempuan juga ikut mengenyam pendidikan hingga menengah ke
atas. Hingga memasuki tahun 2000-an, pendidikan kaum perempuan dan laki-laki
kian mendapatkan kesetaraan.
Generasi pekerja usia sekolah ini kian
tenggelam. Mereka memasuki fase berkeluarga dan taat dengan program KB.
Generasi yang lahir kian mendapatkan kesetaraan gender, termasuk dalam hal
pendidikan.
Zaman kesetaraan itu pula yang menutup
lemba-lembar kemeriahan perayaan Galungan ala dulu di NP. Tak ada lagi cerita jukung overload dan deru suara RX Spesial, RX King dan GL Pro. Tak ada lagi
anak-anak berkumpul, bermain dan menggenakan baju baru. Tak ada lagi cerita
nasi beras yang istimewa. Tak ada lagi titik kerumunan massa secara massif sebagai
ikon kemeriahan Galungan.
Sudah tak ada lagi sekarang! Kini greget perayaan Galungan sudah bergeser.
Bergeser ke dalam kemeriahan status di dunia gadget. Orang-orang lebih senang merayakan Galungan sendiri-sendiri.
Anak-anak, remaja dan termasuk orang tua sangat menikmati kemeriahan perayaan
Galungan lewat gadgetnya
masing-masing di rumah.