Senin, 16 September 2019


Legenda Pasih Uug (Broken Beach), Alarm Leluhur yang Tak Pernah Tidur
Oleh
I Ketut Serawan

Berwisata ke Pulau Nusa Penida tidak menjadi lengkap tanpa menikmati objek Pasih Uug (PU). Objek yang berlokasi di belahan barat Pulau Nusa Penida (Sompang) ini memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan objek-objek wisata lainnya. Ia tidak hanya memiliki pesona alam yang eksotis, tetapi juga menyimpan legenda (cerita) visioner, yang tidak dimiliki oleh objek-objek wisata lainnya. Legenda visioner yang tak pernah tidur, karena selalu kontekstual dengan dinamika kehidupan masyarakat Nusa Penida.
Bahkan dalam konteks sekarang, ketika kehidupan pariwisata kian melejit di Pulau Nusa Penida, eksistensi legenda Pasih Uug menjadi sangat penting. Legenda ini seolah-olah terjaga dan bangkit. Bangkit menjadi “alarm leluhur” bagi masyarakat Nusa Penida. Alarm agar kita senantiasa menjaga keharmonisan dengan lingkungan (alam).
Pesan harmonisasi itu tercermin dari kasus disharmonisasi dalam peristiwa legenda Pasih Uug. Legenda PU membeberkan tentang kebohongan warga demi kepuasan perut semata. Konon dulu, areal Pasih Uug merupakan sebuah perkampungan. Suatu hari, masyarakat setempat mendapat berkah yaitu seekor ular besar yang terjebak dalam perkampungan. Kemudian, ular itu ditangkap dan dibunuh beramai-ramai. Dagingnya, dimasak dengan berbagai olahan. Kenikmatan daging ular itulah yang membingkai warga dalam sebuah pesta. Anak-anak, remaja, dewasa hingga kakek-nenek berkumpul dalam satu tempat. Berpesta pora untuk melampiaskan syahwat perutnya.
Namun, pesta syahwat perut itu tidak berlangsung lama. Kerumunan pesta pora mendadak terganggu oleh kehadiran seorang kakek. Ia menanyakan jejak seekor ular raksasa di kampung itu. Namun, tak satu pun warga menjawab dengan jujur keberadan ular yang dimaksud. Padahal, ular sudah disantap secara massal oleh para warga.
Karena merasa sangsi, sang kakek pun menguji kejujuran warga dengan sebatang lidi. Ia menancapkan sebatang lidi di atas permukaan tanah. Selanjutnya, para warga diminta untuk mencabuti lidi itu. Sebuah tantangan yang dianggap remeh oleh para warga. Mereka berebutan mencabuti lidi itu, tetapi tidak ada yang berhasil. Akhirnya, sang kakek mencabuti lidi tersebut seorang diri dengan mudah. Bersamaan dengan itu, lubang bekas tancapan lidi mengeluarkan air. Para warga menjadi panik dan kaget, karena semakin lama, kian deras dan besar, hingga menenggelamkan perkampungan itu. 

Relevansi Legenda Pasih Uug
          Legenda Pasih Uug mengajarkan kita tiga hal penting yang berkolerasi erat. Pertama, soal eksploitasi alam yang berorientasi kepada perut. Kasus (korban) eksploitasi ini melekat pada ular besar. Ular merupakan representasi dari alam, yang mesti dijaga kelangsungan hidupnya. Namun, warga tidak menyadari hal itu. Mereka lebih memilih mengeksploitasi ular (alam) secara masif untuk perut generasi pada zamannya. Mereka tidak memikirkan kelangsungan hidup regenerasi berikutnya. Karena itu, mereka memilih membunuh ular itu, lalu mengolah dan menghidangkannya untuk memanjakan perut.
            Kedua, soal religiusitas manusia yang rendah. Pada masyarakat yang “perut-isme” (orientasi perut), nilai relegi cenderung diabaikan. Rasa empati, rasa cinta, welas asih dan kejujuran menjadi kurang penting. Sebaliknya, kepuasan duniawi (orientasi perut) merupakan kebutuhan prioritas yang segera dan harus terlampiaskan, meskipun pemenuhannya sering berlawanan dengan moral (berbohong). Tindakan inilah yang tergambar dalam legenda PU. Ujian daging ular adalah pembuktian betapa nilai relegiusitas warga sangat rendah. Mereka tergoda untuk menikmati dagingnya secara membabi buta. Daging yang sebetulnya bukan menjadi haknya (bukan peliharaan warga). Parahnya, para warga tidak pernah mengakui tindakannya. “Perut-isme” membuat warga khilaf, gelap, dan kehilangan kebijaksanaan. Mereka hanya mampu melihat secara terang soal “lapar” dan “kenyang”.
            Ketiga, melanggar kearifan lokal Bali yakni tri hita karana (parhyangan-hubungan manusia dengan Tuhan, pawongan-hubungan sesama manusia, dan palemahan-hubungan manusia dengan lingkungan/ alam). Eksploitasi ular (simbol alam) merupakan kegagalan manusia dalam menjaga keharmonisan dengan alam. Kegagalan ini berimbas kepada kearifan lokal Bali lain yaitu karmaphala (hukum sebab-akibat). Perbuatan (karma) yang kurang baik, pasti mendapat hasil (pahala) yang kurang baik. Sebaliknya, perbuatan yang baik, pasti mendapatkan hasil (dampak) yang baik pula.
            Aspek lingkungan, relegiusitas, dan kearifan lokal dalam legenda PU merupakan cermin masa lampau. Cermin yang pantas dipakai masuluh oleh masyarakat Nusa Penida sekarang agar dapat menjaga harmonisasi dengan parhyangan, pawongan, dan terutama palemahan--dengan cara meningkatkan kepedulian lingkungan, relegiusitas, dan kearifan lokal ke-Bali-an kita. Nilai-nilai kehidupan ini harus dijadikan fondasi mengingat “ular pariwisata” sudah berada di tengah perkampungan Pulau Nusa Penida.
            Lalu, bagaimana kita menyikapi “daging ular pariwisata” itu? Apakah kita akan membunuh dan menyantap dagingnya secara masif untuk memenuhi nafsu liar perut kita (“pariwisata perut”). Atau kita jaga, pelihara, dan nikmati seperlunya agar berkembang secara berkelanjutan dengan konsep “pariwisata otak”? Terserah. Masing-masing akan memiliki konsekuensi. “Pariwisata perut” akan membuat masyarakat berebut secara masif daging pariwisata untuk kepentingan (kenyang) sesaat. Kita akan berpesta dan mabuk mengeksploitasi alam. Lalu, tibalah sang kakek (simbol waktu) akan mencabut lidi itu dan menenggelamkan semuanya.
Sebaliknya, “pariwisata otak” akan membuat kita bijak dan visioner  menikmati seperlunya, sambil tetap menjaga perkembangan dan kelangsungan hidupnya. Inilah pesan sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh para leluhur kita lewat legenda PU. Pesan ini menandakan bahwa para leluhur kita (dulu) hidup dari tatanan masyarakat yang visioner. Mereka sudah memiliki wawasan lingkungan jauh sebelum pakar lingkungan dan LSM-LSM lingkungan berjamuran seperti sekarang. Bahkan, mungkin jauh sebelum konsep tri hita karana membumi di Bali.
Artinya, legenda PU diciptakan dengan penuh pertimbangan dan kematangan. Ia merupakan alarm, yang bunyinya akhir-akhir ini semakin terdengar kencang. Sangat kencang di tengah serbuan pariwisata yang sporadis (belum tertata rapi) di Pulau Nusa Penida.  Apalagi mengingat pariwisata Nusa Penida mengandalkan basis alam yaitu pantai, laut, dan perbukitan.
Sumber-sumber potensial tersebut harus dijaga dengan kesadaran lingkungan, relegiusitas, dan kearifan lokal. Dalam konteks inilah, gagasan legenda PU menjadi penting untuk terus diinterpretasikan dari perspektif zamannya (sekarang). Mungkin dalam tren sekarang, dapat menjadi cikal bakal konsep ekowisata.
Konsep ekowisata tidak hanya mementingkan tentang kelestarian alam (konservasi alam), termasuk memberdayakan masyarakat setempat dan melibatkan interpretasi serta pendidikan lingkungan. Konservasi alam adalah pelestarian alam agar memiliki nilai guna yang tinggi di masyarakat. Nilai guna pada konservasi alam dapat menjadikan lingkungan tersebut sebagai penghasil devisa bagi suatu daerah. Pemberdayaan masyarakat lokal berkaitan dengan keharusan masyarakat setempat (yang tinggal di sekitar kawasan lingkungan tempat wisata) mendapatkan pekerjaan yang merupakan dampak bagi lingkungan tempat wisata tersebut. Sementara itu, kesadaran lingkungan hidup bermakna memperhatikan ulah masyarakat setempat dan ulah pengunjung. Keduanya harus sama-sama memperhatikan keindahan lingkungan tempat wisata (https://dosengeografi.com/pengertian-ekowisata/).
Konsep ekowisata akan membangun kesadaran lingkungan warga sekitar dan pengunjung agar memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi sehingga kelestarian lingkungan dapat terlaksana dengan baik. Apabila masyarakat sekitar dan pengunjung tidak memperhatikan lingkungan sekitar tempat wisata maka yang terjadi adalah ketidakmampuan lingkungan dalam beradaptasi secara fisik. Kedua, membentuk pengalaman positif bagi pengunjung dan tuan rumah sehingga menciptakan hasrat untuk berkunjung kembali. Ketiga, menghargai keyakinan spiritual daerah tempat wisata sehingga pengunjung dapat menjaga sopan santun dan tata krama dalam bertamu sebagai bentuk menghargai keyakinan spiritual daerah sekitar tempat wisata.
Mengingat basis daya tarik Pulau Nusa Penida pada pesona alam, barangkali sangat cocok dikembangkan menjadi pariwisata berkarakter ekowisata, sambil mengedukasi warga setempat secara bertahap. Edukasi ini dimaksudkan agar rata-rata kualitas SDM dan kesadaran lingkungan warga setempat dapat terus meningkat signifikan.
Di samping itu, Pulau Nusa Penida tampaknya juga memenuhi kriteria sebagai pengembangan ekowisata. Daerah yang biasa dijadikan kawasan ekowisata, baik di luar negeri maupun dalam negeri ialah (1) daerah atau wilayah yang diperuntukkan sebagai kawasan pemanfaatan berdasarkan rencana pengelolaan pada kawasan seperti Taman Wisata Pegunungan, Taman Wisata Danau, Taman Wisata Pantai, atau Taman Wisata Laut, (2) daerah atau zona pemanfaatan pada Kawasan Taman Nasional seperti Kebun Raya Bogor, Hutan Lindung, Cagar Alam, atau Hutan Raya, dan (3) daerah pemanfaatan untuk Wisata Berburu berdasarkan rencana pengelolaan Kawasan Taman Perburuan (https://studipariwisata.com/analisis/ecotourism-pariwisata-berwawasan-lingkungan/).
Jadi, ekowisata merupakan pariwisata yang “ber-periketuhanan”, berperikemanusiaan, dan “ber-perikelingkungan”. Konsep idealis ini sebetulnya sudah lama membiru bersama laut legenda Pasih Uug. Dan bersama debur ombak, legenda PU selalu membawa pesan perdamaian lingkungan. Kalau kita tidak bisa menangkap filosofis pesan itu, dan malah mengeksploitasi alam secara tak bermoral, maka sang kakek (tokoh legenda PU) sebagai simbol waktu akan siap mencabut lidi karmaphala itu. (Penulis adalah guru swasta di SMP Cipta Dharma Denpasar)

Pariwisata Nusa Penida:
Antara Broken Beach dan Broken-Broken Lainnya

Oleh
I Ketut Serawan

                                                                                              Foto: https://backpackerjakarta.com

            Sektor pariwisata di Pulau Nusa Penida kini kian melejit. Sejumlah penduduk lokal-asli (yang semula rantauan di berbagai daerah), semakin sering bolak-balik mengurus kepentingan bisnis pariwisata di tanah Nusa. Sementara, yang memiliki spekulasi tinggi sudah memilih pulang kampung dan menetap di pulau ini. Para spekulan ini berasal dari berbagai kalangan seperti sopir, tukang instalasi listrik, guide, pengusaha akomodasi pariwisata dan lain sebagainya. Kehadiran para pelaku-pelaku (rantauan) ini secara sistematis juga menstimulus kecepatan warga lainnya berkompetisi di dunia perakomodasian. Akibatnya, laju sumringah warga menjadi tidak sebanding dengan kesiapan infrastruktur yang ada di Nusa Penida.
            Semakin hari eksistensi akomodasi pariwisata (hotel, hostel, resort, cottage, villa, dll) makin bertambah pesat. Kehadiran transportasi juga kian bertambah signifikan. Tukang-tukang bangunan menyerbu Nusa Penida. Sebaliknya, infrastruktur pendukung seperti jalan, lampu penerangan jalan, rumah sakit, air bersih, listrik semakin keteteran. Kondisi ini menyebabkan Pemda Klungkung terus berjibaku menggenjot pembangunan infrastruktur di Pulau Nusa Penida.
Selama ini, Pemda Klungkung sudah berusaha maksimal memuluskan (hotmix) jalan secara bertahap, bukan pelebaran. Karena potensi pelebaran jalan utama masih sangat terkendala dengan berbagai faktor klasik. Akibatnya, jalanan yang sempit plus rusak pinggir kiri/ kanan, tak mampu mengakomodir jumlah kendaraan yang ada. Jumlah kendaraan dipastikan akan terus mengalami peningkatan mengingat jumlah kunjungan wisatawan juga bertambah. Pada tahun 2018, jumlah realisasi kunjungan wisatawan mencapai 253.472 orang per hari dari target semula 343.979. Pada tahun 2019, pemda Klungkung menargetkan hingga 543.979 (radarbali.jawapost.com). Angka-angka ini  menyebabkan cerita macet bukan lagi monopoli kota metropolitan, melainkan bagian dari Nusa Penida. Kondisi real ini dapat dilihat ketika jam-jam penjemputan tamu dari pelabuhan menuju objek-objek wisata di Nusa Penida. Begitu juga sebaliknya.
Waktu antar-jemput tamu merupakan kekuasaan musiman dari para sopir atas badan jalan di Nusa Penida. Mereka, para sopir travel atau personal menjadi penguasa tunggal. Hegemoni ini (terutama) dimiliki oleh para sopir yang mengantar dengan sistem paket tour sehari. Mereka (para sopir) harus berpacu dengan waktu agar sesuai dengan jam balik speed boat dari Nusa menuju Bali daratan. Alasan deadline, sering membuat beberapa sopir (tidak semua sopir) mengabaikan “moral berkendaraan” di jalan. Mereka sering mengabaikan keselamatan pejalan kaki dan pengendara lain (terutama pengendara sepeda motor). Cukup banyak komplin masyarakat yang diunggah di medsos terhadap ulah para sopir itu. Mulai dari “memakan” jalan secara sepihak, menyerempet, hingga menimbulkan kecelakaan.
Namun, komplin-komplin masyarakat tidak memiliki kekuatan mengubah mental berkendara para sopir.  Karena alasan on time dan “dewa dolar”, mungkin jauh lebih berharga daripada keselamatan orang lain. Kondisi ini seolah-olah sudah menjadi ikon maaf “broken lain” di Nusa Penida, selain Broken Beach. Dua broken yang tentu saja bertolak belakang.

Broken Beach dan Broken-broken lainnya
Broken Beach menimbulkan pesona alam, menjadi magnet para wisatawan, dan menciptakan klangenan (rindu). Sebaliknya, “broken sopir” justru menimbulkan ketaknyamanan tidak hanya bagi para wisatawan, pun penduduk setempat. Kita berharap model broken ini tidak berkembang dan menjadi parasit pariwisata di Nusa Penida. Karena sebagai daerah yang baru berkembang, broken-broken yang lainnya masih membayang-banyangi pulau ini. Misalnya, rumah sakit, listrik, air bersih hingga kini masih saja menjadi broken lain di dunia perpariwisataan Nusa Penida.
Hingga kini eksistensi rumah sakit setempat masih belum memadai. Tidak hanya minim secara sarana dan prasarana fisik, termasuk sumber daya manusianya (tenaga medis). Listrik yang sering padam (hanya mengandalkan listrik PLN) dan air PDAM yang kembang kempis juga menjadi catatan broken lainnya. Menyehatkan broken-broken infrastruktur fisik ini tentu tidak segampang kita duga. Pasalnya, orientasi anggaran masih mengandalkan APBD Klungkung, yang meskipun belakangan ini sudah mengalami peningkatan seratus persen.
Pemda Klungkung mengklaim bahwa kenaikan PAD 100% persen dapat tercapai dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun, melalui empat komponen utama yaitu pajak daerah, pajak retribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang disahkan dan komponen lain-lain PAD yang sah (Tribunnews.com). Pada tahun 2017 di tahun keempat kepemimpinan Bupati Suwirta, PAD Kabupaten Klungkung menunjukkan angka senilai Rp 153,37 miliar, meningkat sebesar 127,5% dari tahun awal kepemimpinan Bupati Suwirta. Perlu diketahui pada tahun 2013, PAD Klungkung hanya sebesar Rp 67,4 miliar.
Terkait dengan pendapatan pajak dan retribusi daerah, dari sektor pariwisata di Kecamatan Nusa Penida saja pada 2016 berhasil meraup penghasilan sekitar Rp 17,2 miliar (sumber pendapatan berasal dari Pajak Hotel Rp 6,6 miliar, Pajak Restoran Rp 7,4 miliar, Pajak Hiburan Rp 104,3 juta, Pajak Air Bawah Tanah (ABT) Rp 186 juta, dan pendapatan Retribusi Tempat Rekreasi Rp 2,8 miliar). Pada tahun 2017 meningkat menjadi Rp 21 miliar dan meningkat lagi menjadi Rp 25,8 miliar pada tahun 2018 (sumber: Antara).
Anggaran ini secara bertahap digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan penunjang lainnya di Nusa Penida, masing-masing sekitar Rp 95,4 miliar (2016), sekitar Rp 46,8 miliar (2017), dan 2018 sekitar Rp 38,1 miliar.
Sayangnya, kerja keras pemda Klungkung ini sering kurang mendapat apresiasi dari masyarakat setempat. Faktanya, minimnya infrastruktur ini sering memicu munculnya sensitivitas terutama dari kalangan pelaku dan praktisi pariwisata. Karena mereka merasa dirugikan. Rugi secara keuangan dan tentu saja menerima komplin dari para tamu. Oleh karena itu, broken listrik, jalan, dan air PDAM paling sering menghiasi dunia medsos. Bahkan, tak tanggung-tanggung komplin langsung menyerang personal bupati, bukan instansi terkait. Seolah-olah bupati adalah manusia superior. Yang simsimsalabin dapat memecahkan segala persoalan.
Komplin-komplin langsung ke bupati, mungkin bagian dari broken lainnya yaitu broken birokrasi. Anggota dewan (DPRD Klungkung) seolah-olah dikangkangi. Kita tentu berharap keluhan atau persoalan masyarakat dapat diakomodir atau disalurkan lewat anggota dewan, terutama anggota dewan yang berasal dari Nusa Penida. Mereka (sebenarnya) tentu lebih memahami kondisi konkret (karakter alam, karakter manusia, regulasi, dsb) daerah yang diwakilkannya. Kita tentu berharap anggota dewan lebih pro aktif tidak hanya ketika perlu suara masyarakat. Namun, justru ketika mereka menjadi anggota dewan, mesti lebih aktif turun ke tengah masyarakat untuk mendengar, melihat, dan menjemput masalah di lapangan.
Masalah broken lain ialah ekowisata terutama soal sampah plastik. Kasus sampah plastik menjadi masalah klasik di Nusa Penida. Rendahnya edukasi dan mental masyarakat tentang ekowisata membuat sampah plastik menjadi kasus krusial. Kasus ini sangat potensial mengancam perkembangan dan keberlangsungan pariwisata di Nusa Penida.
Padahal, keberlangsungan pariwisata Nusa Penida merupakan harga mati. Dambaan semua masyarakat Nusa Penida, termasuk masyarakat Klungkung daratan. Oleh karena itu, tidak ada cara jitu selain meminimalisir “broken-broken lain” baik broken mental (karakter) maupun broken fisik (infrastruktur). Pemerintah dan masyarakat mesti bersinergi untuk saling memahami posisi secara proposional. Kasus retribusi untuk wisatawan per Juli 2019 lalu dari pemda Klungkung adalah kebijakan yang pro untuk meminalisir broken-broken fisik. Tentu realitasnya akan ditunggu oleh masyarakat.
Begitu juga dengan upaya pengolahan sampah dengan inovasi Tempat Olah Sampah Setempat (TOSS) yang diluncurkan pemda Klungkung merupakan solusi kuratif yang pantas diacungi jempol. Di samping itu, kerja sama masyarakat dengan pemda, kecamatan, desa, desa pakraman  juga penting dalam memerangi sampah palstik. Kerja sama itu diharapkan bersifat edukatif secara ketat lewat konkret regulasi formal. Regulasi formal (pemerintah) ini, kemudian diturunkan ke dalam bentuk awig-awig, sehingga dapat menyentuh (mengedukasi) mulai dari keluarga, banjar, desa pekraman dan masyarakat yang lebih luas. Jika diterapkan dengan konsisten, bukan tidak mungkin sampah plastik dapat diperangi (diminimalisir) secara perlahan-lahan.
Terobosan lain pemda Klungkung yang pantas diapresiasi sekarang ialah menjadikan Kepulauan Nusa Penida sebagai predikat Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Status ini dapat ditafsirkan bahwa beban biaya infrastruktur di Kepulauan Nusa Penida juga menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Momen ini sudah dimanfaatkan oleh pemda bekerja sama dengan Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan (Baperlitbang) untuk mengusulkan lima proyek ke pemerintah pusat yaitu jembatan baru penghubung Nusa Ceningan dan Lembongan, Sistem Pengolahan Air Minum (SPAM), jalan lingkar, tanggul pengamanan pantai dan pelabuhan segi tiga emas yang berlokasi di Desa Pesinggahan Kecamatan Dawan, Dusun Sampalan, Desa Batununggul, dan Bias Munjul Nusa Ceningan (Sosiawan/balipost).
Sambil menunggu realisasi dari berbagai arah, pemda dan masyarakat harus terus mulat sarira. Kedua belah pihak mesti saling instrospeksi diri, responsif dan bertindak konkret untuk kemajuan dan keberlangsungan pariwisata di natah Dukuh Jumpungan, Nusa Penida. Biarkan Broken Beach menjadi broken selamanya (permanen). Namun, broken-broken lain harus terus dikaji, dianalisa, dan dibenahi sehingga pariwisata di Nusa Penida tidak menjadi broken. (Penulis adalah guru swasta di SMP Cipta Dharma Denpasar)

Minggu, 25 Agustus 2019


Mengantisipasi Pengaruh Tayangan Negatif Televisi pada Anak-anak
Oleh
I Ketut Serawan, S.Pd.

Sejak budaya audio visual semakin fenomenal, televisi kian menyedot perhatian anak-anak. Berbagai tayangan yang memikat sering membuat anak lupa diri. Jangankan belajar, untuk makan saja anak kadang enggan jika sudah berada di depan televisi.
Kedekatan anak-anak dengan televisi makin dipertajam lagi oleh tuntutan kebutuhan yang kian kompleks di keluarga. Sementara orang tua sibuk bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, di satu sisi anak-anak terbengkalai tinggal sendiri di rumah. Kesempatan inilah yang menjebak anak untuk setia menghabiskan waktu di depan televisi. Sebaliknya, perhatian dengan orang tua mereka justru menjadi berjarak.
Berbeda dengan dulu, ketika tradisi lisan begitu kuat, orang tua mampu memposisikan diri sebagai pusat perhatian anak-anak. Dulu, misalnya pernah dikenal istilah “pelipur lara”. Biasanya yang menjadi “pelipur lara” adalah orang tua. Di luar sebagai tukang cerita, ia merupakan guru sekaligus teman bagi anak dalam memahami konsep, etika, moral, nilai, norma, sopan santun dan lain sebagainya.
Meskipun bersifat oral, budaya lisan ini memiliki keunggulan tersendiri. Karena sifat hubungannya yang dialogis, budaya lisan mampu menciptakan kedekatan emosional di antara anak dan orang tuanya. Kedekatan ini sekaligus menghasilkan produk fungsi sosial yaitu menanamkan dan menumbuhkan spirit kebersamaan pada anak sehingga bingkai kekeluargaan bisa terpelihara dengan baik.
Namun kini ketika budaya audio visual berkembang pesat, anak-anak mulai melupakan “si pelipur lara”—orang tua itu. Anak-anak telah menjatuhkan pilihannya pada “si pelipur lara” yang lebih modern dan canggih, yaitu televisi. Pemilihan ini bukan tanpa alasan. Jika tradisi lisan menjadikan bahasa sebagai satu-satunya alat transmisi informasi, maka dalam budaya audio visual bahasa telah disandingkan dengan media gambar dengan performa yang lebih menarik dan variatif.

Absolutkan Simbol
            Aspek performa merupakan magnet bagi televisi dalam meraup pemirsa. Hal ini mengingat televisi merupakan industri. Sebagai industri, ia ingin menggaet penonton sebanyak mungkin. Caranya, dengan menonjolkan unsur entertainment, kemudian mengukurnya dengan rating.
Terfokusnya televisi pada unsur hiburan dan rating menyebabkan nilai edukasi menjadi terabaikan. Iip (2006) menyebutkan, penonjolan hiburan dan rating menjadikan acara televisi tidak baik dikonsumsi anak-anak. Menurutnya, televisi sering menayangkan unsur negatif seperti penonjolan unsur seksualitas dan kekerasan. Hal ini jelas berbahaya bagi anak-anak.
Di satu sisi, anak punya daya pikir terbatas. Di sisi lain televisi berkemampuan mengabsolutkan simbol-simbol tertentu. Yang terjadi adalah anak akan terjebak pada pola kebenaran simbol-simbol televisi. Mereka beranggapan bahwa apa yang dilihatnya di televisi merupakan kebenaran yang niscaya. Benar dan begitulah seharusnya. Bahayanya tentu ketika anak meyakini bahwa tayangan seksualitas dan kekerasan dianggap sebagai sesuatu yang benar.
Kekhawatiran ini sangat mungkin terjadi pada anak. Pasalnya, televisi merupakan medium pasif. Ia tak mampu menjelaskan dan memang tak bisa memberikan penjelasan dari kejadian yang telah ditayangkan. Sehingga, meminjam istilah Sugihastuti, anak pun menjadi boneka mati di atas sofa.
Pengaruh negatif televisi tidak hanya berasal dari acara yang ditayangkan saja. Menurut Iip lagi, jeda iklan pun memberikan efek negatif yaitu menanamkan nilai konsumtif, hedonis dan komersialisasi pada anak. Karenanya, dianjurkan perlunya kepekaan khusus dari orang tua untuk menyadari dan mengantisipasi efek negatif dari tayangan televisi.

Upaya Antisipasi
            Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua untuk mengantisipasi efek negatif tayangan televisi. Pertama, diet menonton televisi. Orang tua harus bisa mengatur jam menonton anak. Jangan sampai anak seharian berada di depan televisi. Biarkan anak menonton pada acara-acara yang memang layak ditonton kalangan anak-anak.
            Kedua, dampingi anak ketika menonton televisi. Berikan penjelasan (jika perlu) pada kejadian-kejadian yang ditonton oleh anak-anak. Tidak hanya sekadar menjelaskan, bukalah ruang dialog dengan anak. Berilah ruang bagi anak untuk bertanya jawab. Hal ini berguna untuk memelihara kedekatan hubungan emosional di antara orang tua dan anak. Di samping itu, ruang tanya jawab sekaligus berfungsi untuk mencairkan absolut simbol yang diciptakan televisi pada anak-anak.
            Ketiga, diet televisi menuntut orang tua harus kreatif mencarikan alternatif kegiatan lain. Kegiatan-kegiatan itu nantinya bisa menggantikan acara televisi. Namun perlu diingat, kegiatan-kegiatan ini harus lebih menarik atau setidaknya sama menariknya dengan acara di televisi.
            Pilihannya bisa dengan membaca buku anak-anak dan mendongeng. Membaca buku bermanfaat membuka ruang berpikir, merenung dan berkontemplasi bagi anak. Begitu juga mendongeng dapat mendekatkan emosional anak dengan orang tuanya. Sayangnya, kedua aktivitas ini tidak mendapat perhatian serius di kalangan keluarga.
            Sebagai substitusi, kegiatan membaca harus melibatkan orang tua di dalamnya. Orang tua dapat membuat taman bacaan di rumah. Anak tetangga juga dapat dilibatkan untuk meningkatkan kegairahan membaca pada anak. Jika menginginkan anak rajin membaca, orang tua harus menyediakan bahan bacaan yang cukup. Yang terpenting lagi adalah orang tua harus menjadi teladan dengan menjadi pembaca yang baik.
            Aktivitas mendongeng juga penting diterapkan di keluarga. Apalagi jika format mendongeng bisa dikemas lebih modern, variatif dan inovatif. Hal ini tentu akan lebih menarik perhatian anak sehingga anak bisa diselamatkan dari konsep, etika, nilai dan pendidikan moral yang keliru dari televisi. (Penulis adalah guru SMP Cipta Dharma Denpasar. Artikel ini pernah dimuat di Rubrik Keluarga, Bali Post Minggu Pon, 25 Januari 2009)


Foto: Fimela.com











Kegiatan literasi mulai menggeliat di sekolah-sekolah. Geliat ini bermula dari kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) per tahun 2016 sebagai bagian dari implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Konkretnya, para siswa diwajibkan membaca buku non-mapel setiap hari 15 menit sebelum pembelajaran dimulai di kelas.

Kontrak Literasi

Walaupun singkat, pembiasaan tersebut cukup membangunkan kesadaran siswa dari belenggu budaya “kontrak literasi” yang sudah mendarah daging pada diri siswa. Budaya “kontrak literasi” merupakan aktivitas belajar (membaca-menulis) untuk memperoleh (jangka pendek) apresiasi nilai atau angka. Keinginan memperoleh angka-angka inilah yang mendorong siswa untuk belajar. Itulah sebabnya, siswa baru belajar apabila ada tes ulangan atau ujian. Mereka belajar untuk mendapatkan angka yang baik. Selanjutnya, angka-angka ini didokumentasikan dalam raport atau ijazah untuk dibanggakan di kemudian hari.

Segi kepraktisan atau efek ilmu yang dipelajari dari aktivitas belajar, tidak menjadi persoalan. Habis belajar dan siswa memperoleh angka, maka kontrak sudah berakhir. Apakah ilmu yang dipelajari berguna atau tidak dalam kehidupan sehari-hari? Tidak penting.

Belajar menjadi semacam proyek (kontrak). Kontrak untuk menjawab soal-soal sesaat. Setelah menghadapi ulangan atau ujian, siswa merasa bebas. Mereka merasa bebas dari aktivitas belajar (membaca/menulis). Membaca pasca tes dianggap tindakan sia-sia.

Selanjutnya, dari “kontrak literasi” inilah menumbuhkan anggapan bahwa belajar (membaca) dikhususkan untuk status siswa atau mahasiswa. Istilah belajar adalah kontrak ketika menjadi siswa atau mahasiswa. Lepas dari dua status ini, berarti bebas dari aktivitas membaca dan menulis.

Oleh karena itu, banyak masyarakat (orang tua) merasa tak berdosa ketika menyuruh anaknya belajar. Para orang tua sering menceramahi, memaksa, memarahi, mengancam hingga pasrah. Karena beberapa anak malah memilih diam menutup pintu, lalu komunikasi menjadi buntu. Mereka mengurung diri di kamar entah untuk kondisi ancaman belajar atau pura-pura belajar.

Daripada kukuh merasa benar dan menjadikan anak sebagai “pesakitan belajar”, lebih baik orang tua menjadi panutan literasi di rumah. Orang tua membiasakan diri membaca di rumah. Berusaha terus menjadi contoh pembaca yang baik di keluarga. Lakukan berulang-ulang. Setiap saat. Kalau bisa, setiap hari. Karena sesungguhnya anak membutuhkan contoh-contoh konkret di lingkungan keluarga. Apa yang sering dilihatnya, dialaminya, dan dirasakannya di rumah akan membentuk kebiasaan pada diri siswa. Di sinilah, pentingnya orang tua tampil menjadi contoh bukan sekadar memberikan contoh-contoh. Orang tua harus bisa menjadi panutan literasi di rumah.

Begitu juga di lingkungan sekolah. Guru harus dapat menjadi panutan literasi bagi anak didiknya. Namun kenyataannya, kadangkala guru gagal menjadi teladan. Mereka meminta para siswa rajin dan tekun belajar. Pun ketika siswa membaca 15 menit sebelum pembelajaran di kelas. Semangatnya bak juru kampanye. Suara para guru lantang. Sayangnya, guru lebih sering memanfaatkan waktu senggang untuk ngerumpi di ruang guru. Mereka enggan mengupgrade diri dengan membaca (walaupun tidak semua). Beberapa guru merasa nyaman dengan ilmu yang serba berkecukupan sewaktu di bangku kuliah.

Kontrak literasi yang membudaya, menyebabkan ortu atau guru sering gagal menjadi panutan. Celakanya, sering ortu dan guru tetap merasa benar. Mereka membela diri dengan alasan faktor usia, kesibukan, lelah dan lain sebagainya. Alasan ini seolah-olah sudah menjadi legitimasi bahwa usia tua harus dibebaskan dari aktivitas belajar.

Sejujurnya, literasi merupakan budaya baru bagi masyarakat. Ia baru menggema ditengah kuatnya pengaruh tradisi lisan dalam masyarakat. Bahkan, usianya tidak tanggung-tanggung. Sudah berabad-abad lalu. Masyarakat kita besar dari polarisasi penutur (kemampuan berbicara) dan pendengar (kemampuan menyimak).

Jadi, untuk mengalihkan budaya lisan ke budaya belajar (baca-tulis), dibutuhkan proses dan kemampuan adaptasi yang baik. Semakin tinggi kemampuan adaptasi kita, maka semakin cepat dapat menyesuaikan diri dengan budaya literasi. Sebaliknya, semakin rendah maka budaya literasi kita bergerak lambat.

Ortu/ guru (old) merupakan korban hegemoni trans budaya lisan. Mereka lahir dari lingkungan dominasi tradisi lisan yang begitu kuat dan (dengan) perspektif membaca sebagai kontrak literasi. Ditambah dengan kemampuan adaptasi yang minim, maka wajar ortu/ guru belum mampu menjadi panutan literasi.

Meskipun demikian, tidak semua ortu/ guru (old) digolongkan sebagai generasi minus literasi. Ada beberapa ortu/ guru (old) yang memiliki kemampuan adaptasi literasi yang tinggi, sehingga mereka tetap tampil sebagai panutan berliterasi. Namun, jumlahnya sangat sedikit.

Panutan Literasi

Saat ini, anak-anak membutuhkan panutan literasi terutama di keluarga. Keluarga sangat efektif dalam membentuk karakter anak. Lingkungan keluargalah yang paling banyak menyita waktu anak-anak. Keluarga juga menjadi lingkungan pribadi (psikologi) yang paling dekat dan akrab. Bibit karakter bermula dari lingkungan keluarga. Keseharian di keluarga akan otomatis membentuk nilai (karakter) termasuk kebiasaan literasi. Jika ortu dapat menciptakan iklim literasi yang kondusif di rumah, maka anak-anak relatif lebih mudah tertular virus literasi. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi ortu kecuali berusaha membiasakan diri menjadi contoh literasi di keluarga.

Karakter literasi yang tumbuh di keluarga akan memudahkan budaya baca-tulis anak berkembang di sekolah. Dengan catatan, sekolah harus mendorong iklim literasi yang baik, terutama mulai dari guru. Guru harus menjadi model/ panutan literasi dengan memanfaatkan waktu untuk membaca dan menulis. Selain itu, sekolah dapat menjadi fasilitator literasi dengan menyediakan bahan bacaan (tulis) baik cetak, digital, dan lain sebagainya.

Pembelajaran literasi mirip dengan pembelajaran agama dan budi pekerti. Mapel ini dimasukkan dalam korikuler dan diajarkan secara rutin di sekolah. Namun, hasilnya dianggap mengecewakan. Etika dan moral generasi muda kita dikatakan tumbuh tidak sesuai dengan ekspektasi publik. Pun generasi tuanya. Salah satu indikatornya ialah menjamurnya budaya korupsi di segala sektor justru ketika mapel ini digemakan di sekolah-sekolah.

Metodologi dituding sebagai salah satu faktor kekurangoptimalan pembelajaran agama dan budi pekerti. Publik menilai bahwa pembelajarannya masih menggunakan metodologi konvensional. Sekolah membelajarkan mapel ini sebagai “proyek penghabisan materi”. Hasilnya, tentu teoritis, bukan unjuk keterampilan berbuat baik—dengan panutan di sekelilingnya. Akibatnya, anak-anak tumbuh dengan baik hanya pada kemampuan kognitif (konsep) moralnya, tetapi miskin pada tataran implementasinya. Ditambah lagi, lingkungan sosial yang cenderung kurang baik, karena dominan memamerkan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan teori moral.

Penumbuhan (pembiasaan) literasi juga sama. Ia tidak cukup dintegrasikan dalam mapel dan berakhir dengan angka-angka. Ia harus terus distimulus dan dibiasakan oleh pihak sekolah (guru) dengan menjadi panutan utama. Untuk mengikat guru menjadi panutan literasi, barangkali diperlukan tuntutan administrasi. Misalnya, dengan memasukan bukti fisik literasi sebagai kelengkapan administrasi dalam kenaikan pangkat/ golongan. Persyaratan administratif ini akan mendorong guru untuk terus membaca. Lama-kelamaan, diharapkan dapat menulis buku dan dijadikan stimulus berkarya (literasi) kepada siswa.

Gerakan literasi juga dapat digemakan di sekolah-sekolah dengan menggelar acara-acara yang berbau literasi. Misalnya, sekolah menyelenggarakan pameran literasi, seminar, dan bedah buku dengan mengundang ortu siswa sebagai pesertanya. Partisipasi ortu ini diharapkan dapat menyadarkan mereka melek dan menjadi panutan literasi di keluarga. Di tangan ortu yang melek inilah, mimpi berliterasi anak bisa terwujud.

Jika literasi sudah bertumbuh  pada anak-anak baik dirumah maupun di sekolah, maka belajar tidak akan lagi menjadi “kontrak literasi”. Anak-anak tidak terikat lagi dengan angka-angka dari jerih payah membaca. Mereka akan terbebas dari tekanan “kontrak literasi” yang mementingkan traksasional nilai. Karena mereka akan menyadari bahwa kegiatan literasi merupakan kebiasaan intelek yang bermanfaat, menyenangkan, dan patut dilakoni setiap hari. (Artikel ini pernah dimuat di Harian Bali Post dan Tabloid Tokoh)         


UN Tak Menentukan, Untuk Apa Belajar?


Oleh
I Ketut Serawan

Foto: ujiansekolahsmectra.blospot.com
Tahun ini (2019) barisan peraih nilai UN tinggi tentu merasa sakit hati. Pasalnya, angka-angka fantastis UN hanya menjadi arsip sejarah. Tidak dapat dijadikan arah untuk mencari sekolah. Karena sistem zonasi tidak lagi mempertimbangkan nilai UN, seperti tahun 2018 yang lalu. Sistem zonasi sekarang, murni mengandalkan power jarak, kartu keluarga, kecepatan, dan domisili—yang tak perlu jerih payah. Lalu, “Untuk apa belajar dengan susah-susah?”

Pertanyaan retorik ini mencuat mengingat UN dianggap sebagai klimaks belajar. Masyarakat, orangtua, guru dan (terutama) siswa pasti sepakat bahwa UN adalah momen yang penuh dengan perjuangan. Momen yang menguras ekstra energi, pikiran, waktu, dan biaya. Guru dan siswa menghabiskan hampir seluruh waktu dan tenaganya untuk menghadapi UN. Semuanya demi raihan angka-angka UN yang tinggi. Karena itulah, orangtua rela mengeluarkan biaya besar untuk jam tambahan anak-anaknya, mulai dari sekolah, les di bimbingan belajar, bahkan les privat di rumah. Wajar saja fase-fase persiapan hingga waktu menghadapi UN, orangtua, guru dan siswa merasa lelah, stres hingga depresi.

Jika muncul kebijakan zonasi seperti sekarang, maka sangat wajar (terutama) siswa merasa shock berat. Mereka bukan hanya merasa tidak mendapat apresiasi. Lebih dari itu. Mereka merasa dihianati oleh sistem. Ke depan, penghianatan ini dikhawatirkan menimbulkan “trauma” belajar di kalangan siswa.

Bukan hanya siswa, para guru pun merasa emosional. Mereka merasa kecolongan dan kehilangan semangat mengajar. Sebab, selama ini hasil UN dijadikan barometer kualitas. Angka-angka UN dianggap sebagai cermin (representasi) mutu dari sebuah sekolah. Karena itulah, sekolah tidak main-main menghadapi proyek UN. Keseriusan ini tampak ketika sekolah menyelenggarakan jam tambahan, try out (uji coba), hingga (konon) membentuk tim sukses. Segala strategi dijalankan demi meraih hasil UN dengan sukses. Karena kesuksesan UN akan mendongkrak martabat sekolah, termasuk disdikpora, bupati/ wali kota dan gubernur setempat.

Proyek UN bukan hanya melibatkan siswa dan guru, melainkan para politisi daerah untuk merebut (pencitraan) panggung nasional. Namun kini, panggung UN oleng diterjang badai zonasi. Para siswa dan guru menjadi panik. Konsistensi belajar-mengajar menjadi goyang. Bahkan, banyak dari mereka merasa kehilangan semangat belajar. Lalu, apa jadinya pembelajaran tanpa didukung oleh spirit belajar-mengajar dari pihak siswa dan guru?

Publik pasti membayangkan pembelajaran menjadi asal-asalan. Ujung-ujungnya, pendidikan kita menjadi terpuruk (kelam). Kedengarannya sangat mengerikan. Namun, sekilas halusinasi itu sangat wajar dan rasional. Karena kita lahir, dibesarkan, dan menjadi bagian dari kebijakan UN. Kemudian, tanpa kita sadari (pada diri kita) telah terbangun kultur berpikir bahwa kebijakan UN merupakan sistem penyelamat mutu pendidikan. Solusi jitu atas kompleksitas persoalan yang melanda pendidikan kita.

Kenyataannya,  angka-angka UN tidak mampu menjelaskan kenyataan, kesulitan dan kompleksitas persoalan pendidikan di lapangan. Nilai UN tidak dapat menjelaskan sama sekali apa yang terjadi di lapangan. Nilai UN tidak dapat menjelaskan bagaimana hancurnya sarana pra sarana pendidikan. Pun tidak dapat menjelaskan bagaimana kualitas guru di lapangan (Koesoema, 2008, Kompas, “UN Harus Dihentikan”).

Kebijakan UN mengajarkan kita bagaimana belajar untuk mengejar angka-angka semu sebagai alat transaksi. Transaksi untuk membeli kursi sekolah favorit yang prestisius. Inilah seting besar yang dibangun oleh proyek UN sejak lama. Kasta-kasta sekolah favorit diciptakan dan dipertajam untuk melanggengkan eksistensi proyek UN.

Selain menciptakan pola pikir praktis, instan, deskriminasi, dan transaksional,  kebijakan UN juga merendahkan makna belajar. Kegiatan belajar dijadikan budak untuk mencapai kepentingan (target) sesaat. Karena itulah, seringkali kegiatan pembelajaran digadaikan menjadi proyek kejar tayang. Guru dan siswa menjadi mesin penghabisan materi, dengan format pembelajaran yang gersang, dangkal, dan monoton.

Kegiatan belajar tidak menjadi kebutuhan. Belajar adalah kewajiban berbau pemaksaan dan penindasan. Para siswa terpaksa dan dipaksa belajar dalam suasana penuh tekanan (kekerasan) psikis. Alasan kejar tayang menyebabkan guru seringkali abai dengan pembelajaran yang humanis, kreatif, dan inovatif. Guru lebih berkonsentrasi dan mengutamakan menghabiskan materi dan latihan bank-bank soal. Para siswa dideril dengan materi dan soal-soal melalui cara-cara yang kilat. Mereka dilatih untuk dapat menjawab soal-soal opsi yang teoritis dan berwujud keterampilan semu. Karena imposibel ranah keterampilan konkret dapat dijangkau dari soal-soal opsi model UN.

Momen Otonomi

Bagi guru yang profesional dan berintegritas, lemahnya peran praktis UN justru menjadi kesempatan untuk mengembalikan kemurnian pembelajaran. Guru memiliki otonomi penuh dalam mengeksplorasi pembelajaran menjadi kreatif, inovatif, dan bermanfaat. Namun demikian, tanggung jawab guru justru menjadi lebih besar. Mereka tidak lagi membentuk pribadi siswa yang instan, transaksional, dan memuja angka-angka. Namun, guru harus membentuk pribadi siswa yang terampil (life skill). Ranah terampil inilah yang menjadi cikal bakal siswa untuk berkreativitas dan berproduksi (unjuk karya), walaupun tidak mesti luar biasa. Inilah impian lama yang didambakan oleh guru profesional dan berintegritas. Impian dan sekaligus tantangan bagi guru sekarang.

Dengan melemahkan peran UN, pemerintah sesungguhnya menginginkan guru-guru yang cakap (profesional) di bidangnya. Proyek portofolio, PLPG dan PPG (sekarang) merupakan wujud komitmen pemerintah untuk melahirkan guru-guru yang profesional. Kendati belum sempurna, kita pantas memberikan jempol kepada pemerintah. Karena  pemerintah telah menyadari bahwa bangsa kita sudah tumbuh menjadi pribadi yang konsumtif. Kita gagal menjadi bangsa yang produktif. Karena selama ini, pendidikan kita berorientasi kepada pembentukan pribadi yang teoretis. Proyek UN merupakan salah satu sang tertuduh, karena mengabaikan aspek psikomotorik.

Jika pemerintah mengabaikan peran UN, berarti ada langkah maju. Ada kesadaran dari pemerintah untuk membangun aspek psikomotorik siswa melalui tangan-tangan guru profesional-berintegritas. Karena itulah, guru profesional pasti menyambut baik atas sikap pemerintah ini. Guru-guru  model ini akan terpacu untuk menyelenggarakan pembelajaran yang kreatif, inovatif dan menarik sehingga menyenangkan bagi siswa.

Pembelajaran tidak lagi menjadi kewajiban dengan sejuta tekanan. Akan tetapi, pembelajaran berubah menjadi kebutuhan yang mesti dipenuhi dengan cara humanis (minim tekanan, ramah dan demokratis). Kondisi pembelajaran seperti ini akan didambakan oleh para siswa, karena memiliki daya tarik tinggi. Efeknya, pembelajaran berlangsung seru, tidak membosankan, dan berlalu tanpa terasa. Inilah tantangan menarik bagi guru profesional.

Sebaliknya, guru-guru yang kurang profesional menjadi bingung. Peluang otoritas tidak dapat dimaksimalkan, karena kurang mampu mengelola pembelajaran dengan kreatif dan mandiri. Panggung-panggung pembelajaran menjadi membosankan. Karena cerita penghabisan buku paket, LKS, dan ancaman angka akan selalu mewarnai pembelajaran. Akibatnya, para siswa kehilangan semangat belajar; para guru kehilangan semangat mengajar; dan pembelajaran menjadi hambar.

Jika tidak segera menggenjot diri, maka guru model ini akan menjadi pecundang otoritas. Mereka akan tumbuh menjadi pribadi pemarah, cuek, dan putus asa sambil ngomel setiap hari, “Untuk apa ada pembelajaran lagi?” (Penulis adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar).


Sumber foto: id.depositphotos.com

Coba Anda bayangkan! Anda membaca buku di tengah kerumunan massa, misalnya di sebuah pelabuhan yang padat. Tak ada sisa tempat duduk. Kursi-kursi ruang tunggu penuh. Senderan pantai juga sesak. Lalu, massa calon penumpang rela duduk lesehan di atas lantai hingga tempat parkiran, tanpa alas apa pun. Kita pasti akan menjawab “Tidak”. Pasti tidak nyaman. Terganggu banget. Bahkan, yang agak keras akan mengatakan “Nggak punya kerjaan apa?”

Namun, tidak bagi dua bule yang tak sempat kutanyakan asalnya. Dua sejoli. Kira-kira berumur 20-an. Keduanya, asyik membaca buku sambil sesekali mengambil camilan di pangkuannya. Mereka seolah-olah tidak peduli dengan hiruk-pikuk dan lalu lalang calon (dan atau) penumpang. Pun tidak terpengaruh dengan tatapan mata aneh dari para penumpang domestik.

Peristiwa ini terjadi di Pelabuhan Mentigi, Nusa Penida. Waktu itu H+1 hari raya Saraswati. Puncaknya arus balik dari Pulau Nusa Penida ke Bali daratan. Ribuan calon penumpang, yang dominan domestik, menunggu diseberangkan dengan fast boat ke Pelabuhan Banjar Bias dan Pelabuhan Tribuana, Kusamba, Klungkung. Di antara ribuan calon penumpang itu termasuk aku, istri, dan anakku. Galau menunggu (dari pagi-pagi buta) karena tidak ada kepastian waktu diseberangkan.

Sebetulnya, boat memiliki jadwal pemberangkatan yang pasti. Namun, jika calon penumpang terlalu membludak, maka jadwal otomatis tidak berlaku. Perusahaan transportasi boat akan memberangkatkan begitu saja, tetapi sesuai dengan urutan pemesanan tiket. Entah mungkin lebih awal atau lambat. Tergantung situasi hari itu.

Di sela-sela menunggu itulah, kulihat 2 bule itu sibuk membaca buku. Sementara, aku dan calon penumpang lainnya ngobrol-ngobrol, main HP dan sesekali menatap laut. Sisanya, aku lihat merokok, ngopi, dan makan nasi bungkus untuk menghalau rasa jenuh menunggu.

Hingga pukul 11.30 wita, dua bule itu baru terusik konsentrasi membacanya. “Diberitahukan kepada calon penumpang yang memiliki tiket penyeberangan Boat Gangga No. 18, harap naik ke Boat Gangga 5. Boatnya berada di sebelah timur jembatan. Terima kasih.” Suara loudspeaker menggema dari loket penjualan tiket. Kedua bule itu beranjak menggendong tas rangselnya, jalan dan sambil tetap membaca buku menuju boat yang dimaksud.

Ini bukan kali pertama, aku melihat bule membaca di tempat umum. Sebelumnya, aku juga berkali-kali melihat calon penumpang bule membaca buku di beberapa pelabuhan tradisional fast boat di Nusa Penida maupun di Bali daratan. Pernah juga, aku melihat anak bule membaca buku dalam mobil di Sukawati. Persisnya, di Jalan Raya Sukawati, depan Pasar Sukawati. Waktu itu, kondisi sedang macet. Aku yang ikut terjebak, secara tak sengaja melihat seorang ibu (bule) sedang konsentrasi menyetir mobil. Di sampingnya, duduk seorang anak (usia SD) asik membaca buku. Kemudian, jangan tanya bule-bule yang berjemuran santai di pantai. Biasanya, mereka menikmatinya sambil membaca buku.

Bukan kebetulan apalagi mencari sensasi atau sok pamer. Memanfaatkan waktu sambil membaca bagi para bule tampaknya sudah menjadi kebiasaan. Tentu proses pembudayaan ini sudah berlangsung lama. Buktinya, anak kecil, remaja, dewasa bahkan kakek-nenek pun sudah biasa memanfaatkan waktu luang untuk membaca. Rasanya, tidak mungkin kita meragukan budaya literasi mereka.

Oh, ya. Aku jadi ingat tahun 90-an. Waktu itu aku masih SMP dan SMA. Masa ketika GPS dan google map belum lahir dalam android. Aku pernah beberapa kali ditanyakan letak suatu daerah oleh bule melalui peta buta (manual) yang dibawanya. Mereka bepergian secara mandiri dengan pedoman membaca selembar peta buta. Kebiasaan ini juga membuktikan bahwa budaya literasinya begitu kuat.

Bagaimana dengan kita? Membaca (apalagi) di tempat umum dianggap tabu. Belum dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar. Kalau ada, mereka sering disudutkan sebagai kutu buku (culun), dianggap pencintraan, sok pintar, dan stigma miring lainnya.

Stigma-stigma semacam inilah yang mungkin menjadi faktor lemahnya iklim literasi kita. Menurut Program for International Student Asessessment (PISA) pada tahun 2015, peringkat literasi Indonesia berada di ranking 62 dari 72 negara yang disurvei. Sementara itu, ranking performa membaca orang Indonesia berada pada ranking 60 dari 61 negara yang disurvei (Maret 2016). Lebih khusus, UNESCO pernah merilis bahwa tingkat literasi membaca di Indonesia hanya 0,001 %. Artinya, dari 1000 orang hanya 1 orang dengan minat baca tinggi.

Masa Lalu Literasi

Kalau ditengok ke belakang, kita memang memiliki sejarah literasi yang kurang bagus. Dahulu, ketika zaman kerajaan literasi dimonopoli oleh kaum elit penjabat kerajaan, keluarga raja, dan terutama keluarga brahmana (di Bali). Literasi merupakan hal tabu bagi rakyat biasa. Literasi seolah-olah dikapling oleh kaum tertentu. Di Bali misalnya, literasi menjadi milik kaum brahmana. Ini dibuktikan dengan keberadaan (sumber literasi) lontar-lontar yang disimpan di griya (lingkungan rumah kaum brahmana).

Untuk membatasi gerak literasi rakyat biasa, lontar-lontar (sebagai referensi tertulis) tidak diperkenankan dibaca oleh orang sembarangan (maksudnya rakyat biasa). “Sing dadi ngawag-ngawag maca lontar, nyanan bisa buduh” (tidak boleh sembarangan baca lontar, nanti bisa gila). Statemen ini berkembang di intern rakyat biasa. Akibatnya, mereka menjadi takut dan menjauhkan diri dari kegiatan membaca lontar.

Dalam kondisi inilah, rakyat digantung dengan tradisi kelisanan. Mereka dibiarkan tumbuh dalam budaya tutur. Segala bentuk pengetahuan dilisankan atau dituturkan secara turun-temurun, tanpa ruang untuk membaca referensi tertulis (lontar). Di samping memang, banyak yang juga buta aksara.

Griya bukan hanya menjadi sumber literasi utama, tetapi menjadi ahli (ilmuwan) zaman itu. Griya menjadi tempat nunas tutur (nasihat, petunjuk, solusi persoalan hidup, dsb). Karena itulah, hampir semua persoalan sehari-hari (yang tak terpecahkan) dimintakan solusinya atau petunjuknya ke griya. Griya menjadi semacam multiprofesionalisme mulai dari psikiater, tim medis, spiritualis, ahli budaya, astronom, dan lain sebagainya. Karena rakyat jelata biasa menjadikan griya sebagai tempat memecahkan kejiwaan, masalah kesehatan (nunas tamba), upakara, padewasaan (petunjuk hari baik), dan lain-lainnya.

Pembatasan literasi berlanjut ketika memasuki zaman penjajahan. Kaum pribumi yang dominan buta aksara dibiarkan awam berliterasi. Hanya kaum ningrat dan tokoh-tokoh masyarakat tertentu yang mengenyam pendidikan, tetapi sangat terbatas. Kebijakan ini tentu tendensius sebagai upaya pelanggengan penjajahan. Karena kaum penjajah sadar, kegiatan literasi menjadi sumber menumbuhkan pola pikir kritis dan analitis. Rawan memunculkan “kesadaran”.

Kaum pribumi dimarginalkan literasinya, sehingga tetap menjadi bodoh, miskin, dan derajat kebangsaannya di bawah kaum penjajah. Jangan-jangan pada zaman kerajaan juga demikian. Kesadaran rakyat sengaja dikerdilkan. Raja diterima sebagai titisan dewa. Posisinya hanya boleh diduduki oleh keturunan raja secara langgeng. Ini adalah anggapan kebenaran yang tidak bisa ditawar lagi. Semuanya, mungkin bermula dari minimnya literasi di kalangan rakyat biasa. Kesadaran rakyat biasa sengaja dijajah sehingga tetap menjadi kaum inferior seperti era penjajahan.
           
Gerakan Literasi Nasional
Untuk menumbuhkan kesadaran kebangsaan yang sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia, pemerintah Indonesia terus berupaya menekan angka buta aksara. Hingga tahun 2017, Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud mengklaim telah berhasil memberaksarakan masyarakat 97,932 %. Sisanya, yang masih buta aksara mencapai 2,068 % (3,474 juta orang). Angka buta aksara ini menurun dibandingkan dengan tahun 2015 yang mencapai 3,56 %.

Kita berharap tren penurunan buta aksara terus terjadi pada tahun-tahun mendatang. Ekspektasi ini tidak berlebihan. Pasalnya, pemerintah sangat serius terhadap persoalan ini, dengan mengeluarkan Inpres No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (PBA). Diperkuat lagi dengan kebijakan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) pada tahun 2016, implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

GLN merupakan perpanjangan tangan dari gerakan pemberantasan buta aksara. Jika gerakan PBA terfokus pada memberaksarakan (baca-tulis) masyarakat, maka GLN memberdayakan keberaksaraan masyarakat menjadi sebuah kebudayaan. Faktanya, banyak lulusan sekolah formal, informal, dan nonformal belum mampu menjadikan kegiatan membaca (tulis) sebagai sebuah kebiasaan. Artinya, pasca sekolah/ kuliah, mereka tidak lagi menjaga keberlangsungan spirit membacanya. Karena belajar (membaca) sudah dianggap selesai. Dalam konteks inilah, GLN menjadi penting digalakkan.

GLN tidak hanya menjadi kompor membaca bagi siswa/ mahasiswa, termasuk masyarakat umum. GLN menghendaki bahwa membaca sebagai aktivitas sepanjang hayat, tanpa memandang usia dan tempat. Gerakan membaca harus dijaga kapan dan dimana pun. Anak-anak, remaja, dewasa, orang tua dan kakek-nenek harus bisa menjadi panutan literasi. Karena itulah, lingkungan keluarga, lembaga pendidikan termasuk masyarakat harus terus mengupayakan penggadaan fasilitas literasi.

Eksistensi panutan dan fasilitas literasi akan memudahkan kita menularkan virus literasi, sehingga makin hari jumlah pelaku dan panutan literasi kian bertambah. Jumlah ini penting untuk menciptakan iklim budaya literasi yang sehat. Jika demikian adanya, ke depan pemandangan membaca buku di tempat-tempat umum tidak lagi pelakunya didominasi oleh para bule, tetapi  juga dari kalangan masyarakat lokal (domestik).  (Artikel ini pernah dimuat di media online Tatkala.co)