Sabtu, 28 Januari 2023

 

Serah Terima Sertijab: Amelia Menandatangani sertijab Ketum OSIS baru

Sosok ketua OSIS SMP Cipta Dharma (Ceedha) terpilih (periode 2022/ 2023) perempuan lagi. Ia adalah Putu Amelia Khaira Putri. Sebelumnya, ketua OSIS dijabat oleh Dayu Laras, yang seorang perempuan juga. Amelia  melenggang ke kursi puncak setelah meraup suara terbanyak lewat proses voting secara offline di sekolah (24/09/22).

Selang kurang lebih sebulan, Amelia dilantik secara sah oleh  Dra. Ni Luh Susilawati, M.Pd dan disaksikan oleh seluruh warga SMP Ceedha. Momen pelantikan ini bertepatan dengan upacara peringatan Sumpah Pemuda (28/10/22).

Usai dilantik, Amelia beserta pengurus OSIS terpilih mendapat pemberian ucapan selamat oleh seluruh siswa, para guru dan TU SMP Ceedha. Acara salam-salaman ini berlangung cukup emosional, karena beberapa pengurus OSIS baru dan lama menangis terharu. (Shira, Editor: Ketut Serawan)

 

Sosialisasi: Waka Humas SMP Cipta Dharma memberikan sosialisasi di Aula SMP Cipta Dharma

Meskipun berada dalam satu atap, bukan berarti lulusan SD Cipta Dharma langsung menentukan pilihan ke SMP Cipta Dharma, lo. Dari tahun ke tahun, lulusan SD Cipta Dharma justru mengincar SMP-SMP Negeri di Denpasar. Jikalaupun ada yang melanjutkan ke SMP Cipta Dharma, jumlahnya sangat sedikit. Bisa dihitung dengan jari, lo. Yaa.., paling cuma 5-10 orang. Padahal, rata-rata SD Cipta Dharma menamatkan siswa 4-5 kelas per tahunnya. Wah, kok bisa gitu, ya?

Persoalanan inilah yang mendasari SMP Ceedha spesial mengundang anak-anak kelas 6 SD Cipta Dharma kemarin (06/12/22). Mereka dikumpulkan di ruang aula SMP Ceedha. Kemudian, diberikan sosialisasi tentang profil SMP Ceedha, mulai dari fasilitas sekolah, kualitas gurunya dan iklim lingkungan belajarnya.

“Kesadaran mereka harus dibangunkan. Mereka harus sadar bahwa Cipta Dharma memiliki sekolah berkualitas bukan hanya TK, SD tetapi SMP juga, lo,” terang I Ketut Serawan, selaku juru bicara dalam kegiatan sosialisasi kemarin.

Setelah sosialisasi kurang lebih 30 menit di aula, anak-anak SD Cipta Dharma (didampingi OSIS)  diajak mengobservasi lingkungan sekolah untuk mengamati semua fasilitas sekolah (mulai dari lab., perpustakaan, kelas, kantin dsb.). Kegiatan observasi ini dimaksudkan untuk memberikan bukti nyata kepada mereka tentang SMP Cipta Dharma. “Semoga undangan sosialisasi dan observasi ini bisa membangkitkan minat mereka bersekolah di SMP Cipta Dharma,”  tegas Dra. Ni Luh Susilawati, M.Pd., selaku Kepsek SMP Cipta Dharma ini.

Kegiatan sosialisasi ini berlangsung mulai pukul 10.00-13.00 wita. Teknisnya, rombongan dibagi menjadi 2 sesi karena keterbatasan transportasi. Sesi pertama dihadiri oleh anak kelas 6C, 6D, dan 6D. Sedangkan,  sesi kedua dihadiri oleh kelas 6A dan 6B. Rata-rata jumlah siswa perkelas ialah 30-an. (Kirana, Editor: I Ketut Serawan)

 

Foto Bareng: Rombongan Karya Wisata SMP Cipta Dharma Foto Bersama Usai Sembahyang di Pura Agung Blambangan

Setelah dua kali ditiadakan (karena pandemi), akhirnya SMP Cipta Dharma kembali menggelar karya wisata selama 3 hari (9 s.d 11 Januari 2023) ke Malang. Kegiatan yang bertujuan mengasah mental mandiri siswa ini diikuti oleh siswa kelas IX yang berjumlah 85 orang dan guru pendamping sebanyak 8 orang.

Rombongan dibagi menjadi 2 bus. Mereka memulai perjalanan dari sekolah pada pukul 03.30 wita. Hanya membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam untuk tiba di Pelabuhan Gilimanuk. Setelah mendarat di Ketapang, rombongan langsung sembahyang bersama di Pura Agung Blambangan, Banyuwangi.

Selanjutnya, bus langsung tancap gas menuju Malang. Kurang lebih pukul 20.00 WIB, rombongan memasuki areal BNS (Batu Night Sepectacular). Setelah menikmati makan malam, semua siswa langsung menyeruak menikmati keseruan wahana permainan di BNS. Puas menikmati wahana selama 4 jam, rombongan langsung check in di Hotel Cemara.

Agenda besoknya, para siswa diajak menikmati keindahan Selekta Malang, berbelanja oleh-oleh di Malang Strudle, observasi edukasi dan menikmati wahana di Jatim Park 1 serta observasi beragam transportasi di Museum Angkut.

Usai makan malam di Royal, rombongan langsung meluncur menuju Bali. Hari Rabu tanggal 11 Januari, tepatnya pukul 12.30 wita, rombongan tiba kembali di sekolah. (Gung Prabu, Editor: I Ketut Serawan)

 

 

Penampilan Tari Modern Dance dari Perwakilan Siswa Kelas 7

SMP Cipta Dharma menggelar jeda tengah semester ganjil selama 5 hari (26-30 September 2022). Kegiatan jeda kali ini tergolong beda banget, lo. Biasanya, kegiatan jeda diisi dengan kegiatan akademik, kayak tes tengah semester gitu. Namun, tahun ini, jeda diisi dengan kegiatan non-akademik yaitu pentas seni (kreativitas).

Para siswa mengisi panggung secara bergantian, mulai dari siswa kelas VII (4 kelas), kelas VIII (5 kelas) dan kelas IX (6 kelas). Sebelumnya, para siswa diajak menata kebun sekolah selama 2 hari. Sisanya, diramaikan dengan pentas seni dan “jualan”.

Setiap kelas diwajibkan menyumbangkan acara bebas minimal 1 acara. Acara itu bisa berupa seni tradisional, modern, dan kontemporer. Karena itu, ada yang mementaskan gender, nyanyi, solo drum, stand up comedy, drama kontemporer kolosal dan lain sebagainya.

Meskipun persiapannya tergolong singkat, tetapi anak-anak SMP Cipta Dharma mampu menampilkan acara dengan optimal. “Salut. Mereka mampu nampilin seni dengan maksimal. Padahal, persiapannya kurang lebih seminggu, lo,” terang Putu Eka Putra, waka kurikulum SMP Cipta Dharma ini.

Di samping pentas seni, setiap kelas juga mendirikan stand jualan. Berbagai masakan dan minuman dijual, misalnya bakso, sosis, roti, kentang dan berbagai minuman kekinian. “Kita tidak mau terjebak kepada pembelajaran yang teoretis saja. Sesekali kita harus ajak siswa belajar real (nyata). Pentas seni melatih siswa mengasah keberanian siswa tampil. Sedangkan, berjualan melatih membangunkan mental wirausaha siswa,” ucap I Ketut Serawan, S.Pd., waka Humas SMP Cipta Dharma ini. (Mada, Editor: I Ketut Serawan)

 

Antusias: peserta sangat antusias mengikuti kegiatan MPLS

Setelah 2 tahun menggelar MPLS secara daring, akhirnya pada tahun pelajaran 2022/2023, SMP Cipta Dharma kembali menggelar MPLS secara Offline. Kegiatan yang bertujuan mengenalkan lingkungan fisik-psikis sekolah ini berlangsung selama 4 hari (dari 11-14 Juli 2022) di area SMP Cipta Dharma.

Jenis kegiatan MPLS tahun 2022 ini tidak beda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya ketika offline. Pembukaan ditandai dengan penyematan name tag MPLS oleh kepsek SMP Cipta Dharma (Dra. Ni Luh Susilawati M.Pd) saat upacara di halaman sekolah. Selebihnya, diisi dengan kegiatan penyuluhan dan workshop di aula sekolah. Penyuluhan diisi oleh pihak guru, puskesmas, dinas perhubungan, dan kejaksaan Kota Denpasar.

Meskipun mirip dengan MPLS offline sebelumnya, tetapi kegiatan MPLS tahun ini tetap dirasakan memberikan nuansa berbeda bagi siswa. “Pokoknya seru. Bisa ketemu temen baru. Lingkungan sekolahnya nyaman banget,” ujar Putu Kiken Prapti Pringgodani, salah satu peserta MPLS dari anggota kelompok Babi Hutan.

Pendapat serupa juga diungkapkan oleh I Gusti Agung Dwiviana Prabahita. Siswi yang masih satu kelas dengan Kiken ini merasa sangat bersemangat mengikuti MPLS kemarin. “Pokoknya Excited banget!” ucapnya dengan nada penuh semangat. (Siwi, Editor: I Ketut Serawan)

Eks Pelabuhan Sanur: kini Sudah Tak Melayani Penyeberangan Penumpang Lagi


Meski berulang-ulang, perayaan hari raya Galungan di kampung saya dulu (tahun 90-an, Nusa Penida, Bali) tetap dirasakan greget. Gregetnya tampak dari hari III, II dan I sebelum hari raya Galungan. Selama 3 hari inilah denyut Galungan terasa, yang ditandai dengan arus mudik yang tak biasa dari Bali seberang. Para pemudik datang dari Pelabuhan Sanur ke Pelabuhan Dermaga Banjar Nyuh-NP, dengan jukung bermesin yang overload dan standar safety yang minim, demi merayakan Galungan di kampung halaman bersama keluarga.

Selama 3 hari menjelang Galungan, Dermaga Banjar Nyuh (DBY) bisa kedatangan jukung lebih dari 4-5 perharinya (normalnya, 1 jukung perhari). Jumlah penumpangnya pun tidak main-main. Jika kapasitas normalnya berkisar 80-90, maka menjelang Galungan bisa mencapai 120 lebih. Para penumpang yang rindu kampung halaman itu duduk seperti be pindang mulai dari belakang dekat mesin jukung , dalam bodi jukung, ujung depan hingga di atas atap jukung.

Situasi overload ini diperparah oleh barang bawaan penumpang yang tergeletak serampangan. Namun demikian, tidak menyurutkan beberapa penumpang (yang perokok) menyemburkan asap rokoknya secara sporadis. Asapnya meluber ke hidung-hidung penumpang lainnya bersama parfum, bau ayam, bau bebek dan bau-bau lainnya.

Namun, kondisi tak nyaman itu tidak membuat para pemudik kapok. Mereka tetap saja berniat besar untuk pulkam setiap menjelang Galungan. Tidak peduli apapun proses yang harus dilewati. Karena itu, menjelang hari raya Galungan, Pelabuhan DBY selalu kebanjiran orang (pemudik Galungan).

Situasi yang tak biasa tersebut sekaligus menjadi kesempatan bagi persatuan ojek di DBY. Ketika jukung mendarat, puluhan tukang ojek langsung menyerbu penumpang dengan rayuan mautnya. Tawar-menawar harga liar dimulai. Biasanya, tak butuh waktu lama. Negosiasi segera disepakati. Si tukang ojek langsung mengambil tangan sang penumpang yang cantik beserta barang bawaannya. Spontan sorak-sorai masyarakat memecah keramaian pelabuhan.

Di samping tukang ojek, ada sekelompok masyarakat biasa yang iseng cuci mata. Para pencuci mata itu kebanyakan dari kalangan pemuda. Mereka ikut berbaur hanya untuk bersorak-sorai dan menonton pemudik cantik, seksi, montok yang berdandan ala anak metropolitan.

Zaman itu, ojek menjadi satu-satunya alternatif tranportasi darat yang efektif dan digemari masyarakat. Sepeda motor dapat mengantar penumpang hingga depan rumah, walaupun melewati jalan setapak nan terjal. Karena itu, pilihan motor yang digunakan biasanya RX Special, RX King dan GL Pro.

Ketiga motor tangguh ini berderu di atas jalan beraspal kasar dan sempit. Tampak wajah-wajah tukang ojek ceria membonceng pemudik metropolis yang berbusana pendek dan ketat, dengan parfum sedikit menyengat, kulit halus mengkilap, kaki mulus serta rambut terurai ditiup angin.

Jalanan mendadak menggeliat. Para tukang ojek mengangkut pemudik modis secara sambung-menyambung. Mirip pesta arak-arakan. Membuat siapa pun yang melihat spontan melototkan mata, walau hanya sekejap.

Maklum, lari motor si tukang ojek tidak ada yang pelan. Mereka mengendarai motornya dengan sekencang mungkin agar mendapatkan penumpang di pelabuhan lagi. Semakin cepat, maka berpeluang besar untuk mengangkut penumpang lebih banyak. Peluang ini sangat dimaksimalkan oleh tukang ojek, sebab masih jarang orang memiliki sepeda motor pribadi. Hanya sedikit orang yang memiliki sepeda motor dan dimanfaatkan untuk ngojek guna meraup rezeki menjelang hari raya Galungan.

Tren Menjadi TKW

Jika diamati lebih detail, para pemudik itu didominasi oleh kaum perempuan. Usianya masih belia, sekitar 13-18 tahunan. Umumnya, mereka bekerja sebagai TKW di Pulau Bali. Mereka mendapat izin pulang, merayakan hari raya Galungan bersama keluarga setiap enam bulan kalender Bali.  

Akhir tahun 80-an dan sepanjang tahun 90-an, bekerja sebagai TKW seolah-olah menjadi tren. Kebanyakan perempuan-perempuan belia (waktu itu) hanya kuat bersekolah pada tingkat SD. Tamat dari SD, mereka berlomba-lomba bekerja menjadi TKW di kota-kota, Bali seberang (Denpasar, Badung, Gianyar).

Bahkan, yang tidak sabar, beberapa langsung berhenti sekolah. Ada yang berhenti waktu  kelas 5 atau kelas 6 SD. Mereka ikut-ikutan mengadu nasib menjadi TKW di Bali seberang, termasuk saudara sepupu saya. Dari 8 saudara sepupu saya, hanya satu yang mampu menamatkan diri dari bangku SD. Sisanya, adalah putus sekolah. Semuanya pernah menjadi TKW di Bali daratan.

Zaman itu, kesadaran akan pendidikan tinggi memang masih kurang di kampung saya dan beberapa desa lainnya. Pendidikan dianggap sebagai pemborosan dan tidak menghasilkan uang. Maklum, ekonomi masyarakat kala itu masih rendah.

Per tahun 2011 saja, Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, KB dan Pemerintahan Desa Kabupaten Klungkung mencatat bahwa angka kemiskinan terbesar di Klungkung disumbangkan oleh Kecamatan NP yang mencapai 48,8 % (hampir 50 persen). Sementara Klungkung 13,14 %, Banjarangkan 11,98 dan Dawan 11,38 %. (https://media.neliti.com/media/publications/44256-ID-profil-penduduk-miskin-didesa-desa-pesisir-nusa-penida-kabupaten-klungkung.pdf).

Di samping karena faktor geografis, kondisi kemiskinan dulu juga dipicu oleh jumlah anggota keluarga. Setiap KK, rata-rata harus menghidupi lebih dari 4 anak. Dengan melepaskan anak sebagai TKW, bisa jadi sangat membantu meringankan beban ortu waktu itu. Karena itulah, beberapa anak laki-laki juga ikut-ikutan menjadi tenaga kerja. Lapangan pekerjaan yang sempit di kampung, beban hidup ortu yang berat, membuat mereka harus hengkang ke kota seberang.

Begitulah dulu. Zaman ketika partai Golkar menjadi superior, sedangkan PPP dan PDI hanya menjadi pesaing hiburan. Zaman ketika gedung SD Inpres sudah berjamuran di desa saya. Sayangnya, kesadaran pendidikan warga masih belum terbangun optimal.

Pendidikan tinggi masih dipandang remeh oleh masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dari dagelan-dagelan obrolan masyarakat dalam kesehariannya sebagai berikut: “Ngudiang sekolah tegeh-tegeh. Nyen kal ganti? Presiden nu hidup. Menteri nu seger.” (Ngapain sekolah tinggi-tinggi. Siapa mau diganti? Presiden masih hidup. Menteri masih sehat).

Itulah dagel-dagelan yang berkembang kuat.di kampung saya. Zaman ketika Soeharto dan Harmoko menjadi penguasa tv. Presiden dan menteri penerangan (tak tergantikan) masa orba ini hampir tidak pernah absen dari TVRI. Apakah dagelan ini sebuah otokritik terhadap Soeharto yang tak tergantikan sepanjang orba? Atau jangan-jangan dagelan itu sangat politis hendak mengukuhkan Soeharto sebagai presiden seumur hidup? Entahlah.

Yang jelas, efek dagelan itulah yang mungkin membentuk mind set masyarakat menyekolahkan anaknya cukup di tingkat SD saja. Masyarakat menilai bahwa pendidikan terbatas pada pembebasan diri dari kasus buta huruf. Yang penting anak-anak memiliki kemampuan membaca huruf, menulis huruf dan menghitung dasar. Modal ini sudah dirasakan cukup.

Karena itu, tamat SD, mereka diarahkan untuk bekerja di Bali seberang. Kondisi ini (secara tak sadar) menyebabkan siswa tidak memiliki visi pendidikan. Cukup sampai SD. Yang penting sudah bisa baca, tulis dan menghitung. Selanjutnya, mereka siap bekerja di kota-kota Bali seberang.

Setelah bekerja di kota, setiap 6 enam, mereka diberikan kesempatan pulang ke kampung halaman, NP. Kelompok inilah yang paling mendominasi arus mudik menjelang Galungan di pelabuhan DBY. Sisanya ialah dari kalangan pedagang, pelajar, mahasiswa dan pekerja profesional lainnya. Namun, kelompok pekerja usia sekolah inilah yang menggetarkan denyut perayaan Galungan di NP—termasuk pasca Galungan.

Satu hari setelah Galungan, kelompok pekerja usia sekolah ini nongkrong (bertemu) di satu titik lokasi, Dermaga Banjar Nyuh. Mereka menikmati deburan ombak, langit, dan laut di atas DBY sambil cuci mata, mencari kenalan bahkan memadu asmara. Di samping itu, ada pula masyarakat umum, para orang tua dan anak-anak dengan baju barunya.

Manis Galungan terasa begitu meriah. Sepanjang dermaga dipadati orang dari berbagai desa di NP. Mungkin inilah momen yang paling besar bagi para pekerja usia sekolah untuk mencari kenalan dan menjalin asmara. Karena esoknya, mereka harus balik. Kembali bekerja dengan kesibukan masing-masing sebagai tenaga kerja di Bali seberang.

Tren menjadi tenaga kerja usia sekolah ini pelan-pelan mulai berkurang ketika budidaya rumput laut berkembang di NP. Setidak-setidaknya, anak-anak dapat menamatkan diri dari SMP dan SMA. Seiring peningkatan penghasilan rumput laut, kesadaran bersekolah ikut terbangun. Generasi remaja tahun 90-an, bertani rumput laut sambil membiayai sekolahnya sendiri.

Kesetaraan gender mulai tampak. Awalnya, hanya kaum laki-laki yang diprioritaskan mengenyam pendidikan tinggi. Sedangkan, kaum perempuan tetap diarahkan bekerja menjadi TKW. Akan tetapi, seiring dinamika, kaum perempuan juga ikut mengenyam pendidikan hingga menengah ke atas. Hingga memasuki tahun 2000-an, pendidikan kaum perempuan dan laki-laki kian mendapatkan kesetaraan.

Generasi pekerja usia sekolah ini kian tenggelam. Mereka memasuki fase berkeluarga dan taat dengan program KB. Generasi yang lahir kian mendapatkan kesetaraan gender, termasuk dalam hal pendidikan.

Zaman kesetaraan itu pula yang menutup lemba-lembar kemeriahan perayaan Galungan ala dulu di NP. Tak ada lagi cerita jukung overload dan deru suara RX Spesial, RX King dan GL Pro. Tak ada lagi anak-anak berkumpul, bermain dan menggenakan baju baru. Tak ada lagi cerita nasi beras yang istimewa. Tak ada lagi titik kerumunan massa secara massif sebagai ikon kemeriahan Galungan.  

Sudah tak ada lagi sekarang! Kini greget perayaan Galungan sudah bergeser. Bergeser ke dalam kemeriahan status di dunia gadget. Orang-orang lebih senang merayakan Galungan sendiri-sendiri. Anak-anak, remaja dan termasuk orang tua sangat menikmati kemeriahan perayaan Galungan lewat gadgetnya masing-masing di rumah.

Minggu, 26 Juni 2022

 

Ilustrasi Foto (www.balipost.com)

Apa reaksi Anda jika ada peserta didik (siswa) yang kesehariannya biasa-biasa saja, tetapi lulus jalur prestasi dalam seleksi sekolah negeri? Ingat, kemampuan akademiknya di bawah standar, lho. Pun prestasi terkait potensi diri (minat-bakat) tidak ada. Namun, dalam list pengumuman PPDB SMP Negeri kota Denpasar (Bali) kemarin namanya terpampang lolos sebagai salah satu siswa berprestasi. Pasti kaget, heran dan kecewa, bukan?

Perasaan ini paling kuat dirasakan terutama oleh para siswa lain, teman yang masih satu kelas dan satu SD dengan yang bersangkutan. Lalu, jangan tanya reaksi ortu siswa terutama dari kalangan emak-emak atau para ibu di SD tersebut. Pasti hebohlah.

Para emak-emak ini tidak kuasa membendung rasa kecewanya. Maklumlah. Namanya juga emak-emak. Hee..heee. Mereka kukuh tidak bisa menerima kenyataan tersebut. Sambil menuliskan biodata anaknya di formulir pendaftaran sekolah swasta (tempat penulis bekerja), salah satu emak-emak itu terus “ngedumel”.

Menurutnya, dari 5 siswa yang lolos jalur prestasi (di asal sekolah anaknya), hanya 3 orang yang tidak mendapat penolakan. Pasalnya, tiga orang itu memang dianggap memiliki kemampuan yang layak menduduki singgasana kursi prestasi. Akan tetapi, 2 orang sisanya menjadi sorotan oleh warga sekolah di tempat SD anaknya, karena kemampuannya jauh di bawah ekspektasi.

Second Teacher, Piagam Siluman dan Juri Kepantasan

Penulis juga tidak habis pikir dengan ibu-ibu (ortu siswa) di kota. Mereka seolah-olah menjadi second teacher. Kadang-kadang mereka tidak hanya mengantongi statistik kemampuan harian anaknya. Pun mengetahui kemampuan global anak orang lain.

Karena itulah, ketika sistem PPDB meloloskan siswa justru para ibu yang melontarkan statemen penolakan. Para ibu merasa lebih tahu dibandingkan dengan sistem aplikasi PPDB. “Semua siswa yang lolos jalur prestasi, pasti punya bukti prestasi (piagam) yang dilampirkan, Bu. Sistem tinggal mengkalkulasi poin-poin tersebut apa adanya dan menyatakan lulus,” terangku sedikit mengompori.

Bukan emak namanya kalau perbincangan langsung berhenti begitu saja. Si ibu selalu punya cara untuk bertahan dan membela diri. Ia bertahan dengan jawaban halu. Jawaban yang sifatnya spekulan. Kasarnya, menduga-dugalah. Sang ibu menduga kuat bahwa ada orang dalam (punya jabatan, power, dan otoritas) yang berjasa meloloskan anak yang bersangkutan.

Bagaimana cara “sang penyelamat” (baca: orang dalam) mengelabui atau menundukkan sistem sehingga si anak yang bersangkutan bisa lolos? Kali ini, sang ibu tidak bisa menarasikan secara rinci sepak terjang sang penyelamat yang dimaksud. Apalagi menunjukkan bukti-bukti otentik terkait dengan indikasi keterlibatan “orang dalam” dalam kasus penyelamatan tersebut.

Karena itu, penulis menyebutnya dengan dalil yang halu. Masih miskin dukungan data atau fakta. Sebetulnya, dalil ibu ini sudah sering penulis dengar dari tahun ke tahun dalam pesta PPDB di Kota Denpasar. “Orang dalam” selalu dijadikan kambing hitam jika peserta didik yang lolos dianggap tidak memenuhi ekspektasi publik. Penulis tidak tahu apakah tuduhan ini sebagai bahasa kekalahan atau bahasa korban kecurangan. Entahlah.

Dugaan lain, sang ibu menyebut ada kemungkinan proses pemalsuan piagam prestasi yang dilakukan oleh pihak orang tua siswa (yang lolos). Namun, sang ibu pun tidak bisa menjelaskan secara detail (teknis) indikasi pemalsuan piagam prestasi tersebut. Apakah ada orang tertentu atau sekelompok orang yang piawai memalsukan piagam? Atau jangan-jangan ada sindikat pemalsuan dokumen semacam piagam prestasi? Ah, kok jadinya serem banget, sih. Heh.

Tiba-tiba penulis teringat dengan rumor yang pernah dihembuskan oleh beberapa siswa (alumni) di tempat saya mengajar. Tahun-tahun sebelumnya, muncul rumor ada pihak otoritas (orang dalam) menerbitkan atau mengeluarkan “piagam siluman”. Piagam prestasi yang tidak sesuai dengan kemampuan konkret si siswa. Proses mendapatkannya juga tanpa jerih payah. Konon, hanya butuh relasi dan tentu saja uang pelicin yang memadai.

Apakah benar atau tidak? Hingga sekarang belum ada satu pun yang mengungkapkan kebenaran rumor tersebut. Namun, rumor ini selalu berhembus di kalangan masyarakat tertentu—ketika memasuki musim PPDB di Kota Denpasar. Beberapa kalangan masyarakat mungkin menganggap bahwa kasus “piagam siluman” ini seperti kasus kentut yang sulit dibuktikan secara kasat mata.

Atau jangan-jangan rumor “piagam siluman” itu hanya ungkapan latah dari masyarakat yang anaknya tidak lolos jalur prestasi. Mereka sirik karena putra/ putrinya tidak lulus jalur prestasi, maka “orang dalam” dijadikan kambing hitam. Eits…Tunggu dulu! Tidak semua siswa yang lolos jalur prestasi dituduhkan melibatkan “orang dalam”, lho. Khusus kepada siswa yang dinilai tidak kompeten (tidak berprestasi), tetapi tembus jalur prestasi. Persis seperti dikemukan oleh sang ibu sebelumnya.

Yang persis tahu siswa itu berprestasi atau tidak tentu teman satu sekolah, khususnya teman satu kelas, guru dan orang tua/ wali siswa. Para warga satu sekolah inilah yang menjadi juri awal (juri kepantasan), sebelum diloloskan oleh sistem PPDB. Apa pun yang terjadi dengan si siswa, warga sekolah tetap sebagai “juri kepantasan”, tetapi tidak memiliki otoritas atau kewenangan menganulir keputusan sistem PPDB. Posisi seperti inilah yang justru membuat pesta PPDB menjadi menarik dan mirip drama. Ada drama rasa kecewa, senang, apriori dan tentu saja dagel-dagelan serta rumor.

Pertanyaan selanjutnya, mungkin tidak ada tindak kecurangan dalam PPDB Kota Denpasar tahun ini? Untuk menjawab potensi penyelewengan (kecurangan) tersebut, ada baiknya kita mengetahui data-data penting yang berpeluang menjadi faktor pendorong. Misalnya, Denpasar merupakan kota dengan jumlah pelajar SD tertinggi di Bali. BPS Provinsi Bali mencatat bahwa per tahun 2020, Kota Denpasar mengantongi jumlah pelajar SD sebanyak 87.703 (lebih tinggi dari Kabupaten Buleleng).

Tahun 2021, jumlah siswa tamatan SD mencapai 13.000. Namun, hanya 4.000 siswa yang tertampung di sekolah negeri, yang tersebar di 14 SMP Negeri (https://www.balipost.com/news/2021/08/20/210954/Denpasar-akan-Bangun-Dua-SMP.html). Sisanya, sebanyak 9 ribu ditampung di SMP swasta, yang berjumlah 70 sekolah. Tahun 2022, SMPN 15 Denpasar akan mulai beroperasi dan siap menerima siswa baru.

Jumlah 15 sekolah negeri mungkin masih belum memadai untuk mengatasi padatnya jumlah tamatan pelajar SD di Kota Denpasar. Kondisi ini tentu membuat persaingan perebutan kursi sekolah negeri semakin ketat dan keras. Masyarakat Kota Denpasar berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di sekolah negeri. Apalagi saat ini fondasi ekonomi masyarakat masih dalam kondisi kedodoran setelah dihantam pandemi selama kurang lebih 2 tahun.

Minimnya daya tampung dan anjloknya ekonomi masyarakat akan menyebabkan ambisi masyarakat Kota Denpasar sangat kuat untuk memilih sekolah negeri yang murah. Kondisi inilah yang memunculkan kompetisi yang kian ketat dan keras. Kerasnya kompetisi untuk merebut kursi sekolah negeri berpeluang mendorong sejumlah orang memenuhi ambisinya—walaupun mungkin dengan cara yang curang (ilegal). Perlu diingat bahwa persaingan jalur prestasi tidak hanya melibatkan kompetitor dalam Kota Denpasar, tetapi juga dari kabupaten lainnya di Bali.

Mengingat kompetisi yang begitu ketat dan keras, mungkin saja “piagam prestasi siluman (bodong)” itu ada. Bahkan, jangan-jangan telah membentuk market (black market atau secret market). Eksistensinya rapi dan hanya orang-orang tertentu yang persis tahu. Mirip seperti dugaan sang ibu dan publik pada umumnya.

Jika market piagam siluman ini tetap eksis, penulis yakin drama kecurangan akan tetap mewarnai pesta PPDB di Kota Denpasar ke depannya. Lalu, bagaimana solusinya?

Di samping sebagai pelaku, masyarakat berposisi sebagai kontrol sosial (pengawas). Peran aktif masyarakat sangat diharapkan untuk memurnikan kasus kecurangan PPDB di Kota Denpasar. Apabila ditemukan indikasi kecurangan, masyarakat sepatutnya melaporkan kepada pihak berwenang. Bukankah Disdikpora Bali sudah bekerja sama dengan pihak Ombudsman untuk membuka posko pengaduan terkait kasus PPDB.

Laporan masyarakat menjadi bahan yang sangat berharga bagi pihak Ombudsman untuk meningkatkan kualitas sistem dan teknis PPDB pada masa berikutnya. Sayangnya, kebanyakan masyarakat memilih diam dan aman (alias koh). Mereka justru nyaman membingkai kasus kecurangan tersebut menjadi rumor dan dagel-dagelan.

Jika demikian halnya, risiko drama kecurangan bisa jadi akan terus berlanjut entah sampai kapan. Hal ini akan mencederai rasa keadilan pada publik. Setiap pesta PPDB (jalur prestasi) akan ada drama sakit hati atau kecewa. Sebaliknya, pihak yang mencurangi sistem akan merasa senang—walaupun mereka sebetulnya akan mengikis rasa optimisme (karakter mandiri) sang anak.

Dalam budaya masyarakat yang koh ngomong (enggan bicara), persoalan pemurnian sistem PPDB menjadi dilematis. Di satu sisi, masyarakat menginginkan sistem dan pelaksanaan PPDB berlangsung jujur dan adil, sesuai prosedur. Di sisi lain, masyarakat kurang kooperatif untuk melaporkan indikasi kecurangan di lapangan. Contoh kecil, ya, kasus jalur prestasi yang dikemukakan oleh sang ibu sebelumnya.

Menjembati ini, penting adanya sistem PPDB yang lebih transparan dan bisa dikroscek langsung oleh pihak publik. Misalnya, sistem PPDB menyediakan rincian poin lengkap dengan bukti upload piagam. Data ini bisa dibuka bebas oleh pihak siapa pun.

Kedua, sertifikat atau piagam prestasi yang diupload harus ditambahkan dengan link pihak penyelenggara. Siapa lembaga penyelenggara lomba tersebut, lengkap dengan waktu, tempat, nama juri (bila diperlukan) dan daftar hasil pemenangnya. Jadi, begitu masyarakat mengklik link itu, mereka langsung dihadapkan dengan bukti otentik daftar pemenang.

Jika ada tautan seperti itu, mungkin sistem juga langsung menolak ketika calon pelamar mengupload scan piagam prestasinya. Sebab, namanya tidak terdata dalam daftar pemenang yang tertera.

Ketiga, perlu ruang pembuktian jika diperlukan. Pihak panitia PPDB sebaiknya memiliki tim independen (yang kompeten di bidang tertentu) untuk menguji kemampuan real si anak. Teknisnya, semua calon siswa yang akan lolos jalur prestasi dipanggil terlebih dahulu untuk melakukan kegiatan wawancara dan testing sesuai bidang prestasi masing-masing.

Kegiatan wawancara dan testing ini sifatnya mengkonfirmasi, mengecek ulang dan mensinkronkan hasilnya dengan piagam yang dilampirkan. Untuk meningkatkan keyakinan publik, akan lebih bagus jika hasil wawancara dan testing tersebut direkam dan diunggah sebagai lampiran pendukung.

Semoga dijadikan pertimbangan oleh pihak otoritas perancang dan penyelenggara PPDB di Bali khususnya Kota Denpasar—sehingga ke depan kualitas sistem dan pelaksanaannya semakin jurdil (jujur-adil) serta sesuai dengani ekspektasi publik. (Penulis, Guru SMP Cipta Dharma Denpasar, Bali)