Rabu, 01 Desember 2021

 

 

Pura Dalem Dukut di Sukun, NP. Foto: I Komang Windia


Salah satu raja Nusa yang populer dan disegani oleh masyarakat Nusa Penida ialah Dalem Dukut. Beliau dikenal sebagai raja yang bijaksana. Di bawah pemerintahnnya, masyarakat Nusa merasa aman, tentram dan sejahtera. Padahal, raja Dalem Dukut tidak berdarah Nusa.

Jika merujuk pada buku Babad Nusa Penida yang ditulis oleh Mangku Budha (1997), nama Dalem Dukut memang tidak masuk dalam hierarki (silsilah) Dukuh Jumpungan. Begitu juga dengan versi-versi babad Nusa baik yang bertebaran di dunia maya maupun yang berkembang di kalangan masyarakat. Tak satu pun yang menyebutkan bahwa Dalem Dukut masuk dalam keluarga Ki Dukuh Jumpungan.

Lalu, Dalem Dukut termasuk trah siapa? Terkait dengan pertanyaan ini, banyak versi babad Nusa yang berkembang mengulas tentang kesejatian Dalem Dukut tetapi masih samar. Sumber buku, sumber digital dan cerita lisan masyarakat lokal menyinggung eksistensinya secara misterius. Hampir semuanya mengulas dalam kerangka mitologi.

Selama ini, saya belum menemukan referensi historis yang memadai tentang kesejatian raja Dalem Dukut. Referensi historis yang saya maksud ialah ada peristiwa atau kronologi yang bernilai fakta sejarah—yang menjadi pedoman membaca kesejatian raja Dalam Dukut. Mungkin yang paling kompeten mengungkap kasus ini nantinya ialah para peneliti, pakar filologi dan sejarawan.

Jika berbicara tentang kesejatian raja Dalem Dukut, kita pasti diarahkan ke sebuah dunia yang sama. Baik versi (cerita lisan) masyarakat lokal maupun referensi tertulis menggiring kita pada satu jalur yakni mitos.

Mitos dengan variasi versi, tetapi ujung pangkal kisahnya sama. Pusat mitosnya ada pada tiga tokoh yaitu Bathara Tohlangkir, Dalem Dukut dan raja Dalem Sawang. Dalem Sawang adalah orang yang berkuasa di Nusa Penida. Ia dikenal sebagai raja yang kanibal. Raja ini senang memakan rakyat Bali dan rakyatnya sendiri.

Konon, Dalem Sawang memiliki anak buah wong samar yang dipastu dari bekas pasukan I Renggan. Anak buah wong samar ini tersebar hampir di seluruh pelosok desa di Bali. Mereka menebar penyakit muntaber kepada rakyat Bali hingga meninggal. Mayat inilah yang dipersembahkan kepada raja Dalem Sawang.

Deskripsi kuat tentang kanibalisme ini dapat dilihat dalam Gaguritan Ratu Gede Mecaling, Karangasem, I milik I Ketut Kari, Br. Bias, Abang, Karangasem 21 Juni 2007 (dalam bentuk Pupuh Ginada) sebagai berikut: “Sambilang ngalungin basang, padha ngigel mangilehin, hapan lega mangranayang, mabunga bahan paparu, masengkuhub (masekuub) jajaringan, mahanting-hanting -/-  ungsilané /63/ mahuttama”.

Terjemahan bebasnya kurang lebih begini. Sembari berkalung usus, mereka (wong samar dan Dalem Sawang) menari berputar-putar karena saking gembiranya, paru-paru dipakai bunga, jajaringan dipakai kerudung, lever digunakan sebagai anting-anting.

Ulah kanibalismenya membuat Bhatara Tohlangkir menjadi marah. Tohlangkir mengambil rumput kasna. Kemudian, rumput itu dipuja dengan mantra-mantra. Dari ritual tersebut keluarlah anak laki-laki yang tampan. Anak itu diberi nama Dalem Dukut. Dalam bahasa Jawa kuno, “dukut” berarti rumput, sedangkan bahasa Balinya berarti padang. Dalem Dukut inilah yang diutus untuk menumpas raja Dalem Sawang yang zolim.

Berbekal keris Pencok Sahang (pemberian Tohlangkir), Dalem Dukut berhasil mengalahkan raja raksasa sakti, Dalem Sawang. Kemenangan Dalem Dukut sekaligus menjadi momen bagi dirinya untuk menjadi raja di Nusa Penida.

Dalem Dukut dipuja sebagai juru selamat, pahlawan dan sekaligus raja baru. Di pihak lain, kekalahan Dalem Sawang menimbulkan kekecewaan. Karena itu, ipar dari I Mecaling ini melenyapkan sumber mata air (asta gangga) di puncak Mundi, salah satu ikon kemakmuran masyarakat Nusa. Akibatnya, geografi Nusa Penida mendadak menjadi kering dan tandus.

Dalem Dukut marah dengan tindakan Dalem Sawang. Namun, ia tidak mampu membalikkan keadaan seperti semula. Ia harus ikhlas menerima warisan kondisi alam yang tandus. Meski demikian, raja Dalem Dukut tetap menjalankan pemerintahannya dengan baik. Ia mampu memimpin Nusa dengan bijak, adil dan makmur.

Tafsir Mitos Dalem Dukut

Dari cerita mitos di atas, maka kita akan berkesimpulan bahwa  Dalem Dukut berasal Bali seberang. Apakah dari Karangasem? Dari keluarga siapa? Lalu, apa kewenangan Tohlangkir (lewat utusan Dalem Dukut) mengintervensi kekuasaan di Nusa? Semua masih serba misterius.

Sama misteriusnya dengan mitos itu sendiri. Ketika mitos menjadi produk sastra masyarakat, ia sangat potensial mengandung variasi tafsir. Karena dalam mitos tersembunyi fakta-fakta sejarah (mungkin) yang dibungkus dengan simbol-simbol tertentu dalam cerita.

Begitu juga dengan mitos tentang kesejatian Dalem Dukut. Sangat terbuka untuk dinterpretasikan ulang. Sangat terbuka untuk diperdebatkan, termasuk tentang asal-usulnya.

Jika mencermati proses kelahiran Dalem Dukut, orang akan mengatakan peristiwa itu irasional. Namun, sebagai utusan dari Bali seberang mungkin bisa diterima sebagai fakta. Artinya, kuat dugaan bahwa Dalem Dukut berasal dari luar Nusa (dari Bali daratan).

Mengapa harus dikaitkan dengan tokoh Tohlangkir, Dewa (penguasa) yang berstana di Gunung Agung—puncak tertinggi di Bali? Pertama, saya menduga bahwa tokoh Tohlangkir merupakan spirit posisi tertinggi di Bali—simbol kekuasaan (power) tertinggi di Bali seberang. Penguasa tertinggi di Bali. Bisa jadi referensinya adalah raja yang berkuasa di Bali seberang saat itu.

Kedua, Sugi Lanus  (Bali Post, 2020) pernah menulis bahwa zaman dulu Bhatara Tohlangkir adalah dewa pujaan wajib bagi para penguasa tertinggi / raja di Bali. Kalau tidak taat memuja Bhatara Tohlangkir, maka disebutkan akan “pendek usia” (mungkin maksudnya usia pemerintahannya) dan nasibnya akan “terjungkal” (gampang dikalahkan/ diturunkan). Dalam konteks ini, seolah-olah ada cap legalitas super power agar dapat berkuasa lama dan disegani (mirib mungkin dengan mitos hubungan raja-raja Jawa dengan Nyi Loro Kidul).

Karena itu, kuat dugaan bahwa Dalem Dukut adalah utusan (ksatria) dari penguasa tertinggi (raja) Bali waktu itu. Utusan untuk menyelamatkan dan sekaligus mengambil alih kekuasaan di Nusa. Kok, bisa begitu?

Dari sinilah saya mencurigai bahwa zaman itu Nusa berada di bawah bayang-bayang kekuasaan dari kerajaan Bali seberang. Artinya, kala itu Nusa belum sepenuhnya menjadi kerajaan yang otonom. 

Sebelum era Dalem Sawang, Tohlangkir juga sukses mengalahkan (menundukkan) kekuasaan I Renggan. Misi I Renggan untuk menabrakkan perahu saktinya ke gunung Agung ambyar di tangan Tohlangkir. Perahu I Renggan dikoyak badai dan akhirnya tenggelam di Pulau Nusa Ceningan-Lembongan.

Era I Renggan mungkin dapat dibaca sebagai upaya ekspansi kekuasaan atau penundukkan terhadap Bali seberang. Memang hasilnya tidak sesuai ekspektasi. Namun terlepas dari hasil, saya menafsirkan bahwa pada zaman I Renggan sudah ada gesekan power antara Nusa dan Bali seberang.

Memang dalam mitos tidak disebutkan secara eksplisit bahwa I Renggan seorang raja. Akan tetapi, fakta mitos menyebutkan I Renggan diceritakan memiliki misi ingin menabrakkan perahu saktinya ke Pulau Lombok dan Pulau Bali—setelah sukses menabrakkan Pulau Nusa Gede. Secara tersembunyi, kita bisa berpikiran bahwa I Renggan punya kekuasaan atau jangan-jangan ia adalah penguasa di Nusa.

Ketika I Renggan kalah dari Tohlangkir, apakah ini berarti Nusa berada di bawah kekuasaan Tohlangkir (baca: raja Bali)? Jika membaca skema silsilah Dukuh Jumpungan, Dalem Sawang adalah generasi satu tingkat di bawah I Renggan. Dalem Sawang bukan keturunan langsung dari Dukuh Jumpungan, tetapi masih punya hubungan keluarga dengan I Renggan (menantunya).

Pasca kekalahan I Renggan, babad Nusa Penida baru menyinggung soal raja Nusa yakni Dalem Sawang. Pada generasi Dalem Sawang ada kata utusan dari Bali seberang. Apakah hal ini berarti pasca kekalahan I Renggan menjadi tonggak bahwa Nusa berada di bawah kekuasaan Bali?

Jawabannya bisa jadi “ya”. Sebab, pada masa pemerintahan Dalem Sawang sudah ada utusan dari Bali untuk mengambil alih kekuasaan di Nusa. Hal ini berarti, raja Bali memiliki kewenangan mengontrol, mengatur dan mengendalikan pemerintahan di Nusa.

Fakta lainnya yang diungkap dalam mitos Dalem Dukut ialah soal rasa penerimaan dari masyarakat Nusa. Dalam mitos disinggung bahwa kedatangan Dalem Dukut di Nusa disambut baik oleh masyarakat Nusa kala itu. Momen kehadirannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat Nusa.

Kondisi di atas memberikan gambaran bahwa masyarakat Nusa tidak nyaman dengan pemerintahan dari Dalem Sawang. Bisa jadi mereka sudah lama merasa ditelantarkan oleh raja Dalem Sawang. Karena Dalem Sawang mungkin hanya memikirkan ego atau kesenangannya sendiri.

Klaim raja yang kanibal atau memakan daging rakyat Nusa dan Bali seberang sangat dekat dengan perilaku egois. Deskripsi kanibalisme bisa jadi berkonotasi dengan raja yang sewenang-wenang. Atau kasarnya kejam. Dianggap kejam karena mungkin hanya memikirkan kesenangan diri sendiri, membuat rakyat menderita dan tidak peduli dengan nasib kehidupan rakyat.

Karena itu, masyarakat Nusa menyambut Dalem Dukut bak pahlawan. Sebaliknya, Dalem Sawang sangat benci atas kehadiran Dalem Dukut di Nusa. Dalem Sawang menganggap Dalem Dukut sebagai musuh besar.

Seiring perkembangan waktu, rasa permusuhan Dalem Sawang tidak hanya kepada Dalem Dukut tetapi meluber kepada masyarakat Nusa sendiri. Tindakan melenyapkan asta gangga (danau/ sumber mata air di Puncak Mundi) bukan hanya sebuah kutukan dari seorang Dalem Sawang, melainkan permusuhan abadi nan misterius kepada masyarakat Nusa Penida. Apakah ini  tindakan kanibalisme? Entahlah.

 

Pura Dalem Ped. Foto: ww.flickr.com

Apakah Anda mengenal “Pura Dalem Nusa” di Nusa Penida? Ah, Anda mungkin geleng-geleng kepala. Bagaimana dengan Pura Dalem Ped? Pasti sangat familiar-lah. Bukan hanya umat se-dharma, beberapa penekun spiritual (dari berbagai lintas agama) pun banyak yang mengenalnya. Padahal, Pura Dalem Nusa adalah nama lampau dari Pura Dalem Ped yang sekarang. Mengapa “Pura Dalem Nusa” berubah nama menjadi Pura Dalem Ped?

Sangat minim sumber yang menjelaskan latar belakang perubahan nama tersebut. Salah satu sumber yang menyinggung pergantian nama itu ialah buku Sejarah Nusa dan Sejarah Pura Dalem Ped karangan Drs. Wayan Putera Prata. Buku ini dijadikan sumber utama dari beberapa tulisan yang bertebaran di dunia maya.

Merujuk pada buku Sejarah Nusa dan Sejarah Dalem Ped, pergantian nama baru Pura Dalem Ped dilakukan oleh tokoh puri Klungkung pada zaman Dewa Agung. Namun, tidak dituliskan secara rinci pada pemerintahan siapa dan nama detail tokoh puri tersebut. Pun tidak disebutkan persis waktu pergantian nama itu.

Buku ini hanya menyebutkan bahwa pergantian nama “Dalem Nusa” menjadi Dalem Ped dilatarbelakangi oleh peristiwa sederhana. Peristiwa yang bersifat historis dan berbau mistis. Cerita bermula dari Ida Pedanda Abiansemal yang kehilangan tiga buah tapel. Ketiga tapel itu menghilang secara misterius.

Suatu hari, Ida Pedanda mendengar kabar bahwa ketiga tapelnya berada di Pura Dalem Nusa. Untuk membuktikan kepastian kabar ini, maka Ida bersama pepatih dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa. Perjalanan Ida tidak sia-sia. Di luar dugaan, 3 tapel beliau muncul secara gaib di Pura Dalem Nusa.  

Namun, Ida Pedanda tidak mengambil kembali tapel-tapel itu. Entah apa dasar pertimbangannya. Beliau hanya berpesan kepada warga Nusa agar menjaga tapel-tapel itu dengan baik, dan secara kontinyu melakukan ritual (upacara) sebagaimana mestinya.

Pasca penemuan dan proses ritual, muncul kabar bahwa tapel-tapel itu memiliki kekuatan magis atau kesaktian. Konon, tapel-tapel itu mampu menyembuhkan berbagai penyakit baik yang diderita oleh manusia maupun tumbuhan. Kabar ini menyebar hingga ke seluruh pelosok  Bali, termasuk kepada warga Subak Sampalan.

Warga Subak Sampalan yang sedang dirundung serangan hama, mengutus kliannya untuk memohon anugerah (mesesangi) ke Pura Dalem Nusa. Intinya, memohon agar warga Subak Sampalan terhindar dari berbagai hama yang menyerang tanaman mereka.

Tak lama kemudian, serangan hama mulai mereda. Sesuai sesanginya, warga Subak Sampalan kemudian menggelar upacara mapeed. Langkah-langkah ini diikuti oleh subak-subak lain di sekitar Sampalan.

Kabar tentang pelaksanaan upacara mapeed itu terdengar hingga ke seluruh pelosok Nusa. Sejak saat itulah, Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa dengan Pura Dalem Peed (Ped).

Tafsir Cerita

Lalu, adakah efek skala atau niskala dari pergantian nama ini? Adakah riak-riak tanggapan dari masyarakat Nusa Penida kala itu? Saya belum pernah mendengar secara lisan ataupun membaca catatan tertulis terkait hal ini.

Namun, saya menduga bahwa besar kemungkinan tidak ada celah tanggapan (pengingkaran) dari masyarakat Nusa kala itu. Pertama, dilihat dari aspek historis, Nusa termasuk wilayah taklukan dari kerajaan Klungkung. Jadi, keputusan dari kerajaan Klungkung adalah realitas yang mesti diterima oleh masyarakat Nusa. Apalagi, keputusan ini datang dari seorang tokoh puri. Keluarga yang sangat disegani dan dihormati oleh seluruh masyarakat yang berada di bawah kekuasaannya, termasuk Nusa kala itu.

Kedua, pergantian nama pura itu dikemas dalam bingkai mistis. Biasanya, unsur mistis menjeruji daya nalar pengingkaran. Celah-celah rasional berpikir seolah-olah dimatikan. Semua peristiwa mistis harus diterima apa adanya. Kalau tidak, akan muncul ancaman efek niskala. Siapa yang berani melawan efek niskala?

Begitulah power cerita mistis. Ia akan menciptakan rasa ketakutan. Ketakutan untuk melawan. Mirip titah seorang raja kepada masyarakat kecil. Hanya ada satu kata yakni menerima, tunduk atau menjalankan. Entah benar atau salah. Itu urusan nanti.

Kalau kita mau merenung, jangan-jangan unsur mistis sudah menjadi semacam strategi “penjinakan” logika. Strategi untuk menyampingkan logika. Sebaliknya, selalu menjaga keintiman dengan rasa. Umumnya, rasa menerima. Rasa tunduk. Ujung-ujungnya, tumbuh kepercayaan dan keyakinan.

Karena itu, modal power (kekuasaan) dan mistis merupakan senjata yang sangat kuat untuk menundukkan mind set orang zaman dulu. Jangan-jangan kondisi ini masih berlaku hingga sekarang. Para penguasa memanfaatkan kolaborasi unsur power dan mistik untuk menundukkan pemikiran massa.

Saya tidak berniat meragukan atau membantah cerita di atas. Apalagi mengusik keyakinan/ kepercayaan orang. Akan tetapi, jika sebuah keputusan datang dari puri Klungkung (sebagai penguasa tertinggi) kepada wilayah bawahan (Nusa), tentu menarik ditelisik dari aspek politiknya.

Artinya, patut dicurigai bahwa cerita itu mungkin saja mengandung muatan politik. Ada maksud-maksud tertentu (pesan politis) yang tersembunyi dalam cerita tersebut untuk menguatkan keputusan mengubah “Dalem Nusa” menjadi Dalem Ped.

Dari segi semantis, kata “Dalem Nusa” mungkin menimbulkan citraan konfrontasi. Seolah-olah dua kata ini lebih menonjolkan maaf “perlawanan”. “Dalem” berarti raja, sedangkan “Nusa” adalah sebutan asal wilayah. Jadi, “Dalem Nusa” kurang lebih bermakna raja asal Nusa (raja Nusa).

Dari sisi politik, imaji yang ditimbulkan dari kata tersebut sangat sensitif. Pasalnya, tercatat dua kali raja Nusa melakukan pemberontakan terhadap kerajaan Bali (Klungkung). Pemberontakan I Dewa Bungkut pada masa pemerintahan dinasti Kresna Kepakisan dan Ratu Sawang pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong (sebelum Bali pecah menjadi 9 kerajaan kecil). Setidaknya, dua peristiwa ini menimbulkan luka sejarah (bagi masyarakat Nusa) dan trauma sejarah bagi kerajaan Klungkung.

Agar tidak terjadi pemberontakan ulangan, zaman dulu para penguasa kerajaan Bali menerapkan politik akulturasi dengan masyarakat Nusa. Caranya, menempatkan beberapa pejabat Klungkung dan sebagian laskarnya di Nusa Penida (Sidemen, 1984). Secara tidak langsung, pembuangan di NP juga menjadi semacam misi untuk mempercepat proses akulturasi.

Dalam konteks inilah, puri Klungkung memandang penting meredam efek imaji yang ditimbulkan dari kata “Dalem Nusa”. Kata ini mungkin dirasakan menyimpan spirit bahaya laten. Karena itu, mengganti “Dalem Nusa” menjadi Dalem Ped bisa jadi semacam tindakan politis yang sangat halus. Tujuannya, untuk mengurangi unsur penonjolan aroma raja Nusa. Hadirnya kata “Ped” di belakang “Dalem” terdengar lebih halus tetapi penuh tafsir.

Ped (peed) bermakna kurang lebih “beriringan”. Kesan yang tercintrakan menjadi tidak kontras. Beriringan mungkin mirip dengan makna seiring, berjalan ke arah yang sama. Lebih spesifik, melakukan perjalanan bersama-sama ke arah yang sama. Ya, bersatu mencapai tujuan yang sama.

Ada pesan persatuan dan perdamaian yang hendak dicitrakan dalam makna kata “Ped”. Barangkali, kerajaan Klungkung ingin mengajak masyarakat Nusa untuk melupakan luka dan trauma sejarah. Ketika tapel-tapel itu (dalam cerita) bisa menyembuhkan berbagai penyakit, pun diharapkan (secara simbolis) dapat mengobati luka-luka sejarah masyarakat Nusa. Selanjutnya, masyarakat Nusa diajak mapeed (bergandengan) untuk menciptakan hubungan yang harmonis—menuju kerajaan Klungkung yang lebih maju.

Pesan politis itu dikemas begitu rapi dalam cerita. Tapel-tapel (topeng) dapat disimbolkan sebagai maksud-maksud tersembunyi. Ada pesan politik yang hendak disembunyikan. Kemudian, tapel-tapel diabsurdkan bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam konteks hubungan politik antara kerajaan Klungkung-Nusa, luka dianggap paling fenomenal ialah luka/ dendam sejarah (pemberontakan).

Kerajaan Klungkung sangat memahami masa lalu kedua belah pihak. Karena itu, muncul peristiwa mapeed dalam cerita. Peristiwa mapeed dapat disimbolkan atau ditafsirkan sebagai “ajakan beriringan atau bergandengan” menuju satu tujuan yang dikonsepkan oleh pemerintah kerajaan Klungkung.

Dalam konteks“mengajak bergandengan” dari simbol mapeed, juga menimbulkan tafsir lain. Bisa jadi, mapeed mengandung maksud bahwa raja Nusa sudah takluk di bawah kekuasaan kerajaan Klungkung. Ada semacam ego politik untuk menonjolkan kekuasaan. Kerajaan Klungkung hendak memberikan kesadaran bahwa masyarakat Nusa sudah “ngiring” atau ikut kerajaan Klungkung.

Dua tafsir terakhir sangat berkolerasi dengan karakter raja yang memerintah di Klungkung zaman itu. Jika raja yang berkuasa memiliki karakter visioner, bijak dan rendah hati—maka besar kemungkinan mengarah kepada tafsir pertama. Ada pesan perdamaian dan persatuan yang hendak disampaikan dalam pergantian “Dalem Nusa” menjadi Dalem Ped.

Sebaliknya, jika raja yang berkuasa memiliki karakter arogan, ego dan suka dipuji-puji—bisa jadi mengarah kepada tafsir kedua. Kerajaan Klungkung hendak memamerkan power/ kekuasaan. Ada pesan superior dan inferior yang hendak disampaikan dalam pergantian “Dalem Nusa” menjadi Dalem Ped.

Di luar kepentingan politik, pergantian “Dalem Nusa” menjadi Dalem Ped mungkin mempertimbangkan aspek historis-silsilah. Aspek historis-silsilah yang dimaksud ialah berkaitan dengan (tabik pekulun) sesuhunan Ratu Gede Mecaling yang melinggih di Pura Dalem Ped.

Dalam beberapa sumber menyebutkan Ratu Gede Mecaling merupakan patih yang sakti mandraguna. Sedikit sumber yang menyebutkan bahwa beliau pernah menjabat sebagai seorang raja. Buku Babad Nusa Penida (Budha, 2007) misalnya, hanya menjelaskan bahwa I Mecaling adalah seorang pertapa yang memiliki kesaktian yang luar biasa (kanda sanga dan panca taksu)—pemimpin/penguasa wong samar.

Kuasa magisnya memang tidak diragukan lagi. Terbukti, pelinggih penyimpangan beliau bertebaran tidak hanya di Bali, tetapi hingga ke nusantara. Bahkan, mungkin hingga ke tingkat internasional. Karena Dalem Ped juga dipuja oleh beberapa penekun spiritual dari belahan dunia internasional.

Begitu juga dalam Geguritan Ratu Gede Mecaling, Karangasem I milik I Ketut Kari Br. Bias, Abang, Karangasem (2007) juga mendeskripsikan beliau seorang patih. Tidak ada deskripsi yang mengambarkan beliau seorang raja.

Mungkin atas dasar histori-silsilah inilah, nama “Dalem Nusa” (raja Nusa) dianggap kurang pas oleh pihak kerajaan Klungkung—meskipun beliau memiliki power (kuasa) magis (kesaktian) yang terkenal hingga ke seluruh Bali (waktu itu).

Namun, perlu diingat bahwa aspek apapun yang menjadi dasar pertimbangan pergantian “Dalem Nusa” menjadi Dalem Ped, rasanya sulit menihilkan muatan politisnya. Bagaimanapun, itu adalah keputusan kerajaan induk kepada pecahan daerah kekuasaannya.

Senin, 13 September 2021

 



Pohon Bunut Tua. Foto: I Ketut Serawan


Pohon bunut di Nusa Penida (NP) tergolong tumbuhan istimewa. Tidak hanya menjadi benteng pakan sapi (saat musim kemarau panjang), bunut juga digunakan sebagai peneduh, lumbung hidup hingga tempat aktivitas sosial.

Karena itu, hampir semua peternak sapi di NP memiliki pohon bunut. Bunut dapat digolongkan sebagai tumbuhan spesialis untuk menghadapi situasi paceklik pakan sapi saat musim kemarau panjang.

Tanaman yang tergolong family Ficus ini sangat tangguh menghadapi karakter geografi NP beserta siklus kemarau panjangnya. Ketika pohon-pohon lain meranggas pada musim kemarau, maka bunut tetap tegar, tak gentar sengatan panas, dan tetap rindang.

Sebagai keluarga Ficus, pohon bunut memiliki kemiripan dengan pohon beringin. Salah satunya ialah memiliki akar gantung. Selain memperkokoh bodi pohon, akar gantung juga berfungsi untuk menyerap uap air dan gas CO2 dari udara (sebagai proses dan siklus respirasi). Jika akar tumbuh hingga masuk ke dalam tanah, maka dapat menyerap air maupun garam-garam mineral.

Kelebihan tersebut mungkin menyebabkan pohon bunut dapat menjaga kelembapan, membantu pertukaran udara, propagasi, stabilitas, dan nutrisi—sehingga pohon bunut tetap stabil menjaga kerindangannya.

Kerindangan pohon bunut inilah yang dimanfaatkan oleh para peternak NP dalam menyelamatkan sapi-sapinya dari ancaman krisis pakan pada musim kemarau. Daun bunut yang bergetah dijadikan pakan utama (wajib) sehari-hari meskipun tidak sedap di lidah para sapi. Apabila ketersediaan pakan hijauan melimpah akibat musim hujan, maka daun bunut tidak mau dimakan oleh sapi.

Hingga kini sapi-sapi di NP murni mengandalkan pakanan hijauan. Pakanan hijauan ini berasal dari rumput-rumput liar, daun jagung, daun pisang, gamal, daun singkong, daun jati, bunut dan lain sebagainya. Intinya, pakanan sapi murni sangat bergantung pada ketersediaan di alam. Jarang bahkan tidak pernah para peternak NP memberikan pakanan konsentrat (termasuk pakan tambahan) kepada sapi-sapinya.

Pemberian daun bunut kepada sapi terintegrasi dengan rantingnya. Biasanya, sapi-sapi akan memakan daun beserta lapisan kulit rantingnya. Sisanya ialah kayu ranting yang terkelupas putih bersih. Kondisi ini menyebabkan kayu ranting menjadi cepat kering. Kayu ranting inilah yangi dimanfaatkan sebagai kayu bakar.

Selanjutnya, pohon bunut juga menjadi peneduh untuk ternak babi dan termasuk sapi. Peternak babi atau sapi di NP jarang membuat kandang khusus. Mereka biasanya mengikatkan hewan ternaknya langsung di bawah pohon rindang seperti bunut.

Pohon bunut juga memiliki buah yang menjadi lumbung hidup terutama bagi burung, serangga dan kelelawar. Ketika buah bunut matang, yang dicirikan dengan warna merah kehitaman (merah tua), pohon bunut menjadi sarang burung punan, pleci dan cilalongan.

Burung punan biasanya berpesta buah bunut secara bergerombol. Burung ini datang dalam jumlah puluhan bahkan ratusan. Mereka berpesta secara sosial. Karena itu, kehadiran burung ini ditandai dengan riuh bunyi dari kicau dan kepakan-kepakan sayapnya ketika berpindah atau berebut buah bunut.

Kepakan-kepakan punan semakin riuh terdengar ketika meninggalkan pesta buah bunut. Sebagai tipe burung komunal, punan selalu beraktivitas secara bergerombol. Jika ada satu atau dua ekor pergi meninggalkan pesta, maka yang lainnya otomatis terbang serentak, ikut dalam kesatuan rombongan.

Sedangkan, pleci dan cilalongan memakan buah bunut secara sporadis. Jumlahnya tidak sebanyak burung punan. Kedua burung ini bukan tipe burung komunal (bergerombol). Mereka bisa datang sendirian atau dengan beberapa ekor teman lainnya.

Di sela-sela pesta para burung, ada beberapa kupu-kupu yang ikut menikmati buah bunut yang matang, hasil robekan paruh burung-burung. Sebab, kupu-kupu tidak bisa menembus daging buah bunut yang cukup tebal.

Tidak hanya pagi, siang dan sore hari, riuh satwa juga berlanjut hingga malam hari. Ketika burung-burung dan kupu-kupu beristirahat, giliran hewan nokturnal kelelawar memulai pestanya. Sebelum berpesta pada malam hari, kelelawar biasanya mulai survei, terbang mondar-mandir mengelilingan pohon bunut menjelang petang hari.

Dari hasil pesta para burung dan kelelawar mengakibatkan beberapa buah bunut jatuh ke tanah baik dalam keadaan utuh, seperempat utuh, setengah utuh bahkan ada dalam rupa serpihan-serpihan buah kecil. Sisa-sisa pesta buah ini juga menjadi incaran binatang-binatang lain di bawah seperti ulat bulu dan serangga lainnya.

Fungsi lainnya, pohon bunut juga menjadi tempat bersarangnya serangga insekta seperti semut semaluh dan semangah. Berbeda dengan semaluh, sarang semangah lebih mudah diidentifikasikan. Sarangnya berbentuk mirip bola, gabungan beberapa daun dengan sejenis serat laba-laba, karya cipta sosial para semangah.

Jika pohon bunut menjadi sarang semangah, maka dipastikan ranting dan daunnya dipangkas belakangan. Biasanya, para peternak memangkas ranting pohon bunut yang tidak dihuni oleh bangsa semut. Kalau toh dihuni semaluh, masih dikategorikan aman bagi peternak karena insekta ini tidak menggigit orang.

Jika pohon bunut dihuni oleh semangah, maka peternak sapi harus berpikir dan bertindak serba cepat. Mulai dari memanjat pohon induknya, cabang pohonnya hingga mengekskusi (memotong) ranting pohon bunut. Eksekusi yang cepat ini berguna untuk meminalisasi rasa sakit akibat gigitan semangah.

Sebetulnya, ada cara tradisional dalam meminimalisasikan gigitan semangah. Pemanjat pohon bunut biasanya menggunakan aon (abu dari hasil kayu bakar). Sebelum memanjat, para pemanjat melumuri badannya dengan aon terutama pada bagian kaki dan tangan. Karena bagian organ inilah yang paling mudah diserang, sebelum bagian lainnya.

Karena itu, dibutuhkan konsentrasi penuh ketika memotong ranting pohon bunut yang berisi semangah. Konsentrasi untuk cepat memanjat, cepat memangkas ranting, menahan gigitan semangah, dan konsentrasi bertahan di pohon. Kalau tidak fokus, maka hanya beberapa kali tebasan—pemanjat biasanya segera turun akibat tidak kuat menahan gigitan semangah.

Sakit dan pedasnya terasa jika semangah menggigit secara masif tubuh kita. Dalam kondisi seperti ini, konsentrasi mendadak ambyar. Hanya ada satu pikiran yang terlintas yaitu turun dari atas pohon bunut sesegera mungkin. Ketika sudah mengginjakkan kaki di atas tanah, maka kedua tangan kita spontan mengusap dengan kasar semangah yang menempel pada tubuh untuk mengurangi rasa sakit.

Pohon bunut juga dijadikan sarang bertelur oleh jenis burung tertentu, misalnya becica, burung nagi, cilalongan, perit dan lain sebagainya. Pada beberapa pohon bunut kadang ada yang memiliki rongga. Ada lubang pada bodi pohon. Rongga ini sangat disukai oleh burung becica sebagai tempat untuk bertelur.

Di sela-sela ranting dan rimbun daunnya juga banyak ditemukan sebun (sarang) burung seperti perit, cilalongan, crucuk, tekukur, perkutut dan yang paling antik yaitu sebun burung nagi. Sebutan nagi diambil dari kata undagi (sebutan arsitek tradisional Bali). Masyarakat di kampung saya menyebutnya dengan burung nagi, mungkin karena desain sebunnya dianggap unik, menyerupai kantong yang menggantung.

Ruang Aktivitas Sosial

Kerindangan pohon bunut juga diberdayakan sebagai ruang aktivitas sosial di NP. Waktu saya kecil (tahun 80-an), ruang di bawah pohon bunut dijadikan tempat bermain untuk anak-anak. Di bawah rindang pohon bunut, saya dan teman-teman biasa menggelar permainan tradisional seperti gala-gala, metembing, meciklak, gajig-gajigan, main kelereng, petak umpet dan lain sebagainya.

Kemudian, ruang bawah bunut juga biasa digunakan untuk aktivitas adat seperti nampah, mebat, ngelawar dan nyate. Jika ada upacara adat pernikahan dan tiga bulan bayi misalnya, maka masyarakat akan menggelar pesta dan ritual adat. Pada saat inilah masyarakat melakukan potong babi dan ayam.

Dagingnya dipotong-potong, dibersihkan dan diolah menjadi kuliner khas Bali seperti lawar, sate, jukut ares dan komoh. Semua proses pengolahan kuliner ini biasanya memanfaatkan ruang rindang pohon bunut.

Kerindangan pohon bunut juga menjadi ruang hiburan. Misalnya tempat bermain kartu seperti ceki, spirit, dan dom-an pada hari-hari tertentu. Pun digunakan sebagai tes tarung ayam kurungan (tanpa taji). Seringkali para pemelihara ayam aduan juga memanfaatkan pohon bunut sebagai tempat mekipu ayam peliharaannya. Alas sangkar bawahnya dilepas, kemudian ayam aduannya siap mekipu, seolah-olah merayakan kebebasannya.

Aktivitas menumbuk jagung juga memanfaatkan kerindangan pohon bunut. Beberapa masyarakat NP menaruh lesung dan lu di bawah pohon bunut. Pagi atau sore hari, ibu-ibu atau para gadis menumbuk jagung untuk menghasilkan kelanan yang siap diolah menjadi nasi jagung.

Aktivitas sosial lainnya ialah kegiatan “mekutu”—menangkap kutu di sela-sela rambut kepala. Kegiatan ini hampir setiap hari dijumpai di bawah kerindangan pohon bunut. Pelakunya dari kalangan ibu-ibu. Aktivitas mekutu dilakukan seusai mengemban tugas domestik dan tugas tambahan lainnya. Waktunya bisa ditebak yakni siang hari.

Para ibu menghimpun diri di bawah pohon bunut dengan keluarga sekitar. Mereka duduk berpasangan. Pencari kutu duduk di belakang, menghadap atas kulit kepala dengan posisi duduk lebih tinggi daripada yang dicarikan kutu.  

Tahap persiapan dimulai dengan membuka pusungan atau ikat rambut hingga lepas terburai. Dari sinilah pencarian kutu dimulai. Jari-jari tangan mulai beraksi menyibakkan helai demi helai rambut. Siapa tahu ada kutu atau telurnya yang menempel. Atau bisa saja tiba-tiba ada kutu melintas di sela-sela pangkal helai rambut, di atas kulit kepala.

Dalam mekutu, ketajaman mata dan kecakapan mingseg sangat diperlukan. Begitu kutu ditangkap, maka kedua punggung kuku ibu jari spontan menjepit kutu atau telur kutu hingga hancur.

Aktivitas mekutu berlangsung santai, penuh obrolan ringan. Seringkali obrolan itu kental dengan gosip. Bahkan tanpa gosip, mekutu menjadi kurang asyik. Jadi tidak aneh jika waktu mekutu bisa berlangsung hingga sore hari. Tentu bukan karena tangkapan kutunya yang banyak. Namun, topik gosipnya yang menarik, mengalir dan “genit” seperti rambut  kutuan.

Meskipun memiliki peran istimewa, bukan berarti pohon bunut mendapat perlakuan yang setimpal di NP. Tidak ada upaya sengaja dari masyarakat untuk menanam apalagi merawatnya. Pohon bunut tumbuh liar dari biji buah melalui perantara hewan seperti burung atau kelelawar.

Karena itu, pohon bunut bisa tumbuh di mana saja. Misalnya, pada tanah yang tebal, tipis, di atas bebatuan bahkan di atas pohon sendiri atau pohon tumbuhan lainnya.

Jadi, bukan hanya istimewa karena perannya melainkan juga istimewa dalam bertumbuh—meski tidak pernah mendapat perlakuan istimewa. Sebuah pelajaran istimewa dari pohon bunut yang tak diistimewakan.

Minggu, 01 Agustus 2021

 

          Penggunaan Dialek NP Kurang Kental di Daerah Pesisir Barat NP. Foto: I Ketut Serawan



Dialek Nusa Penida (basa Nusa) memiliki kekhasan linguistik, yang berbeda dengan bahasa induknya (bahasa Bali). Kekhasan ini dapat dilihat dari fonologi, morfologi dan terutama kosakatanya. Sebut saja kata “eda” (dibaca éda bukan eda) dan  “kola”. Pronomina persona “eda” (kamu, anda) dan “kola” (aku, saya) sama sekali tidak dijumpai dalam kamus bahasa Bali. “Eda” merupakan pronomina persona pertama, sedangkan “kola” pronomina persona kedua. 

Pronomina persona “eda” dan “kola” begitu khas, tetapi sudah familiar. Kosakata ini paling mudah didengar, diucapkan dan ditirukan oleh penutur bahasa Bali (di luar penutur dialek Nusa Penida). Jika ditanya soal dialek Nusa Penida, orang pasti latah (spontan) menyebut kata “eda” dan “kola”. Mirip mungkin dengan pronomina persona “nani” (kamu, anda) dan “aké” (aku, saya) ketika menyinggung dialek Buleleng.

Karena khas, “eda” dan “kola” dianggap sebagai makhluk kata yang aneh oleh penutur (terutama) di Bali daratan. Beberapa penutur bahasa Bali (daratan), memanfaatkan aspek keanehan ini untuk berbagai tujuan dan kepentingan. Misalnya, sebagai sekadar “latah linguistik”, bahan candaan, ledekan, dan olok-olokan dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan komunitas penutur bahasa Bali. Bahkan, lebih serius digunakan untuk “maaf” membangun imaji stereotip terisolir.

Disadari atau tidak, kasus ini tampaknya sudah lumrah terjadi di mana-mana. Penutur mayoritas memang memiliki kecenderungan dan kekuatan ngewalek (ngeledek) penutur minoritas. Penutur dialek Gianyar memiliki peluang ngewalek pendukung dialek Buleleng jika merasa mayoritas. Sebaliknya, orang Buleleng memiliki peluang yang sama jika mereka berada pada posisi mayoritas.

Karena itulah, sejak dulu penutur “eda” dan “kola” (baca: dialek Nusa Penida) rentan terkena ledekan di Bali (daratan). Selain dianggap minoritas, kekhasan dialek NP mungkin dianggap terlalu berbeda dari standar baku bahasa Bali. Kosakata “eda” dan “kola” misalnya. Mungkin terdengar terlalu berbeda dengan bahasa Bali (baku) yang terkena pengaruh bahasa Jawa Pertengahan.

Sementara, dialek NP masih kuat mempertahankan pengaruh bahasa Jawa Kuna (Darma Laksana, 2016). Laksana menduga bahwa pemertahanan ini berkaitan dengan invansi kerajaan Majapahit terhadap kerajaan Bali dan kerajaan Nusa Penida (yang disebut Gurun dalam Sumpah Palapa). Ketika tunduk di tangan Gajah Mada (bersama laskarnya), bahasa Jawa disinyalir memengaruhi kedua bahasa di daerah taklukannya.

Setelah menaklukan Bali dan Nusa Penida, konon laskar Majapahit ini tidak ingin kembali ke Majapahit. Mereka memilih menetap di Pulau Bali. Sebagian lagi memilih tinggal di Pulau Nusa Penida. Menurut Zoetmulder, kemungkinan laskar Majapahit yang bukan bangsawan inilah, yang masih mempertahankan bahasa Jawa Kuna di tempat tinggal barunya. Pengaruh Jawa Kuna ini masih dirasakan kuat eksis di kalangan penutur dialek  Nusa Penida hingga sekarang.

Filosofi “eda” dan “kola”

Dugaan Zoetmulder mungkin ada benarnya ketika hendak menjelaskan pronomina persona “eda” dan “kola”. Saya mencurigai bahwa kata “kola” berasal dari “kawula” atau “kula”. “Kawula” atau “kula” bermakna hamba, aku, saya. Pronomina persona pertama, yang lumrah digunakan untuk kalangan rakyat jelata.

Mengapa “kola” bukan “kula”? Kecenderungan penutur dialek NP mengucapkan fonem (bunyi) /u/ dengan /o/. Misalnya, /nusa/ menjadi /nosa/, /ubad/ menjadi /obad/, /usud/ menjadi /osud/. Karena itu, saya menduga kata “kola “ telah mengalami adaptasi pengucapan ala dialek NP. Adaptasi dari kata “kula” atau “Kawula” menjadi “kola” (dalam bahasa Jawa dibaca “kulo”).

Penggunaan kata “kola” juga mencerminkan bahwa masyarakat NP tidak mengenal stratifikasi sosial. Masyarakat NP tidak mengenal kasta. Semua masyarakat memiliki strata/ kedudukan yang sama (egaliter). Karena itu, dialek NP tidak mengenal sor singgih basa atau tingkatan bahasa. Dialek NP yang dianggap kasar, digunakan untuk semua masyarakat tanpa terkecuali.

Bagaimana dengan “eda”? Dibaca “éda” bukan “eda” (“eda” artinya jangan atau tidak boleh). Kata ini agak sulit ditelusuri. Namun, banyak masyarakat NP menduga kata ini berasal dari kata “ida”. “Ida” merupakan sebutan penghormatan kepada orang yang memiliki status sosial tinggi. Berfungsi sebagai pronomina persona ke-3. Misalnya, untuk menyebut personal sulinggih (orang suci), keluarga raja (ningrat), keluarga brahmana dan bahkan menyebut sesuhunan.

Namun, dalam praktiknya, di beberapa daerah seringkali kata “ida” digunakan sebagai pronomina persona ke-2. Kata ini digunakan sebagai pronomina persona ke-2 untuk orang berkasta. Pun dialek NP memperlakukan kata “ida” sebagai pronomina persona ke-2.

Silsilah kebenaran “eda” berasal dari kata “ida” masih perlu kajian lebih dalam. Ini PR bagi para pakar lingusitik. Akan tetapi, jika dilacak dari fonemnya, sangat mungkin “eda” berasal dari kata “ida”. Dialek NP biasanya mengucapkan fonem /i/ menjadi /é/. Contohnya, kata /idup/ menjadi /édup/, /idih/ menjadi /édih/, dan /inget/ menjadi /énget/.

Kuat dugaan bahwa “eda” merupakan proses adaptasi pengucapan versi dialek NP dari kata “ida”. Namun, penggunaan kata “ida” bergeser dari acuan aslinya. Aslinya, “ida” digunakan sebagai pronomina persona ke-3 (dia, ia, beliau), tetapi pada dialek NP digunakan sebagai pronomina persona ke-2 (kamu, anda). Entah apa yang melatarbelakanginya.

Jika benar “kola” berasal dari kata “kawula/ kula” dan “eda” dari “ida”, maka saya melihat (seolah-olah) ada semacam kedudukan “rasa makna” yang paradoks. Pada kata “kola” terlintas rasa makna merendahkan diri. Pembicara atau orang pertama menganggap diri terlalu rendah. Sebaliknya, lawan bicara (orang ke-2) dianggap terlalu tinggi.

Auranya mirip kontak komunikasi antara rakyat biasa dengan raja pada zaman dahulu. Padahal, realitanya kontak komunikasi berlangsung antara orang yang sederajat. Mungkin saja, eks laskar Majapahit yang bukan kalangan bangsawan (seperti yang disebutkan oleh Zoetmulder) sudah terbiasa merendahkan diri. Sebaliknya, mereka terbiasa meninggikan lawan bicara terutama ketika berhadapan dengan kalangan ningrat.

Jangan-jangan kebiasaan ini sulit dihilangkan. Maksudnya, kebiasaan merendahkan diri dihadapan keluarga ningrat (raja). Bisa jadi kebiasaan ini yang memunculkan karakter “kesadaran” merendahkan diri dan terbiasa meninggikan lawan bicara (kalangan ningat).

Namun, dalam dinamikanya, kebiasaan meninggikan lawan bicara tidak hanya berlaku kepada orang yang berdarah ningrat. Perlakuan penghormatan ini juga berlaku kepada masyarakat umum, tanpa memandang kelas sosial. Siapa pun lawan bicaranya, semua berhak dihormati.

Bukankah lebih terhormat meninggikan lawan bicara (orang lain), dibandingkan diri sendiri? Mungkin filosofi inilah yang hendak ditonjolkan dalam konteks pronomina persona “eda” dan “kola”. Kita selalu diingatkan untuk meredam ego ke-aku-an. Kita tidak diperkenankan mengumbar kesombongan kepada siapapun. Karena tanpa disadari, sikap arogansi (ego) akan memunculkan kealpaan untuk menghargai orang lain.

Meskipun mengandung fiosofi yang dalam, tetapi penggunaan pronomina persona “eda” dan “kola” tidak berlaku bagi seluruh penutur bahasa Bali yang tinggal di wilayah Kecamatan Nusa Penida. Ada beberapa wilayah yang tidak menggunakan pronomina persona “eda” dan “kola”. Kebanyakan di wilayah NP bagian barat. Misalnya, di Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Lembongan termasuk Jungutbatu. Mereka menggunakan pronomina persona ke-2 seperti ci atau cai dan cang, raga sebagai pronomina persona pertama.

Di belahan Pulau Nusa Penida (Nusa Gede), penutur yang tidak menggunakan pronomina persona “eda” dan “kola” ialah Desa Adat Nyuh Kukuh, Kampung Toya Pakeh, Desa Adat Sebunibus dan Desa Adat Sakti. Biasanya mereka menggunakan pronomina persona kedua seperti ci, cai dan pronomina persona pertama yakni cang, raga, eba, dan awak.

Sementara, di wilayah timur Pulau Nusa Penida hanya kalangan dewa dan ngakan yang tidak menggunakan pronomina persona “eda” dan “kola”. Mereka menggunakan bahasa Bali yang standar. Mereka menggunakan pronomina persona seperti tiang, ragane dan lain sebagainya.

Jika dicermati, kebanyakan penutur wilayah pesisir barat NP tidak menggunakan pronomina persona “eda” dan “kola”. Tampaknya, mereka lebih terkontaminasi oleh standar bahasa Bali. Hal ini rasional mengingat (dulu) wilayah pesisir lebih intens melakukan kontak bahasa dengan masyarakat Bali daratan. Frekuensi kontak inilah yang mungkin menyebabkan mereka lebih berusaha mendekati standar bahasa Bali.

Hal inilah yang menyebabkan sikap dan loyalitas berbahasa dialek NP mereka kurang optimal. Pada penutur pesisir barat, kekentalan dialek NP-nya tampak berkurang. Kenyataan tersebut mungkin berkaitan dengan dialek geografi. Wayan Jenda dkk (dalam Laksana, 1977) mengelompokkan bahasa Bali menjadi dua yaitu Dialek Bahasa Bali Daratan dan Dialek Bahasa Bali Pegunungan (Dialek Bali Aga).

Tampaknya, dialek NP juga mengalami hal yang sama. Ada kelompok penutur daratan dan pegunungan. Mungkin penutur pesisir barat NP dapat dikatakan sebagai penutur dialek daratan. Sisanya, termasuk ke dalam kelompok penutur dialek pegunungan.

Terkait kasus ini, saya teringat “peristiwa komunikasi” yang biasa terjadi di lingkungan desa saya (Desa Adat Sebunibus). Jika ada penutur yang menggunakan dialek kental NP, maka disebut basa gunung-gunung. Contohnya, ketika menggunakan pronomina persona “eda” dan “kola”. Kosakata ini dikatakan basa gunung-gunung.

Ada kesan seolah-olah bahasa pesisir dianggap lebih bermartabat. Bahasa yang dianggap lebih mendekati standar bahasa Bali. Sementara basa gunung-gunung (dialek NP) dianggap lebih rendah. Anggapan ini tentu sangat egois. Anggapan yang lebih mendekati pada “pendekatan babad kawitan”—yang mengagung-agungkan atau meninggikan diri (kelompok) tertentu.

Spirit anggapan yang bertingkat tersebut tentu bertolak belakang dengan filofosi “eda” dan “kola”. Belajarlah dari “eda” dan “kola”. Terus berusaha merendahkan diri dan jangan lupa untuk meninggikan (menghormati) orang lain.

 

Daun dan umbi gadung. Sumber foto:inovasikampusunesa.com


Masyarakat Nusa Penida  (NP) memiliki mental survive dan kreatif yang tinggi. Mental ini teruji saat mereka menghadapi “gumi arig” (krisis pangan). Stok makanan pokok (jagung dan singkong) hampir habis, tetapi musim hujan tak kunjung datang. Dalam konteks inilah, mereka memanfaatkan umbi gadung sebagai alternatif pangan untuk bertahan hidup. Padahal, umbi gadung mengandung racun yang mematikan jika tidak diolah dengan tepat.

Krisis pangan sudah menjadi cerita yang sangat populer di NP. Cerita ini familiar pada era 90-an ke bawah. Zaman ketika masyarakat sangat dominan bekerja di sektor agraris (ladang). Ke-survive-an mereka sangat tergantung pada hasil ladang yaitu jagung dan singkong. Karena jagung dan singkong menjadi benteng pangan (makanan pokok) masyarakat NP.

Cerita krisis biasanya diawali dengan kasus cuaca yaitu kehadiran air hujan. Sistem pertanian di NP sangat tergantung pada air hujan. Padahal, Pulau NP memiliki sumber mata air yang berlimpah. Sayangnya, tidak ada satu pun mata air yang mengisi lekuk tubuh sungai di NP. Semua mata air berada di tebing curam, berdekatan dengan air laut sehingga alirannya langsung menuju ke lautan.

Karena itu, air hujan menjadi hakim penentu keberadaan “benteng pangan” yaitu jagung dan singkong. Jika tanaman jagung dan singkong tidak cukup air hujan, maka terjadilah panen yang minim bahkan berujung pada keadaan gagal total.

Kejadian gagal panen cukup rawan menimpa pertanian di NP. Pasalnya, curah hujan di NP tergolong rendah. Lebih dominan mengalami musim kemarau panjang. Di tambah lagi, kondisi geografis NP yang tandus dan gersang. Struktur tanahnya didominasi oleh batu-batu kapur. Sementara lapisan tanahnya sangat tipis.

Dilihat dari pengolahannya, sistem pertanian di NP masih sangat tradisional atau konvensional. Sistem pertanian menggunakan “jongkrak” dan “tenggala” sebagai alat pengembur tanah. Pemupukannya pun sangat sederhana. Para petani menggunakan kotoran sapi dan babi sebagai pupuk utama. Kemudian, belakangan mulai menggunakan pupuk kimia.

Kondisi geografis yang tandus tersebut sangat riskan terhadap hasil panen. Jika tidak didukung dengan air hujan yang cukup, dipastikan panen jagung dan singkong sangat minim bahkan berujung gagal total.

Kondisi geografis sangat mematangkan mental survive masyarakat NP. Cerita gumi arig bukan menjadi sebuah ancaman, tetapi menjadi tantangan untuk survive. Karena itu, ketika hasil panen jagung dan singkong di ambang krisis, masyarakat NP selalu memiliki strategi kreatif untuk tetap bertahan hidup. Salah satunya memanfaatkan umbi gadung sebagai alternatif pangan untuk bertahan hidup.

Pemilihan umbi gadung sebagai pangan alternatif sesungguhnya sangat berisiko. Bukan hanya bisa menyebabkan mual dan pusing, tetapi juga dapat mengakibatkan kematian—jika tidak diolah dengan tepat.

Gadung merupakan tanaman perdu perambat (membelit). Tingginya bisa mencapai 5-10 meter. Batangnya berkayu, silindris, dan memiliki duri sepanjang permukaan batangnya. Berdaun majemuk, bertangkai dan beranak daun tiga. Bunganya berbentuk majemuk (harum), berbulir dan muncul dari ketiak daun. Bentuk umbinya bulat dan dipenuhi oleh rambut akar yang besar serta kaku. Ciri umbi gadung yang siap dipanen ialah muncul dekat ke permukaan tanah.

Gadung termasuk tanaman liar di NP. Tumbuh di area semak belukar, di sekitar bawah pohon juwet, mangga, kom, prasi dan lain sebagainya. Biasanya, batangnya merambat (membelit) pada pohon yang ada di atasnya. Meskipun tidak dibudidayakan, gadung tetap tumbuh subur di semak belukar.

Gadung dapat dikatakan sebagai pangan “pecadang kuang” di NP. Umbinya dipanen jika masyarakat NP mengalami “gumi arig”. Jika stok jagung dan singkong mencukupi, masyarakat NP biasanya tidak melakukan panen tambahan (baca: panen umbi gadung).

Sistem pertanian (ladang) di NP mengalami dua kali panen yaitu panen jagung dan singkong (ngerih). Pasca ngerih terjadilah vacuum of plants. Ladang-ladang menjadi kosong sepanjang musim kemarau.

Proses menanam dapat dilakukan lagi jika ada ada air hujan. Kehadiran air hujan cukup sulit diprediksi. Sambil menunggu air hujan, maka masyarakat harus bertahan dengan stok pangan jagung dan singkong. Apabila hasil panen minim (atau gagal) dan kemarau berlangsung lama,  maka masyarakat NP  terpaksa memanen umbi gadung.

Keterpaksaan ini mungkin berkaitan dengan proses pengolahan umbi gadung yang dianggap cukup rumit. Sebelum dikonsumsi, umbi gadung harus mengalami proses pengolahan yang tepat agar aman dikonsumsi.

Pengolahan Umbi Gadung

Selain jagung dan singkong, gadung juga kaya dengan karbohidrat. Hasil beberapa penelitian menyebutkan bahwa gadung mengandung karbohidrat sebesar 29,7 gram dalam setiap 100 gr gadung segar. Kandungan ini tergolong cukup tinggi dibandingkan dengan jagung yang hanya 21 gram.

Di samping untuk memenuhi kebutuhan gizi, beberapa hasil penelitian juga menyebutkan bahwa gadung berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit seperti keputihan, kencing manis, sakit perut, nyeri empedu, rematik dan lain sebagainya.

Sayangnya, proses pengolahan gadung tergolong rumit. Dibutuhkan kejelian dan tindakan esktra hati-hati. Sebab, gadung tergolong umbi yang beracun. Dari beberapa sumber yang saya baca, umbi gadung mengandung HCN atau zat Alkaloid yang disebut Dioscorin (C13 H19 O2N).

Zat inilah yang menyebabkan panas pada tenggorokan, mual, muntah, pusing, pandangan kabur, bahkan tidak sadarkan diri. Itu pun kalau mengkonsumsi dalam kadar yang rendah sekali. Jika umbi gadung dikonsumsi sebesar apel, bisa membunuh seorang pria dalam waktu 6 jam. Wah, bahaya banget, kan!

Karena itu, masyarakat NP mengolahnya dengan sangat hati-hati dan tepat. Di kampung saya, pengolahan umbi gadung ini harus mengalami proses inti yaitu “nabahang”. Umbi gadung direndam ke dalam air laut selama beberapa jam.

Kata “nabahang” mungkin berasal dari kata “tabah” yang bermakna tawar (menetralisasikan). Jadi, “nabahang” bermakna kurang lebih membuat menjadi tawar. Maksudnya, menghilangkan kandungan racun dalam umbi gadung.

Proses “nabahang” diawali dengan kegiatan menguliti umbi gadung. Umbi gadung yang dipanen dikupas kulitnya terlebih dahulu dengan menggunakan pisau. Kemudian, diiris-iris tipis. Hasil irisan ini dijemur hingga kering. Jika panas terik seharian, dibutuhkan waktu kurang lebih 2-3 hari.

Selanjutnya, irisan umbi gadung yang kering dimasukkan ke dalam kantong beras (karung) atau “sondung” (wadah kantong yang dianyam dari daun kelapa)—dan siap masuk ke proses “nabahang”. Karung atau “sondung” yang berisi irisan umbi gadung kering siap dibawa ke laut.

Sebelum direndam ke dalam air laut, karung/ “sondung” terlebih dahulu diikat dengan tali. Tujuannya agar kantong-kantong yang berisi irisan umbi gadung itu tidak diseret arus air laut. Tali-tali inilah yang dipegang oleh sang penabahang. Kalau tidak dipegang, biasanya diikat pada patok atau benda lainnya yang ada di darat. Yang penting kantong tidak diseret air laut hingga lepas.

Proses “nabahang” ini membutuhkan waktu kurang lebih 24 jam. Awalnya, gadung direndam selama kurang lebih 15 jam tanpa diutak-atik. Proses berikutnya, umbi gadung diaduk-aduk sambil diremas menggunakan jari tangan. Proses pengadukan-peremasan ini bertujuan untuk menghilangkan racun gadung dengan cepat. Biasanya ditandai dengan keluarnya warna putih keruh.

Tahap pengadukan dan peremasan dilakukan berulang-ulang. Kantong ditarik ke pinggir daratan, dibuka lalu umbi gadung diaduk sambil diremas-remas. Kemudian, kantong-kantong direndam kembali ke dalam air laut. Tahap peremasan ini harus dilaksanakan secara konsisten hingga mencapai total waktu kurang lebih 24 jam.

Proses terakhir ialah penirisan. Kantong-kantong yang berisi umbi gadung diangkat ke permukaan dalam waktu menitan. Tujuannya, agar air laut keluar dari kantong-kantong bersama sisa-sisa unsur selama proses “nabahang”. Selanjutnya, gadung siap diangkut ke rumah dan siap dikonsumsi.

Di kampung saya, umbi gadung yang sudah di-tabahang biasanya diolah menjadi penganan yang sederhana. Yang paling populer ialah dikukus. Irisan-irisan umbi gadung dikukus hingga matang. Kemudian, disajikan hampir sama dengan jajan Bali pada umumnya.

Umbi gadung di tempatkan ke dalam wadah tertentu (misalnya piring, mangkuk, tekor, dan lain sebagainya) bersama parutan daging kelapa. Di atasnya, ditaburi dengan gula ganting (gula merah yang sudah dicairkan).

Jangan tanya rasanya! Jeg pasti mbak nyuss. Apalagi disuguhkan bersama minuman pendamping seperti kopi atau teh hangat. Ciri khas daging umbi gadung NP ialah tekstur dagingnya kenyal. Kenyalnya seperti mental survive masyarakat NP dalam menghadapi gumi arig atau krisis pangan.