Sabtu, 08 Februari 2020

Orang Nusa Penida Menyebut “ke Bali”, Kekeliruan Geografis Atau Merasa Tak Bagian dari Bali?
Oleh
I Ketut Serawan
Apa respon Anda jika ditanya “Pidan lakar ke Bali (kapan akan pergi ke Bali)?” Padahal, Anda berada di wilayah Bali. Anda mungkin bingung dan berpikir itu lucu, bukan? Akan tetapi, bagi masyarakat Nusa Penida (NP) pertanyaan itu sudah biasa diucapkan dari dulu hingga sekarang. Mereka merujuk nama Bali pada wilayah Bali daratan. Tidak terhitung Pulau Nusa Penida (Lembongan, Ceningan, dan Nusa Penida). Terus, NP masuk wilayah mana?
Ketika belum sekolah, saya tidak mempersoalan kasus ini. Gara-gara saya belajar IPS waktu SD (kira-kira) kelas VI, ditambah belajar geografi waktu SMP-SMA, saya menjadi bingung. Apa gerangan yang menyebabkan orang NP (terutama generasi tua) bertanya demikian.
Kesombongan akademik saya langsung muncul. Ya, mungkin karena banyak generasi tua di tempat saya (dulu) tidak mengenyam pendidikan. Pastilah mereka kurang mengerti tentang ilmu geografi khususnya masalah peta wilayah Bali. Begitu, kira-kira kesimpulan awal saya.
Akan tetapi, meskipun saya memiliki kesadaran geografi, tetap saja saya ikut-ikutan latah mengucapkan “ke Bali” jika balik ke rantauan (Gianyar). Seolah-olah saya sudah terkena latah yang amat akut. Sampai sekarang pun, otak bawah sadar saya merujuk Bali pada wilayah daratan di luar Pulau NP. Entah apa yang merasuki saya?
Pokoknya otomatis. Setiap saya pulang kampung dan akan balik ke rantuan, saya menyebutnya “ke Bali”. Saya tidak peduli, apakah konsep geografinya benar atau salah. Namun, begitulah jawaban paling simpel. Jawaban yang diulang secara turun-temurun. Ya, ke Bali. Entah ke Klungkung daratan, Gianyar, Denpasar dan lain-lainnya.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan masyarakat NP terus mengalami peningkatan. Banyak generasi mudanya sudah mulai melek geografi. Pada konteks inilah, saya kadang-kadang merasa malu menyebut kata “ke Bali”. Di samping takut dosa, saya juga takut dicap kolot oleh generasi milenial. Maklumlah, anak-anak milenial kan terkenal dengan keberanian dan kekritisannya. Takutnya, saya dianggap sengaja menciptakan kesalahan (geografi) melegenda pada regenerasi NP. Menjadi dosa, kan?
Selain itu, saya semestinya malu ikut-ikutan dengan generasi tua. Masak sudah tamat kuliah (sarjana lagi),  tetapi kok tidak bisa menjadi teladan “bergeografi” yang baik. Nanti, pasti ilmu geografi saya akan digugat. Wah, celakalah saya!
Karena itu, saya berusaha (kadang-kadang) meluruskan kekeliruan geografi itu dengan kata “ngajanan”. Kata “ngajanan” berasal dari kata “kaja” (utara). Karena posisi geografi NP berada di sebelah selatan (agak tenggara) dari Bali daratan. Kata ini kurang begitu laku (tidak populer). Masih metaksu (sreg, berwibawa) menggunakan kata “ke Bali”.
Biasalah. Mungkin karena belum terbiasa. Butuh waktu dan perjuangan lebih untuk mempopulerkan kata “ngajanan”. Suatu saat, pasti generasi milenial akan memperbaiki kekeliruan geografi tersebut dengan kata “ngajanan”. Eh, rupanya saya keliru! Anak-anak milenial di lingkungan saya justru masih nyaman menggunakan kata “ke Bali” daripada “ngajanan”.
Lalu, otak saya bekerja seperti seorang profesor. Pura-pura berpikir keras untuk mencari jawaban, kenapa generasi milenial NP ketularan nyaman menggunakan kata “ke Bali”. Pertama, mungkin generasi milenial ikut arus. Pasalnya, dukungan lingkungan “ngajanan” masih terlalu sedikit. Sebaliknya, dukungan “ke Bali” masih kuat.
Kedua, mungkin kata “ke Bali” sangat simpel. Kata ini dapat merujuk kota atau desa yang berada di Bali daratan. Tak perlu harus detail tahu tentang nama kota atau desanya. “Kapan kamu balik ke Denpasar?” Eh, ternyata orang yang ditanya tinggalnya di Ubud. Malu, kan? Namun, jika kita bertanya kapan ke Bali. Maka, di daerah manapun di Bali daratan ia tinggal, pertanyaan itu bisa mewakili. Hemat dan tidak boros. Cukup mengatakan “ke Bali”, maka seluruh wilayah Bali daratan dapat terjangkau. Kayak iklan telkom, saja!
Bisa jadi faktor inilah yang menjadi pertimbangan leluhur NP dulu nyaman menggunakan kata “ke Bali”. Sekali lagi, mungkin saja. Akan tetapi, namanya seorang profesor, saya tetap saja tidak puas dengan asumsi tersebut.
Kalau memang karena faktor efisiensi, kenapa harus menggunakan kata “ke Bali”. Bukankah ada kata-kata alternatif yang sebenarnya dapat digunakan untuk menghindari kekeliruan geografi tersebut. “Ngajanan” salah satunya. Dilihat dari suku katanya sama, kan? Terdiri atas 3 suku kata. Pengucapannya juga sama-sama mudah. Lalu, kenapa harus menggunakan kata “ke Bali”? Bukankah itu terlalu arogan? Berani-beraninya tidak menyebut diri (NP) sebagai bagian dari Bali?
Kira-kira begitulah hantu-hantu pertanyaan yang berseliweran di kepala saya. Hantu yang membuat saya sering menjadi galau. Akhirnya, iseng-isenglah saya membuka google. Saya mencoba mencari histori tentang NP. Siapa tahu histori-histori yang saya baca menyimpan jawaban atas hantu-hantu pertanyaan tadi.
Saya mulai membaca pelan-pelan dan pura-pura intensif. Sampailah saya pada informasi bahwa dalam sebuah prasasti batu bertahun saka 835 (913 M) yang ditemukan di desa Blanjong, NP konon menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Warmadewa pimpinan Raja Sri Wira Kesari Warmadewa. Kemudian, sejarawan Ida Bagus Sidemen mempertegas bahwa Kesari Warmadewa menggunakan NP sebagai simbol kemenangan atas musuhnya di Gurun–diyakini para ahli sebagai Lombok–yang tengah berkonflik dengan Bali (https://historia.id).
Lebih lanjut, sumber ini menjelaskan bahwa orang-orang dari Lombok (dulu) pernah membangun sebuah pemerintahan di NP. Namun, dapat ditundukan oleh Bali. Lalu, Bali segera menunjuk orang-orangnya menempati pemerintahan di NP. Digunakanlah pulau ini sebagai salah satu basis perdagangan daerah Bali hingga berlanjut pada abad ke-11. Salah satu bandar di Bali yang melayani pelayaran antara Bali dengan NP adalah Bandar Ujung di Desa Ujung Hayang, Karangasem.
Wah, saya semakin penasaran! Saya melanjutkan membaca pada paragraf berikutnya. Ketemulah saya dengan Prasasti Bali. Konon, dalam transkripsi Prasasti Bali yang diterbitkan Lembaga Bahasa dan Budaya Universitas Indonesia ini terdapat informasi yang menyebutkan bahwa hingga dekade pertama abad ke-17, NP tetap menjadi penyangga perdagangan kerajaan-kerajaan di Bali.
Namun, ketika Bali dikuasai dinasti Kresna Kepakisan (abad ke-14), para penguasa NP mulai menunjukkan itikad memerdekakan diri. Beberapa sumber lokal (misalnya Lontar Sawangan) menyebutkan bahwa NP sempat mendirikan negeri merdeka pada permulaan abad ke-16. Di bawah pimpinan Ratu Sawang, NP membangun pusat pemerintahan di Bukit Mundi.
Mendengar kabar tersebut, Dalem Waturenggong mengirim pasukannya untuk menyerang Ratu Sawang. Dikomandoi Dukut Petak, laskar Bali berhasil menaklukan NP. Namun, pada pertengahan abad ke-17, NP kembali bergolak. Di bawah pimpinan I Dewa Bungkut, NP melakukan pemberontakan. Mereka menyerang pemerintahan Dalem Di Made asal kerajaan Gelgel Bali yang kekuasaannya mulai goyah di NP. Pemberontakan ini gagal karena kekuatannya masih lemah. Pasukan Ki Gusti Jelantik yang dikirim raja Bali pun dapat menguasai kembali NP.
Membaca histori tersebut, mulai ada titik terang di kepala saya. Jangan-jangan “ke Bali” merupakan spirit lampau orang NP. Spirit leluhur (para tetua) yang merasa merdeka atau keinginan kuat untuk tetap ingin merdeka, lepas dari wilayah Bali daratan.
Saya mencurigai bahwa spirit merdeka (masa lampau) itu terlalu kuat. “Ke Bali” merupakan acuan yang jelas kepada daerah (Bali daratan), di luar wilayah NP. Karena itulah, orang NP biasa menyebut “ke Bali” atau “ke Nusa”. Penyebutan ini mengindikasikan secara tegas bahwa di benak orang NP, wilayahnya sebagai satu kesatuan, terpisah dari teritorial Bali.
Apa dasarnya mengatakan orang NP memiliki spirit kemerdekaan yang kuat? Jawaban sederhana. Dari analisis kilasan sejarah di atas, masyarakat NP tidak pernah menerima tulus penaklukan dari raja-raja Bali. NP memang menjadi bagian Bali, khususnya Klungkung. Namun, ketertundukan itu disebabkan oleh cara-cara kekerasan, melalui adu senjata dan kekuatan pasukan. Artinya, mayarakat NP terpaksa takluk secara fisik. Akan tetapi, secara psikis mungkin mereka tak pernah tunduk atau tak mau mengakui bahwa NP berada dalam wilayah Bali.
Oleh karena itu, bisa jadi “ke Bali” merupakan simbol penolakan atas ketaklukan terhadap Bali. Masyarakat NP seolah-olah belum bisa menerima NP menjadi bagian dari (kerajaan) Bali. Masyarakat NP ingin mengatakan kepada dunia bahwa mereka (selamanya) tidak rela menjadi bagian dari Bali.
Begitulah, kira-kira analisis saya. Analisis yang cukup ngawur. Namun, setidaknya bisa meredam hantu-hantu pertanyaan di kepala saya. Sekali lagi, sebutan (konsep) “ke Bali” merupakan spirit masa lampau, spirit kerajaan, dan spirit kemerdekaan dari masyarakat NP.

Kamis, 16 Januari 2020


Teli Sempi Nyengket, Canda Rasis, dan Taruhan Inferior Orang Nusa Penida
Oleh
Ketut Serawan

Jika Anda, orang Nusa Penida (NP), pernah tinggal di Klungkung daratan pada tahun 90-an ke bawah, mungkin pernah diwalek dengan candaan “teli sempi nyengket”. Kalimat bermakna  “alat kelamin sapi (betina) tersangkut” ini merupakan plesetan dari kalimat aslinya yaitu “talin sampi nyangket” (tali sampi tersangkut). Kemudian, plesetan ini berkembang menjadi canda rasis untuk (maaf) merendahkan atau mengolok-olok orang NP di mata teman-teman Klungkung daratan.
Candaan tersebut mengalir begitu saja. Entah siapa yang menghembuskan pertama kali. Tahu-tahu berkembang estafet, dari generasi ke generasi. Mengusutnya secara tuntas, apalagi melakukan penelitian tentang silsilah canda tersebut akan menjadi tampak serius dan serem. Untungnya apa coba?
Ya, nggak ada. Di mana-mana canda rasis hanya berujung pada “unjuk rasa” antara superior (pihak yang membully) dan inferior (pihak yang dibully). Dalam konteks canda “teli sempi nyengket” juga demikian. Masyarakat Klungkung daratan merasa lebih superior dari segala lini. Misalnya, soal kedudukan politik, kemajuan ekonomi, infrastruktur, pendidikan, dan lain sebagainya.
Sebaliknya, orang-orang NP ditempatkan sebagai stereotip yang terisolir, tertinggal, miskin, pendidikan kurang, kolot, dan stigma negatif lainnya. Stigma ini berlangsung cukup lama dan sulit dihilangkan. Pasalnya, orang-orang NP kurang mampu mengambil peran-peran penting untuk meminimalisir image inferior itu. Salah satunya ialah sektor politik. Padahal, sektor ini sangat strategis dimanfaatkan untuk mengatur kebijakan publik, agar masyarakat NP dapat keluar dari citra rendahan itu.
Bagi masyarakat NP, sektor politik merupakan aspek yang efektif digunakan untuk mengatur kesenjangan rasis itu. Karena lewat politik, masyarakat NP dapat dibebaskan (diminimalisir) dari kebijakan rasis dan diskriminatif. Sayangnya, selama ini sistem politik (demokrasi) Klungkung tidak mendukung. Sistem perwakilan menyebabkan masyarakat NP tidak mampu berbuat banyak.
Klungkung hanya melahirkan bupati dan pejabat-pejabat strategis asal Klungkung daratan. Lalu dapat ditebak, kebijakannya tidak menguntungkan masyarakat NP. Diskriminasi tetap saja menghantui masyarakat NP. Mereka tetap bercongkol di zona inferior, dengan daya tawar politik yang sangat rendah.
Ketika demokrasi Klungkung mengalami kemajuan, salah satunya pemilihan bupati (pilkada) secara langsung (tahun 2007), masyarakat NP memiliki impian keluar dari belenggu rasisme yang melilitnya. Prof. Dr. Kinog (alm.) muncul menjadi calon bupati asal NP, bersaing melawan calon petahana, I Wayan Chandra.
Kondisi politik masyarakat NP mulai bergairah. Masyarakat NP dari berbagai kalangan muda dan tua mendadak melek politik. Sayangnya, di injury time muncul balon lain (asal NP) yakni Prof. Jinar sebagai pemecah belah suara di NP. Strategi ini diduga kuat hasil rekayasa calon petahana.
Akhirnya, Chandra sukses naik untuk kedua kalinya (dan sekaligus menjadi bupati pertama produk demokrasi langsung) di Klungkung. Chandra memimpin Klungkung (2007-2013), dengan berbagai kasus korupsi yang melilitnya dan berujung pada penjara di akhir masa jabatannya.

Suwirta Taruhan Inferior
Kesempatan kedua muncul, ketika I Nyoman Suwirta (asal NP) menjadi balon bupati tahun 2013. Ia bersaing ketat dengan tokoh berpengaruh asal puri (Klungkung). Untungnya, kalangan puri pecah menjadi dua. Puri mengusung dua balon bupati yang tak mau mengalah yakni Tjok Bagus dan Tjok Raka. Buntutnya, Suwirta menang. Ia mencatatkan dirinya sebagai bupati pertama asal NP di Klungkung.
Semenjak Suwirta menjadi orang nomor satu di Klungkung, ketajaman isu canda rasis “teli sempi nyengket” mulai meredup. Setidaknya, Suwirta dipandang sebagai ikon (bukti) bahwa orang NP memiliki kemampuan setara dengan masyarakat Klungkung daratan. Bahkan, dapat dikatakan melebihi kemampuan bupati-bupati (asal Klungkung daratan) sebelumnya.
Di bawah kepimpinan Suwirta, Kabupaten Klungkung yang kecil dan miskin berubah signifikan. Pembangunan dan termasuk tata pemerintahan mengalami kemajuan. Tidak hanya di Klungkung daratan, pembangunan berkembang pesat di Kecamatan NP terutama sektor pariwisatanya.
Era Suwirta, Klungkung tidak hanya dilirik oleh provinsi termasuk nasional. Terobosan-terobosan kebijakan politik yang dilakukan Suwirta (entah pencintraan/ tidak) setidaknya membuat Klungkung yang dulu tenggelam mencuat ke permukaan. Klungkung masuk peta politik yang diperhitungkan di Bali dan nasional.
Suwirta merupakan jawaban ganda atas keraguan masyarakat Klungkung daratan terhadap stereotip negatif yang melekat pada masyarakat NP. Pertama, dia mampu merobohkan  tembok rasisme yang begitu lama dan kuat. Kini, masyarakat NP memiliki derajat dan daya tawar politik yang sejajar serta tidak bisa diremehkan dalam kehidupan bermasyarakat di Klungkung.
Kedua, kesempatan menjadi bupati adalah ujian bagi Suwirta untuk membawa  dan menunjukkan representasi kualitas orang-orang NP. Dia merupakan juri kunci (sebagai) taruhan atas image inferior yang melekat pada masyarakat NP. Jika dia hanya mampu menjadi bupati minimal biasa saja (sama kualitasnya dengan bupati-bupati sebelumnya), maka masyarakat Klungkung daratan tidak akan respek terhadap orang NP.
Syukurnya, Suwirta sangat memahami perannya. Sebagai pionir, ia memang harus menunjukkan kualitasnya di atas rata-rata bupati asal Klungkung daratan. Ekspektasi itu dapat tercapai dengan mulus. Buktinya, selama memimpin satu periode, respon masyarakat Klungkung daratan terhadap kepimpinan Suwirta sangat baik.
Suwirta mampu menjadi bupati bukan hanya untuk orang NP, melainkan juga untuk kesejahteraan masyarakat Klungkung daratan. Inilah yang memuluskan Suwirta melenggang untuk kedua kalinya (2018-2023) menjadi bupati di Klungkung, dengan perolehan suara yang sangat telak dengan lawannya Tjokorda Bagus Oka-Ketut Mandia (Bagia).
Faktor kualitas inilah yang menguatkan bahwa orang-orang NP (sekarang) memang pantas disejajarkan (bahkan lebih) dengan masyarakat Klungkung daratan. Suwirta telah membuktikan bahwa orang NP (berikutnya) layak duduk untuk menyandang gelar bupati di Klungkung.
Suwirta menguatkan bahwa canda rasisme (teli sempi nyengket) sudah tidak relevan sekarang. Di samping taruhan kualitas bupati, NP juga mengalami kemajuan pesat dalam bidang ekonomi sekarang. Kemajuan ekonomi ini tidak lepas dari kebijakan pemda (Suwirta) yang pro masyarakat NP. Dialah yang memulai, menggali dan mengembangkan sektor pariwisata hingga melejit seperti sekarang.
Imbasnya dirasakan nyata oleh masyarakat NP. Sektor ekonomi dan pembangunan infrastruktur di NP mengalami perkembangan pesat belakangan ini. Kalau kita jujur, pencapaian ini tidak pernah ada pada era bupati-bupati sebelumnya. Suwirta mampu mendongkrak pariwisata bahkan melebihi pariwisata Klungkung daratan yang hanya mengandalkan objek Kerta Gosa dan Goa Lawah.
Sementara NP memiliki banyak titik-titik objek wisata menarik hingga berkelas internasional. Inilah yang menyebabkan jumlah kunjungan mencapai ratusan ribu per harinya. Jumlah kunjungan ini tentu berdampak signifikan terhadap pendapatan pemda Klungkung. Artinya, peran NP sangat dibutuhkan oleh pemda Klungkung sekarang.
Terlepas dari pro dan kontra, Klungkung dan khususnya masyarakat NP tentu tidak bisa melupakan peran penting Suwirta. Dialah yang meletakkan fondasi pariwisata, ekonomi masyarakat NP, dan PAD Klungkung.
Selain peran ketokohan, kasus rasisme atau inferior orang NP sudah kian tak relevan karena sistem demokrasi langsung. Semenjak berlaku sistem demokrasi langsung di Klungkung, orang-orang NP memiliki daya tawar politik cukup tinggi. Pasalnya, Kecamatan NP merupakan distrik yang memiliki jumlah pemilih terbanyak di Klungkung. Jadi, jika ingin memenangi kompetisi politik di Klungkung, maka jangan lagi meremehkan peran aktif politik masyarakat NP. Mereka harus menjadi prioritas. Artinya, masyarakat NP memiliki nilai penting dan menentukan dalam ajang perpolitikan di Klungkung.
Jika demikian adanya, buat apa lagi mengungkit-ngungkit eksistensi “teli sempi nyengket”. Karena sekarang, plesetan ini akan bermakna ganda. Mungkin menjadi celaan yang tetap ingin merendahkan atau semacam kesirikan atas kemajuan berbagai sektor kehidupan yang dicapai oleh masyarakat NP sekarang.


Ulangan Sejarah Krisis Air di Nusa Penida
Oleh
I Ketut Serawan

Ketika pariwisata berkembang pesat di Nusa Penida (NP), keberadaan air bersih justru diambang krisis yang mengkhawatirkan. Wilayah paling lancar (barat), seminggu hampir 2-3 kali air PDAM milik pemda Klungkung ini harus mengalami kematian. Sedangkan wilayah ngadat (timur), air PDAM mengalami kematian hingga berbulan-bulan.Ya, ampun! Kondisi ini menyebabkan masyarakat Nusa Penida (terutama pemilik usaha akomodasi pariwisata) sering menjadi gusar. Akibatnya, hampir setiap hari pemda Klungkung (Bupati dan Dirut PDAM) diserang kritikan, cacian, dan bully dari para nitizen.
Namun, serangan para nitizen ini tidak serta merta membuat air mengalir lancar pada kran-kran masyarakat. Air tetap menunggu “dewasa ayu” untuk keluar dari mulut kran masyarakat. Sementara, kesehariannya lebih sering mengeluarkan angin, alias kosong. Masyarakat mengatakannya dengan sebutan keluar kentut. Gas yang tentu saja tidak berbau (ada-ada saja).
Entah kenapa, momen krisis air justru muncul beriringan dengan melejitnya pariwisata di Nusa Penida. Mungkin karena jumlah pelanggan airnya kian meningkat tajam. Pasalnya, pemanfaatan air tidak semata-mata untuk konsumsi rumahan. Belakangan, semakin banyak dimanfaatkan oleh kaum bisnisan, seperti penginapan, rumah makan, cuci motor, dan lain sebagainya. Ah, ini pasti logika murahan dan awam, kan? Kalau ingin tahu kepastiannya, ya, tentu pemda Klungkung (terutama pihak PDAM setempat) yang lebih persis mengerti kasus tersebut.
Tidak hanya di medsos, isu air selalu menjadi perbincangan publik baik di pasar, banjar, perkantoran dan lain sebagainya. Saking boomingnya, isu air bersih sering dijadikan dagelan-dagelan dan anekdot dalam berbagai kesempatan oleh masyarakat. Dagelan-dagelan yang tidak hanya menggelikan, tetapi sekaligus mengibur. Pasalnya, ketika masyarakat Nusa Penida dilanda krisis air bersih, PDAM Klungkung justru menerima penghargaan dari pusat. Hal yang paradoks, bukan?
Namun, ini kenyataan, lho! PDAM Tirta Mahottama Klungkung mendapat penghargaan TOP BUMD kategori operasional usaha terbaik nasional dari Bussiness News dan Asia Bussiness Research Center. Penghargaan ini diserahkan langsung oleh ketua tim penyelenggara M. Lutfi Handayani kepada Dirut PDAM Klungkung, Nyoman Renin Suyasa, (Kamis, 3/ 5/ 2018) di gedung Kartini Kuningan, Jakarta Selatan (balipuspanews.com).
Penghargaan ini tentu mengganjal hati masyarakat Nusa Penida. Karena kinerja sesungguhnya belum dirasakan oleh masyarakat NP. Krisis air bersih tetap saja melanda NP secara berkelanjutan. Konon, beberapa masyarakat NP (wilayah timur) harus rela mengeluarkan isi kantong pribadi hingga mencapai jutaan rupiah per bulan hanya untuk membeli air bersih.
Sementara itu, PDAM seolah-olah kurang responsif. Hingga sekarang belum ada sosialisasi terobosan-terobosan, inovasi, dan solusi prediktif untuk memuluskan air bersih mengalir melalui kran-kran masyarakat. Akibatnya, rasa galau masyarakat terus mengambang. Mereka tidak tahu persis, entah sampai kapan krisis air akan berakhir di wilayah NP.

Air Bersih Sebelum Pariwisata
Dulu, sebelum pariwisata berkembang (tahun 200-an), air kran di Nusa Penida mengalir lancar setiap hari. Daerah-daerah yang dialiri air PDAM tidak pernah mengeluh. Mereka merasa aman-aman saja, karena sangat jarang mati.
Namun kini, keberadaan air bersih begitu berharga. Kondisi ini seperti mengulang masa kecil saya pada tahun 80-an. Masa ketika air PDAM belum menyentuh wilayah NP. Kala itu, masyarakat NP mengandalkan sumber air bersih dari cubang-cubang (sumur tadah hujan) milik pribadi.
Air bersih dari cubang ini biasanya difokuskan untuk keperluan minum dan memasak. Sementara untuk keperluan mandi, mencuci, memandikan ternak dan lain-lain biasanya menggunakan sumber air dari semer (sumur dari air bawah tanah).
 Keberadaan semer harus dekat dengan pantai/ lautan, dengan kondisi permukaan tanah yang datar (landai). Artinya, keadaan permukaan tanah itu harus serendah mungkin dari permukaan laut. Kondisi inilah yang menyebabkan air akan mudah muncul dari dalam tanah. Hanya saja, air akan terasa agak asin. Karena, air yang muncul dalam tanah itu mungkin bersumber dari air laut. Meski agak asin, tetapi kandungan garamnya tidak seutuh air laut.
Dari segi kepemilikan, semer dapat dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, semer milik pribadi untuk konsumsi sendiri. Kedua, semer milik umum untuk kelompok (pengempon) tertentu. Semer pribadi biasanya dimiliki oleh orang-orang pesisir pantai. Sedangkan, semer umum dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di ketinggian (perbukitan). Dulu, para tetua mereka  bergotong-royong membangun semer, kemudian airnya dinikmati oleh generasi berikutnya.
Jika dilihat dari kadar airnya, semer juga dibedakan menjadi dua yaitu semer yang airnya asin dan tawar. Semer tawar inilah yang dikonsumsi (untuk minum dan masak) oleh masyarakat. Namun, keberadaan semer ini agak jauh dari laut dan lebih dalam. Ukurannya, saya tidak tahu persis. Dari contoh yang ada, misalnya Semer Gamat Teben, jaraknya dari laut tidak lebih dari satu km. Dalamnya, berkisaran 15 m ke atas, sedangkan semer air asin tidak lebih dari 5 m.
Awalnya, keberadaan semer (asin maupun tawar) menjadi tumpuan utama ketika masyarakat belum memiliki sumur tadah hujan. Masyarakat sangat bergantung pada air yang ada di semer. Mereka harus menyediakan waktu setiap hari untuk mengambil air (warga di tempat saya menyebutnya dengan istilah kayeh) di semer. Biasanya,  setiap dini hari yaitu pukul 03.00-04.00, dalam kondisi yang gelap gulita dan medan jalan yang terjal.
Begitu warga bisa membuat cubang sendiri, frekuensi aktivitas kayeh mulai berkurang. Dalam stok air yang aman, mereka bahkan tidak melakukan aktivitas kayeh ke semer air tawar. Sedangkan, untuk memberi minum dan memandikan sapi-sapi tetap seperti biasa (sekali dalam dua hari).
Kemudian, tahun 80-an, beberapa daerah di wilayah NP mendapat bantuan bak penampungan air dari pemerintah. Kondisi ini membuat aktivitas kayeh semakin sepi, kecuali yang dekat dengan lokasi semer. Semer-semer makin kehilangan pengempon atau massa.
Namun demikian, ketika musim kemarau berkepanjangan, yang tak bisa ditebak ujungnya, masyarakat tetap merasa was-was. Seringkali, stok air cubang dan bak penampungan pemerintah kering kerontang. Dalam situasi beginilah, saya ingat masyarakat di daerah saya mengadakan ritual memohon hujan. Ritual ini dilakukan setiap tahun, tidak hanya karena krisis stok air cubang, tetapi berkaitan pula dengan kegiatan bercocok tanam palawija di kampung saya.
Seingat saya, pasca ritual memohon hujan, selang beberapa hari atau minggu, hujan pasti turun di kampung saya. Gaung tradisi ritual memohon hujan ini berlangsung hingga saya tamat SMA (tahun 1998). Ketika air PDAM masuk-masuk ke kampung saya (tahun 200-an), gaungnya kian memudar.
Orang-orang mulai tak peduli dengan ritual ini. Masyarakat perlahan-lahan putus hubungan dengan semer-semer. Bak-bak penampungan air milik pemerintah roboh, tak terurus. Bahkan, cubang di rumah pun dibiarkan terbengkelai. Segala keperluan berkaitan dengan air sepenuhnya diakomodir oleh air kran, mulai dari masak, mencuci, mandi, dan termasuk keperluan ternak. Untuk keperluan minum, masyarakat beralih ke air mineral kemasan. Namun, ada pula beberapa masyarakat masih mengkonsumsi air tadah hujan dengan cara dimasak terlebih dahulu.
Sekarang, ketika ketergantungan masyarakat telanjur total kepada PDAM, air bersih justru mengalami krisis di NP. Untuk mengantisipasi persoalan ini, pemda Klungkung mewacanakan akan mengecek desa-desa yang belum terjangkau air bersih di NP, dengan menggunakan teknik geolistrik. Rencananya, pemda akan membuat beberapa titik sumur bor (nusabali.com).
Pemda juga meminta PDAM Klungkung melakukan inventarisir, menyelesaikan perencanaan dan biaya yang diperlukan untuk merealisasikan 100 persen air bersih bagi masyarakat Nusa Penida. Setelah berkantor selama kurang lebih dua minggu, Dirut PDAM Klungkung (Renin Suyasa) berencana melakukan pemasangan pipa induk dengan diameter 6 inchi dari Batumulapan sampai Desa Suana. Kemudian, dilanjutkan dengan pemasangan pipa GWI 2 inchi sepanjang 700 meter di Dusun Pengaud untuk suplay air dari mata air Guyangan. Sambungan ini untuk pelayanan di zona Karangsari dan Suana yang bersumber dari mata air Penida dengan kapasitas debit yang belum maksimal. 
Setelah pemasangan pipa tersebut, Renin Suyasa berencana melakukan identifikasi sambungan rumah (SR) yang terpasang. Selanjutnya, uji coba pengaliran air (news.beritabali.com).
Wacana dan rencana ini tentu tidak main-main, karena pemda Klungkung berharap dapat mewujudkan 100 persen air bagi masyarakat NP pada tahun 2020. Sebuah optimisme yang pantas kita dukung dan patut diberi acungi jempol.
Namun, sebagai sebuah wacana dan rencana, masyarakat NP diharapkan untuk bersabar. Sambil menunggu realisasinya, masyarakat NP tentu harus kreatif dalam mengatasi krisis air bersih. Sebab, air bersih merupakan kebutuhan dasar yang tidak bisa ditunda-tunda.
Karena itu, gagasan masyarakat untuk memanfaatkan cubang patut kita dukung. Belakangan, beberapa masyarakat sudah merevitalisasi cubang untuk dimanfaatkan tidak hanya sebagai keperluan minum, tetapi untuk mandi, mencuci, memasak, dan lain sebagainya. Langkah konkret ini merupakan bentuk responsif masyarakat atas ketakberdayaan PDAM untuk memenuhi keperluan sehari-hari  masyarakat terhadap air.
Meski demikian, kita tetap berdoa dan berharap pemda Klungkung dapat segera merealisasikan rencana-rencananya untuk mencapai target yang diharapkan. Semoga penghargaan TOP BUMND menjadi pemantik bagi PDAM Klungkung untuk bekerja lebih optimal, sehingga kasus air bersih di NP dapat diselesaikan dengan tepat dan cepat.
 Sekarang, masyarakat NP sedang menunggu, sambil diganggu halusinasi tentang cubang-cubang, semer-semer, dan ritual memohon hujan—bukan ritual menurunkan Dirut PDAM, ya. Ngawur (bercanda dikit, ya). Yeeh…semoga semua pihak insaf, ya!




Rabu, 04 Desember 2019


Andai Pariwisata Tak Merasuki,
Siapa Yang Peduli Sampah Plastik di Nusa Penida?

I Ketut Serawan



Andai pariwisata tidak berkembang di Nusa Penida, saya yakin tidak akan ada yang peduli dengan sampah plastik. Sampah-sampah itu pasti berserakan baik di tegalan, sungai kering, tambak-tambak, di pinggir jalan raya, pantai maupun di lautan. Syukurnya, pariwisata cepat merasuki pulau ini. Edukasi dan kesadaran tentang sampah plastik dari warga Nusa Penida mulai sedikit menggeliat. Pasalnya, isu lingkungan (sampah plastik)berdampak langsung dengan citra daerah destinasi.
Karena itu, belakangan mulai muncul (komunitas) gerakan-gerakan peduli sampah plastik. Gerakan ini masih bersifat sporadis, dilakukan oleh segelintir praktisi pariwisata, kalangan milenial. Jumlahnya pun tidak begitu banyak.
Dari akun-akun pribadi maupun grup tentang Nusa Penida yang saya ikuti, isu sampah plastik kurang menyedot perhatian orang banyak. Boleh dikatakan, hampir tidak mendapat respon serius dari masyarakat Nusa Penida. Coba kalau menyangkut isu tentang minimnya infrastruktur, maka respon netizen mendadak sengit. Seluruh pelosok-pelosok sosmed (ketog semprong) mengeluarkan diri untuk unjuk komentar. Komentar-komentarnya pun sangat bervariatif. Ada yang serius memberi solusi, ada yang sekadar nyeleneh, ngumpat-ngumpat (memaki-maki), provokatif, hingga membully pemda.
Jika kita buka kembali halaman-halaman akun pribadi (atau grup Nusa Penida), maka lebih banyak kita jumpai tentang keluhan air, listrik, dan kondisi jalan. Kedua, tentang sopir yang ugal-ugalan, kemacetan, situasi keramaian wisatawan. Sisanya, tentang status “ngetrip”, promo akomodasi, ribut soal retribusi, dan belakangan kontroversi soal rencana pemda Klungkung dalam penataan sertifikat tanah pinggir pantai di Nusa Penida.
Sementara itu, halaman-halaman tentang peduli sampah plastik kurang mendapat respon dari masyarakat. Kalau toh ada yang mengunggah status bersih-bersih sampah plastik, biasanya sepi komentar. Jarang para netizen mau keluar dari sarang persembunyiannya. Mereka lebih nyaman memilih diam. Yaa, mungkin karena diam adalah emas (Aah, bercanda kali).
Di samping sering “dikacangin”, unggahan bersih-bersih sampah plastik tak jarang dianggap sebagai pencintraan. Mungkin dari beberapa komunitas itu, memang ada yang sekadar pencintraan (kali, ya). Akan tetapi, menurut saya pencintraan atau murni, mereka telah nyata berbuat. Merekalah yang pantas kita jadikan teladan atau inspirasi untuk berbuat nyata. Atau setidaknya, para peduli lingkungan ini akan dapat menginspirasi lahirnya komunitas-komunitas sosial lingkungan yang baru.
Untuk saat ini, komunitas-komunitas pencinta lingkungan masih stagnan. Masih dihuni oleh segelintir anak milenial. Sisanya, lebih memilih apatis sama seperti masyarakat umum (old). Mereka pura-pura tidak peduli dan benar-benar tidak peduli.
Bagi masyarakat Nusa Penida, peduli (bermusuhan) dengan sampah plastik merupakan budaya baru. Budaya yang sulit dilakukan, karena mereka telanjur bersahabat dengan plastik puluhan tahun. Mereka memanfaatkan plastik dalam berbagai keperluan sehari-hari, termasuk dalam ritual adat dan keagamaan. Pemanfaatannya cukup masif. Akan tetapi, limbahnya (sampah) dibuang begitu saja.
Sampah plastik menciptakan masalah baru. Namun, belum menimbulkan gagasan, kesadaran, dan solusi kreatif dari kalangan masyarakat. Di Nusa Penida misalnya, belum ada budaya memilah-milah sampah, proses daur ulang apalagi solusi baru lainnya. Penanganan sampah plastik masih konvensional yakni dibakar di lahan yang kosong. Bagi petani, biasanya sampah plastik dibakar bersama sampah organik lainnya di ladang kosong, ketika musim kemarau. Di samping mengurangi, pembakaran sampah plastik sekaligus dimanfaatkan sebagai pupuk.

TOSS, No List, dan Nyawa Pariwisata
Hingga sekarang, cara-cara konvensional ini masih diterapkan oleh masyarakat di Nusa Penida. Padahal, pemda Klungkung sudah merintis pengolahan sampah dengan sistem TOSS (Tempat Olah Sampah Sementara) pada penghujung tahun 2017. Program kerjasama dengan  Sekolah Tinggi Teknik Yayasan Pendidikan dan Kesejahteraan PLN (STT-PLN) Jakarta dan Indonesia Power ini dipercaya menjadi solusi modern dalam menangani sampah, terutama sampah plastik. Karena sistem TOSS dapat mengolah sampah (kecuali besi dan kaca) secara langsung menjadi briket dan pelet yang dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk proses memasak dan energi listrik.
Sistem TOSS mengolah sampah secara langsung melalui proses peuyeumisasi, briketisasi/peletisasi, dan gasifikasi dengan menggunakan bio activator. Mekanisme pengolahan TOSS ini dapat menghilangkan bau sampah dalam waktu tiga hari dan dapat mengurangi volume sampah dalam waktu 10 hari. Selanjutnya, hasil olahan (briket dan pelet) nantinya dijual sebagai bahan bakar/pembangkit listrik ke pihak Indonesia Power. (bali.tribunnews.com).
Rencananya, pemda Klungkung akan menerapkan konsep TOSS ini di setiap desa/kelurahan. Namun, hingga saat ini program TOSS masih berkutat di tempat terbatas di TPA Sente dan Lepang, di Klungkung daratan. Belum terdengar kabar melebar ke Pulau Nusa Penida. Padahal, sebagai daerah yang melejit pariwisatanya, Nusa Penida sangat membutuhkan terobosan sistem TOSS ini, sebagai solusi alternatif atas keberadaan sampah plastik yang sangat sensitif dengan daerah pariwisata.
Saya pikir, pemda Klungkung pasti menyadari bahwa isu lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap citra daerah pariwisata, karena akan berimbas langsung pada jumlah kunjungan wisatawan. Lebih parah lagi, isu lingkungan bisa menjadi sandungan suatu daerah wisata tidak layak untuk dikunjungi. Situasi inilah yang melanda pariwisata Bali sekarang.
Baru-baru ini media ternama asal Amerika Serikat, Fodor's Travel, merilis daftar destinasi yang tak layak dikunjungi pada 2020. Dari daftar Fodor’s No List 2020 itu, Bali masuk dalam 13 destinasi yang dipertimbangkan untuk tidak dikunjungi. Salah satu pertimbangannya ialah soal isu sampah. Bali dinyatakan sebagai kawasan darurat sampah lantaran banyaknya sampah plastik di perairan dan pantai. Dikutip dari Fodor’s Travel, Badan Lingkungan Hidup di Bali mencatat bahwa pulau Bali menghasilkan 3.800 ton sampah setiap hari, dengan hanya 60 persen berakhir di tempat pembuangan sampah (travel.kompas.com).
Apa pun kepentingan Fodor’s Travel, kita harus menanggapi positif, sebagai catatan introspeksi diri. Catatan untuk bebas dari kasus sampah yang melilit Bali. Karena faktanya, persoalan sampah plastik di Bali, khususnya Nusa Penida, memang belum ada solusinya.
Sampah plastik tidak cukup hanya diselesaikan dengan regulasi-regulasi formal seperti pergub, perda atau “per-per” lainnya. Apalagi “per-per” yang lahir hanya bersifat himbauan,  tidak ada sikap tegas dari pemerintah. Padahal, ketegasan, konsistensi, dan kontinyuitas dari pemerintah dibutuhkan sebelum Bali benar-benar ditimbun oleh sampah plastik.
Selain itu, regulasi-regulasi formal tersebut dianjurkan tidak berdiri sendiri. Optimalisasi pelaksanaan harus menggandeng desa pekraman, sebab masyarakat Bali masih dominan bermental desa pekraman. Regulasi-regulasi formal (dinas) biasanya berjarak dengan krama Bali, terutama yang tua-tua. Masyarakat Bali cenderung lebih percaya dan tunduk dengan awig-awig desa pekraman. Sanksi-sanksi desa pekraman dirasakan lebih mengikat dan “meranen” bagi masyarakat Bali.
Karena itu, ada baiknya pemerintah merangkul desa pekraman di Nusa Penida dalam memerangi sampah plastik. Regulasi penanggulangan sampak plastik produk pemerintah dipresentasikan dan disinkronkan ke desa pekraman. Kemudian, dampingi desa pekraman menerjemahkannya ke dalam awig-awig. Misalnya, desa pekraman membuat awig-awig pembatasan (tidak boleh) secara bertahap tentang penggunaan plastik sehari-hari di rumah maupun dalam ritual upacara adat dan keagamaan di wilayah desa pekraman.
Untuk memotivasi desa pekraman konsisten dalam memerangi sampah plastik, pemerintah juga dapat membuat lomba-lomba desa pekraman bebas sampah plastik. Lomba ini dilaksanakan secara kontinyu untuk menstimulus krama dalam memerangi sampah plastik. Di samping itu, pemerintah juga bisa merancang penghargaan desa pekraman dan tokoh lingkungan krama peduli sampah plastik. Siapa tahu dari gagasan ini, masyarakat termotivasi untuk menjadi semakin peduli dengan sampah plastik (palemahan) secara mandiri.
Namun demikian, pemerintah tetap harus aktif mendorong program peduli sampah plastik dengan menjadi teladan, fasilitator, dan mediator bagi krama desa pekraman—sehingga pelan tapi pasti masyarakat terus teredukasi. Harapannya ke depan, akan tumbuh kesadaran krama tentang lingkungan (peduli sampah plastik), yang menjadi tabungan untuk memperpanjang nyawa pariwisata di Nusa Penida.


Pariwisata dan Geliat Pebisnis Lokal di Nusa Penida
Oleh
I Ketut Serawan

        Pesatnya perkembangan pariwisata di Pulau Nusa Penida membuat masyarakat lokal tidak tinggal diam. Mereka berlomba-lomba membangun peluang usaha pariwisata mulai dari jasa sewa kendaraan, travel agent, jasa snorkeling, hingga bisnis akomodasi seperti rumah makan dan penginapan. Respon ini merupakan langkah konkret masyarakat lokal untuk berpartisipasi secara aktif menjadi pelaku pariwisata, bukan sebagai penonton.
          Maraknya bisnis pariwisata ini sangat terlihat (secara kasat mata), terutama dalam bidang perakomodasian. Pertumbuhannya kini sangat signifikan. Rumah makan dan penginapan mulai bermunculan. Kian hari, jumlahnya terus bertambah. Tidak hanya di daerah pesisir, termasuk sepanjang jalan utama, perbukitan, lahan pertanian atau ladang-ladang bahkan di daerah pemukiman penduduk.
Peta pertumbuhannya pun hampir merata di 3 belahan Pulau Nusa Penida yaitu wilayah timur, barat, dan selatan. Ketiga wilayah ini dikepung oleh eksistensi rumah makan dan penginapan. Warung makan, restoran, hotel, hostel, villa, home stay, cottage dan lain-lainnya semakin bertambah. Namun, jumlahnya belum dapat dipastikan, karena hingga kini penelitian-penelitian tentang keberadaan jumlah akomodasi di Pulau Nusa Penida masih sangat langka.
Satu-satunya yang pernah saya baca adalah penelitan (Tugas Akhir) yang dilakukan oleh Dwipayanti dkk. pada tahun 2017. Penelitan ini menyinggung tentang keberadaan (jumlah) akomodasi, tetapi subjeknya masih terbatas pada 4 (empat) desa yaitu Desa Sakti, Desa Ped, Desa Kutampi Kaler, dan Desa Batununggul. Sedangkan, lokasi penelitiannya tersebar di pantai, pelabuhan, daya tarik wisata, pusat desa, dan sekitar area akomodasi.
Uraian hasil penelitian ini berpijak dari temuan Nusa Penida Media (tahun 2017) yang memaparkan bahwa jumlah akomodasi di Nusa Penida pada tahun 2016 masih sebanyak 30 akomodasi (villa, hotel, bungalow, resort, guest house, home stay) dengan persebaran 10 akomodasi di Desa Sakti, 10 di Desa Ped, 3 di Desa Kutampi Kaler, dan 7 akomodasi di Desa Batununggul. Lebih lanjut, Dwipayanti memaparkan bahwa tahun 2017 timnya menemukan beberapa pendirian akomodasi di 4 desa itu yang sedang dalam proses penggarapan. Sayangnya, tidak dijelaskan jumlahnya secara pasti sebagai gambaran jumlah pada tahun-tahun berikutnya.
Di luar akomodasi di atas, hasil penelitian Dwipayanti juga menemukan bahwa sampai Juli 2017 terdapat 17 usaha rumah makan yang sudah beroperasi di Nusa Penida. Semua rumah makan tersebut merupakan usaha milik masyarakat lokal.
Keterbatasan subjek, lokasi, dan waktu penelitian yang dilakukan Dwipayanti dkk. tentu membuat data temuannya menjadi kurang update sekarang. Pasalnya, kondisi nyata pertumbuhan akomodasi di Pulau Nusa Penida dalam kurun 2 tahun (2018-2019) terlihat begitu cepat dan marak. Bukan hanya secara kasat mata (gedung fisik akomodasi), termasuk maraknya sirkulasi bahan bangunan dari Bali daratan ke Nusa Penida. Ditambah belakangan, terjadi krisis tukang bangunan di pulau ini (keberadaan jumlah tukang bangunan tak seimbang dengan pembangunan akomodasi).
Namun kondisi ini tak menyurutkan semangat masyarakat lokal dalam mengembangkan usaha akomodasi pariwisata. Mereka tampak begitu semangat, sumringah, dan bangga dengan daerahnya yang kini diserbu oleh para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Tidak tanggung-tanggung, pulau yang berluas 202,84 km2 ini (termasuk Pulau Lembongan dan Ceningan) rata-rata dikunjungi oleh ratusan ribu wisatawan per harinya.

Geliat Pebisnis, Denyut Pinjaman, dan Denyut Jantung
Karena itulah, warga lokal terus berbenah membangun bisnis akomodasi dengan berbagai cara. Pada umumnya, masyarakat lokal membangun bisnis akomodasi dengan modal perseorangan atau join modal (gotong royong). Mereka yang memilih perseorangan adalah kalangan yang memang mampu, memiliki aset yang memadai. Kedua, ada pula dari modal jual aset (tanah misalnya) atau mengontrakan tanah. Kemudian, uangnya diolah untuk membangun penginapan. Ketiga, meminjam uang dengan jaminan tanah atau aset lainnya.
Sementara itu, yang modalnya terbatas biasanya memilih join saham (gotong royong) dalam membangun akomodasi. Join ini menggandeng keluarga terdekat misalnya saudara kandung, sepupu, ipar, bibi, paman dan bapak. Join ini dirasakan meringankan pebisnis, tetapi pemasukan tentu tidak sepenuh modal perseorangan.
Tidak hanya jumlah bangunan fisik, geliat pebisnis lokal ini juga tampak dari denyut pinjaman di lembaga perbankan, misalnya Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Belakangan, kantor LPD lebih sibuk melayani nasabah yang meminjam uang untuk usaha penginapan atau warung makan. Pasalnya, jumlah nasabah (peminjam) terus mengalami peningkatan hingga lebih dari 50 %. Data ini dibenarkan oleh salah satu mantan pengawas LPD Desa Pekraman Sebunibus (sekaligus salah satu owner Batan Sabo Cottage), Pande Bagus Gde Guna Sesana.
Sebelumnya, menurut Guna, jumlah peminjam biasanya sangat sedikit. Hampir tidak pernah mencapai target standar minimal, karena jumlah peminjam bisa dihitung dengan jari. Berbeda dengan sekarang, ketika bisnis penginapan ramai di wilayah Desa Pakraman Sebunibus, LPD menjadi ramai dikerumuni nasabah (peminjam). Mereka rela antri dan berdesak-desakan demi mendapatkan pinjaman.
Di samping LPD, titik perburuan pinjaman juga terjadi di BRI dan BPD yang ada di Nusa Penida. Kedua bank milik pemerintah ini menjadi ladang peminjaman dari para pebisnis lokal sebagai modal. Hiruk-pikuk nasabahnya pun meningkat tajam. Kondisi ini tentu sangat menarik jika dijadikan penelitian oleh calon-calon sarjana ekonomi.
Jika kita telesuri kalangan pebisnis lokal di Nusa Penida, mereka merupakan SDM lokal yang cukup andal. Kebanyakan berasal dari pelaku pariwisata yang pernah mengenyam asam garam pariwisata (guide, karyawan/ staf hotel, restoran, villa, bungalow, dsb.) baik di Bali daratan (lokal), nasional, hingga internasional (TKI-kapal pesiar). Sepak terjangnya dalam dunia pariwisata cukup mumpuni dijadikan modal dalam membangun usaha akomodasi di Nusa Penida. Sisanya, dari kalangan pebisnis tulen, guru, dosen, dokter, pejabat pemerintahan, sopir, tukang, petani, dan lain sebagainya.
Apa pun latar belakangnya, meningkatnya geliat bisnis penginapan dan denyut pinjaman di perbankan merupakan indikator bahwa pariwisata memberikan efek dan perspektif positif bagi masyarakat lokal. Beberapa efek dan perspektif yang dimaksud, antara lain pariwisata dapat menstimulus “spirit spekulan” kepada masyarakat lokal untuk berbisnis, menjadi ruang belajar berbisnis secara konkret, dan memacu warga lokal menjadi boss/ owner untuk menciptakan lapangan pekerjaan (tidak semata-mata menjadi karyawan/ tenaga kerja). Selain itu, pariwisata juga dipandang dapat meningkatkan ekonomi, kesejahteraan, dan menghilangkan stereotip terisolir bagi masyarakat lokal.
Dengan kata lain, maraknya bisnis akomodasi merupakan realisasi atas efek dan perspektif masyarakat lokal terhadap dunia pariwisata, yang melingkupinya. Respon ini patut kita acungi jempol. Karena, kita memang berharap peran pebisnis lokal terus meningkat. Kita berharap jiwa-jiwa spekulan dan keberaniannya terus bertumbuh, sehingga nanti muncul pebisnis-pebisnis baru lainnya.
Semakin banyak jumlah pebisnis lokal berperan aktif, semakin optimal masyarakat lokal menikmati kue pariwisata daerahnya. Di samping itu, masyarakat akan lebih leluasa bisa mengatur sosiokultural daerahnya. Yang tak kalah pentingnya pula ialah masyarakat lokal akan memiliki prestise sosial, karena derajat individu maupun kolektif masyarakat lokal dapat terangkat, sehingga tidak dipandang remeh oleh masyarakat luar.
Namun, bukan berarti kita anti dengan investor asing. Masyarakat Nusa Penida tentu membutuhkan perannya. Akan tetapi, alangkah bagusnya jika keberadaannya tidak terlalu mendominasi dan mendikte masyarakat lokal. Karena itulah, diperlukan pula dukungan dari pemerintah untuk terus menggenjot lahirnya pebisnis-pebisnis lokal. Misalnya, lewat perlindungan regulasi bisnis pro masyarakat lokal, dukungan dana (pinjaman lunak/ bunga ringan) dan pelatihan-pelatihan entrepreneur (wirausahawan) kepada masyarakat lokal.
Regulasi, support dana, dan pelatihan-pelatihan SDM lokal pasti akan menciptakan iklim bisnis yang menarik. Masyarakat lokal pasti akan semakin banyak tertarik untuk terjun ke dunia bisnis pariwisata. Cepat dan pasti, bisnis akomodasi akan berjamuran di Pulau Nusa Penida. Konsekuensinya, persaingan tentu akan menjadi semakin kompetitif.
Kompetisi yang ketat cenderung memunculkan iklim persaingan tidak sehat. Para owner biasanya berlomba-lomba menurunkan harga secara sepihak. Penurunan harga ini akan menguntungkan pihak tertentu dalam jangka pendek. Sementara, pihak lainnya akan mengalami gonjang-ganjing dan ujung-ujungnya bakal bangkrut. Konon, cerita (kasus) ini pernah melanda pariwisata di daerah Kintamani dan Candidasa.
Karena itu, penting para owner penginapan membentuk semacam organisasi yang dapat bertugas mengatur harga. Organisasi yang legitimate inilah yang tugasnya merumuskan, mengatur, dan mengontrol harga melalui regulasi yang ditetapkan. Jika dilanggar, maka owner tersebut akan dikenai sanksi sesuai regulasi yang disepakati.
Keberadaan organisasi ini tentu akan membuat denyut pembangunan akomodasi berdetak  stabil, denyut cicilan stabil, dan denyut jantung pebisnis juga menjadi stabil.

Kolam renang di atau di dekat Batan Sabo Cottage
Batan Sabo Cottage, milik warga lokal (Guna, Apel, Kobers, dan Supradnya)
                   




Batan Sabo Cottage, milik warga lokal (Guna, Apel, Kober, dan Supradnya)


Imbas Pariwisata, Nusa Penida Mendadak “Kebule-Bulenan”
Oleh
I Ketut Serawan

          Tidak perlu menunggu lama, pariwisata sangat “cespleng” memberikan pengaruh terhadap kelokalan di Nusa Penida. Salah satunya ialah perkara (kosakata bahasa) penamaan suata tempat yaitu objek wisata. Misalnya, Broken Beach, Angel’s Billabong, Crystal Bay, Diamond, Thousand Island, dan lain sebagainya. Nama yang begitu keren, namun sulit diucapkan oleh lidah lokal, warga Nusa Penida. Karena hingga sekarang, lidah mereka masih “slimputan” mengucapkan deretan nama-nama tersebut.
          Berbeda dengan Bali daratan, nama-nama lokal masih tetap ajeg (kukuh dipertahankan). Contohnya, Kuta Beach, Nusa Dua Beach, Sanur Beach, dan lain-lainnya. Hingga sekarang pun, kita masih menjumpai nama-nama ini di Bali Selatan. Padahal, daerah-daerah tersebut telah lama berdampingan dengan pariwisata dunia.
            Saya tidak tahu, apakah penamaan asing ini sebagai trik dalam mempercepat promosi sebuah destinasi pariwisata? Entahlah. Jawabannya tentu harus dibuktikan dengan penelitian-penelitian terlebih dahulu. Harus ada bukti-bukti research yang valid untuk mempertemukan korelasi penamaan dengan kecepatan promosi.
Selama ini, saya belum pernah membaca research tentang keterkaitan ini. Jangan-jangan ada, tetapi saya tidak tahu alias belum membaca. Lalu, bagaimana dengan kecepatan promosi objek wisata di Nusa Penida? Hanya dalam tempo kurang lebih 4 tahun, beberapa objek wisata di Nusa Penida dikenal cepat ke seluruh dunia. Indikatornya, para wisatawan baik domestik maupun mancanegara terus berduyun-duyun mendatangi objek-objek wisata yang ada di Nusa Penida. Data tahun 2018 memperlihatkan bahwa jumlah realisasi kunjungan wisatawan mencapai 253.472 orang per hari dari target semula 343.979. Itulah sebabnya, tahun 2019 ini pemda Klungkung menargetkan jumlah kunjungan mencapai  543.979 (radarbali.jawapost.com).
Sekali lagi, adakah karena embel-embel penamaan asing itu? Saya pikir tidak. Popularitas objek-objek wisata di Nusa Penida dipengaruhi oleh promosi yang gencar dari berbagai pihak, baik dari pemerintah (pemda Klungkung), pihak swasta (baik secara kolektif/ individual), praktisi pariwisata, masyarakat, para wisatawan, dan lain sebagainya. Para pelaku inilah yang menyebarluaskan profil-profil objek wisata Nusa Penida secara berantai di media online.
Karena itu, sarana online juga sangat berjasa mempercepat (pesan) promosi kepada masyarakat di dunia. Pemanfaatan youtube, facebook, twitter, dan aplikasi lainnya sebagai media promosi dirasakan jauh lebih efisien dan cepat. Berbeda mungkin dengan promo awal pariwisata di daerah Kuta, Sanur, dan Nusa Dua. Zaman itu, media promosi tidak semutakhir sekarang.
Jika kita masih jumawa menyebut faktor penamaan asing sebagai pendorong kecepatan promosi, maka kita pantas menyanggahnya. Coba cek ranking prestasi objek wisata di Nusa Penida. Ranking teratas justru diduduki oleh objek wisata dengan nama nasional yaitu Pantai Kelingking. Kelingking Beach masuk daftar ranking ke-9 pantai tercantik di asia versi CNN Travel, dan ranking ke-19 pantai tercantik sedunia versi TripAdvisor (Kompas.com).
Tentu prestasi ini sangat realistis. Tidak berkaitan dengan perkara penamaan, tetapi, sesuai dengan kondisi konkret objek tersebut. Dalam konteks ini, mungkin William Shakespeare benar. “Apalah arti sebuah nama.” Tapi tunggu dulu! Nama barangkali tetap diperlukan, termasuk Anda, kan?
Lalu, mengapa harus mengusik penamaan asing yang melekat pada objek-objek wisata di Nusa Penida? Bukankah itu sesuatu yang “lebay”? Sebagai warga Nusa, saya merasa tidak nyaman dengan penamaan asing itu. Ada semacam rongrongan jati diri sebagai orang Nusa. Saya yakin beberapa warga yang lain merasakan hal sama, karena saya tahu bahwa orang Nusa Penida dikenal sebagai orang yang fanatik dalam mempertahankan jati dirinya. Contohnya, dalam hal berbahasa Nusa. Walaupun sedikit berbeda idiolek dan kosakatanya dengan bahasa Bali standar, orang Nusa tidak pernah merasa malu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Nusa. Ini adalah modal dasar untuk mempertahankan identitas orang Nusa Penida. Cuma saya tidak mengerti, mengapa ketika nama-nama objek wisata berbahasa asing tidak ada yang berani bersuara (maaf, mungkin saya baperan, ya).
Pertama, mungkin bahasa Inggris (dunia) dianggap terlalu keren, simbol global, dan simbol modernisasi. Simbol-simbol inilah yang barangkali dianggap memberikan efek pencintraan positif. Pencitraan untuk menendang stereotip terisolir yang lama disematkan kepada daerah Nusa Penida. Masyarakat Nusa Penida ingin menunjukkan kepada orang-orang bahwa daerah Nusa Penida sudah mengglobal sekarang, dapat bersentuhan secara terbuka dengan siapa pun di dunia.
Kedua, mungkin nama-nama asing itu sengaja dibiarkan untuk memudahkan lidah para wisatawan asing melafalkan nama objek di Nusa Penida. Meskipun terkesan dipaksakan, nama-nama asing itu menjadi akrab dilidah para wisatawan asing. Saya tidak tahu, apakah memanjakan lidah (bicara) seperti ini bagian dari sebuah servis atau ketaklukan.
Ketiga, penamaan asing-asing itu akhirnya memunculkan rasa kebanggaan baru kepada masyarakat Nusa. Kebanggaan global, melebihi fanatisme sebagai orang Nusa. Namun, tanpa disadari, kebanggaan global ini perlahan-lahan akan mengikis spirit identitas ke-Nusa-an mereka.

Kesadaran Identitas
            Indikasi pengikisan identitas Nusa ini pantas dipersoalkan, mengingat bangsa-bangsa di dunia konon sedang gencar membangun identitasnya. Mereka mempertahankan karakteristiknya dari kepungan budaya global. Kondisi inilah yang mungkin mendorong lahirnya konsep ajeg Bali--respek Bali sebagai bagian dari dunia global. Terlebih lagi, Bali menjadi destinasi pariwisata dunia (nomor satu lagi di dunia) yang berkarakter (identias) dan unik, yang rawan terhadap penundukkan identitas (budaya).
Karena itu, Bali berjibaku menjaga kehormatan (identitas) itu dengan cara melestarikan dan memodifikasinya sesuai dengan dinamika zaman. Belakangan, spirit ajeg Bali ini kian mendapat penguatan dari Gubernur Bali, Wayan Koster. Pemda Bali menerbitkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali secara serentak di seluruh Bali. Pemda memandang bahwa membangun dan mempertahankan identitas itu merupakan persoalan serius.
Dalam konteks inilah, masyarakat Nusa Penida pantas mulat sarira tentang kesejatian dirinya. Masyarakat Nusa Penida semestinya merawat kelokalannya (identitas dirinya). Salah satunya ialah identitas bahasa Nusa Penida. Kosakata-kosakata lokal itu semestinya dipertahankan, tetapi bukan bermaksud kaku apalagi menutup diri. Kosakata-kosakata asing tetap kita butuhkan untuk perkembangan (penambahan pembendaharaan) bahasa Nusa. Akan tetapi, kosakata asing jangan sampai menghegemoni bahasa lokal. Lama kelamaan, otomatis bahasa lokal tunduk dan musnah mengenaskan.
Promosi destinasi wisata jangan hanya mengejar rating kunjungan, lalu mengambil sebesar-besarnya dari keuntungan itu. Promosi harus dapat memperkenalkan objek-objek wisata termasuk identitas-identitas kelokalan daerah itu. Mulailah dari hal kecil, misalnya fanatik menggunakan bahasa-bahasa lokal. Penggunaan bahasa-bahasa lokal ini merupakan bentuk kesadaran untuk mengangkat derajat kita di mata dunia. Sambil promosi objek, sekaligus promosi budaya (bahasa) kita, bahasa Nusa Penida.
Fanatisme penggunaan bahasa lokal merupakan bagian otoritas kita sebagai daerah tujuan. Sebagai tuan rumah, biarkan tamu (wisatawan) menyesusaikan diri dengan karakter daerah dan budaya kita, termasuk dalam pengucapan bahasa lokal Nusa. Biarkan mereka bertamasya, sekaligus belajar ilmu kosakata lokal.
Kita membutuhkan pariwisata untuk kemajuan, tetapi tidak mengikis identitas masyarakat lokal. Kita mendukung pariwisata sebagai partner mengangkat derajat masyarakat lokal, sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kita tidak membutuhkan pariwisata dalam bingkai hubungan superior dan inferior, karena pariwisata akan memberangus identitas masyarakat lokal.
Untuk menguatkan pemertahanan identitas Nusa, mesti ada dukungan dari berbagai pihak terutama pemda Klungkung. Misalnya, pemda Klungkung mengeluarkan regulasi berkaitan dengan penamaan lokal Nusa, sesuai spirit pergub Bali. Mulailah dari regulasi bahasa atau penataan nama-nama objek dengan bahasa Nusa. Ke depan, mungkin regulasi-regulasi lain yang bertujuan menjaga (integritas) identitas masyarakat Nusa Penida.
        Jadi, kalau masyarakat ingin membangun stereotip modernisasi tidak mesti menjadi dia (bule/ barat). Lalu, kita menghamba dan kehilangan jati diri. Kalau memang kulit kita sawo matang, jangan memaksakan putih-putihlah. Nanti, pasti kelihatan belang-belang alias “kebule-bulenan”.


Related image
Diamond Beach (sumber: lifestyle.okezone.com)

Related image
Diamond Beach (sumber: thenusapenida.com)