Kegiatan literasi mulai menggeliat
di sekolah-sekolah. Geliat ini bermula dari kebijakan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) per tahun 2016
sebagai bagian dari implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Konkretnya, para siswa
diwajibkan membaca buku non-mapel setiap hari 15 menit sebelum pembelajaran
dimulai di kelas.
Kontrak
Literasi
Walaupun singkat,
pembiasaan tersebut cukup membangunkan kesadaran siswa dari belenggu budaya
“kontrak literasi” yang sudah mendarah daging pada diri siswa. Budaya “kontrak
literasi” merupakan aktivitas belajar (membaca-menulis) untuk memperoleh
(jangka pendek) apresiasi nilai atau angka. Keinginan memperoleh angka-angka
inilah yang mendorong siswa untuk belajar. Itulah sebabnya, siswa baru belajar
apabila ada tes ulangan atau ujian. Mereka belajar untuk mendapatkan angka yang
baik. Selanjutnya, angka-angka ini didokumentasikan dalam raport atau ijazah
untuk dibanggakan di kemudian hari.
Segi
kepraktisan atau efek ilmu yang dipelajari dari aktivitas belajar, tidak
menjadi persoalan. Habis belajar dan siswa memperoleh angka, maka kontrak sudah
berakhir. Apakah ilmu yang dipelajari berguna atau tidak dalam kehidupan
sehari-hari? Tidak penting.
Belajar
menjadi semacam proyek (kontrak). Kontrak untuk menjawab soal-soal sesaat. Setelah
menghadapi ulangan atau ujian, siswa merasa bebas. Mereka merasa bebas dari
aktivitas belajar (membaca/menulis). Membaca pasca tes dianggap tindakan
sia-sia.
Selanjutnya,
dari “kontrak literasi” inilah menumbuhkan anggapan bahwa belajar (membaca)
dikhususkan untuk status siswa atau mahasiswa. Istilah belajar adalah kontrak
ketika menjadi siswa atau mahasiswa. Lepas dari dua status ini, berarti bebas
dari aktivitas membaca dan menulis.
Oleh
karena itu, banyak masyarakat (orang tua) merasa tak berdosa ketika menyuruh
anaknya belajar. Para orang tua sering menceramahi, memaksa, memarahi, mengancam
hingga pasrah. Karena beberapa anak malah memilih diam menutup pintu, lalu
komunikasi menjadi buntu. Mereka mengurung diri di kamar entah untuk kondisi ancaman
belajar atau pura-pura belajar.
Daripada kukuh merasa
benar dan menjadikan anak sebagai “pesakitan belajar”, lebih baik orang tua
menjadi panutan literasi di rumah. Orang tua membiasakan diri membaca di rumah.
Berusaha terus menjadi contoh pembaca yang baik di keluarga. Lakukan
berulang-ulang. Setiap saat. Kalau bisa, setiap hari. Karena sesungguhnya anak
membutuhkan contoh-contoh konkret di lingkungan keluarga. Apa yang sering
dilihatnya, dialaminya, dan dirasakannya di rumah akan membentuk kebiasaan pada
diri siswa. Di sinilah, pentingnya orang tua tampil menjadi contoh bukan
sekadar memberikan contoh-contoh. Orang tua harus bisa menjadi panutan literasi
di rumah.
Begitu juga di
lingkungan sekolah. Guru harus dapat menjadi panutan literasi bagi anak
didiknya. Namun kenyataannya, kadangkala guru gagal menjadi teladan. Mereka
meminta para siswa rajin dan tekun belajar. Pun ketika siswa membaca 15 menit
sebelum pembelajaran di kelas. Semangatnya bak juru kampanye. Suara para guru
lantang. Sayangnya, guru lebih sering memanfaatkan waktu senggang untuk ngerumpi di ruang guru. Mereka enggan
mengupgrade diri dengan membaca
(walaupun tidak semua). Beberapa guru merasa nyaman dengan ilmu yang serba
berkecukupan sewaktu di bangku kuliah.
Kontrak literasi yang
membudaya, menyebabkan ortu atau guru sering gagal menjadi panutan. Celakanya,
sering ortu dan guru tetap merasa benar. Mereka membela diri dengan alasan
faktor usia, kesibukan, lelah dan lain sebagainya. Alasan ini seolah-olah sudah
menjadi legitimasi bahwa usia tua harus dibebaskan dari aktivitas belajar.
Sejujurnya, literasi
merupakan budaya baru bagi masyarakat. Ia baru menggema ditengah kuatnya
pengaruh tradisi lisan dalam masyarakat. Bahkan, usianya tidak
tanggung-tanggung. Sudah berabad-abad lalu. Masyarakat kita besar dari
polarisasi penutur (kemampuan berbicara) dan pendengar (kemampuan menyimak).
Jadi, untuk mengalihkan
budaya lisan ke budaya belajar (baca-tulis), dibutuhkan proses dan kemampuan
adaptasi yang baik. Semakin tinggi kemampuan adaptasi kita, maka semakin cepat
dapat menyesuaikan diri dengan budaya literasi. Sebaliknya, semakin rendah maka
budaya literasi kita bergerak lambat.
Ortu/ guru (old) merupakan korban hegemoni trans
budaya lisan. Mereka lahir dari lingkungan dominasi tradisi lisan yang begitu
kuat dan (dengan) perspektif membaca sebagai kontrak literasi. Ditambah dengan
kemampuan adaptasi yang minim, maka wajar ortu/ guru belum mampu menjadi
panutan literasi.
Meskipun demikian,
tidak semua ortu/ guru (old)
digolongkan sebagai generasi minus literasi. Ada beberapa ortu/ guru (old) yang memiliki kemampuan adaptasi
literasi yang tinggi, sehingga mereka tetap tampil sebagai panutan berliterasi.
Namun, jumlahnya sangat sedikit.
Panutan
Literasi
Saat
ini, anak-anak membutuhkan panutan literasi terutama di keluarga. Keluarga
sangat efektif dalam membentuk karakter anak. Lingkungan keluargalah yang
paling banyak menyita waktu anak-anak. Keluarga juga menjadi lingkungan pribadi
(psikologi) yang paling dekat dan akrab. Bibit karakter bermula dari lingkungan
keluarga. Keseharian di keluarga akan otomatis membentuk nilai (karakter) termasuk
kebiasaan literasi. Jika ortu dapat menciptakan iklim literasi yang kondusif di
rumah, maka anak-anak relatif lebih mudah tertular virus literasi. Karena itu,
tidak ada pilihan lain bagi ortu kecuali berusaha membiasakan diri menjadi
contoh literasi di keluarga.
Karakter
literasi yang tumbuh di keluarga akan memudahkan budaya baca-tulis anak
berkembang di sekolah. Dengan catatan, sekolah harus mendorong iklim literasi
yang baik, terutama mulai dari guru. Guru harus menjadi model/ panutan literasi
dengan memanfaatkan waktu untuk membaca dan menulis. Selain itu, sekolah dapat
menjadi fasilitator literasi dengan menyediakan bahan bacaan (tulis) baik
cetak, digital, dan lain sebagainya.
Pembelajaran
literasi mirip dengan pembelajaran agama dan budi pekerti. Mapel ini dimasukkan
dalam korikuler dan diajarkan secara rutin di sekolah. Namun, hasilnya dianggap
mengecewakan. Etika dan moral generasi muda kita dikatakan tumbuh tidak sesuai
dengan ekspektasi publik. Pun generasi tuanya. Salah satu indikatornya ialah
menjamurnya budaya korupsi di segala sektor justru ketika mapel ini digemakan
di sekolah-sekolah.
Metodologi
dituding sebagai salah satu faktor kekurangoptimalan pembelajaran agama dan
budi pekerti. Publik menilai bahwa pembelajarannya masih menggunakan metodologi
konvensional. Sekolah membelajarkan mapel ini sebagai “proyek penghabisan
materi”. Hasilnya, tentu teoritis, bukan unjuk keterampilan berbuat baik—dengan
panutan di sekelilingnya. Akibatnya, anak-anak tumbuh dengan baik hanya pada
kemampuan kognitif (konsep) moralnya, tetapi miskin pada tataran
implementasinya. Ditambah lagi, lingkungan sosial yang cenderung kurang baik,
karena dominan memamerkan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan teori moral.
Penumbuhan
(pembiasaan) literasi juga sama. Ia tidak cukup dintegrasikan dalam mapel dan
berakhir dengan angka-angka. Ia harus terus distimulus dan dibiasakan oleh
pihak sekolah (guru) dengan menjadi panutan utama. Untuk mengikat guru menjadi
panutan literasi, barangkali diperlukan tuntutan administrasi. Misalnya, dengan
memasukan bukti fisik literasi sebagai kelengkapan administrasi dalam kenaikan pangkat/
golongan. Persyaratan administratif ini akan mendorong guru untuk terus
membaca. Lama-kelamaan, diharapkan dapat menulis buku dan dijadikan stimulus
berkarya (literasi) kepada siswa.
Gerakan
literasi juga dapat digemakan di sekolah-sekolah dengan menggelar acara-acara
yang berbau literasi. Misalnya, sekolah menyelenggarakan pameran literasi,
seminar, dan bedah buku dengan mengundang ortu siswa sebagai pesertanya.
Partisipasi ortu ini diharapkan dapat menyadarkan mereka melek dan menjadi
panutan literasi di keluarga. Di tangan ortu yang melek inilah, mimpi
berliterasi anak bisa terwujud.
Jika
literasi sudah bertumbuh pada anak-anak
baik dirumah maupun di sekolah, maka belajar tidak akan lagi menjadi “kontrak
literasi”. Anak-anak tidak terikat lagi dengan angka-angka dari jerih payah
membaca. Mereka akan terbebas dari tekanan “kontrak literasi” yang mementingkan
traksasional nilai. Karena mereka akan menyadari bahwa kegiatan literasi merupakan
kebiasaan intelek yang bermanfaat, menyenangkan, dan patut dilakoni setiap
hari. (Artikel ini pernah dimuat di Harian Bali Post dan Tabloid Tokoh)