Sabtu, 29 Januari 2022

 


Pohon Prasi (Lantana) di Nusa Penida. Foto: I Ketut Serawan

Salah satu permainan favorit anak era 80-an dan 90-an di Nusa Penida (NP) ialah bedil-bedilan. Bedil-bedilan ini terdiri atas 3 bagian. Pertama, bodi lubang tempat mimis (peluru bundar). Kedua, tangkai pendorong mimis. Ketiga, mimis itu sendiri. Bodi dan tangkai bedil terbuat dari bambu, sedangkan mimisnya menggunakan buah prasi (lantana) yang setengah matang.

Cara membuatnya sederhana. Ranting pohon bambu (seukuran jari orang dewasa) dipotong menjadi kurang lebih 15-25 cm tanpa buku-buku. Kemudian, dibuatkan tangkai pendorong bulat panjang dari bilah bambu. Besar dan panjangnya menyesuaikan lubang bodi mimis.

Namun ingat, ujung tangkai pendorong tidak boleh sama panjang dengan bodi lubang mimis. Tangkai harus dibuat lebih pendek dari satu ukuran mimis. Begitu ful didorong, maksimal menyentuh permukaan mimis pada ujung lubang bodi.

Kunci utama bedil-bedilan ini sukses ialah ukuran buah prasi yang digunakan sebagai mimis. Ukurannya harus pas memenuhi lubang bodi bedil. Jangan sampai ada celah angin masuk. Jika sampai udara atau angin masuk (alias agak longgar), maka tidak ada tekanan. Ketika didorong, buah prasi akan keluar begitu saja, tanpa suara letupan.

Sebaliknya, jika pas memenuhi permukaan dinding lubang, maka muncul tekanan pada mimis di ujung lubang bodi. Mimis pertama itu akan terpental keluar beberapa meter dengan suara letupan. Sementara mimis kedua, akan diam di ujung lubang bodi. Ia akan menunggu terpental keluar jika ada mimis lain yang mendorongnya. Begitu seterusnya.

Jadi, setiap anak memiliki buah prasi yang bervariasi, sesuai dengan ukuran besar lubang bambu yang digunakan. Karena itu, ketika bedil-bedilan usai dibuat, maka si pemilik akan mencoba besaran lubang dengan buah prasi yang ada. Mereka akan menyortir sebanyak mungkin buah prasi sebagai persediaan, yang biasa ditaruh di dalam saku baju atau celana.

Persediaan buah prasi inilah yang digunakan dalam permainan bedil-bedilan. Sistem bermainnya sederhana. Ada dua kubu (kelompok) yang berperang. Diusahakan masing-masing anggotanya sama. Namun, boleh saja ada yang lebih. Sebelumnya, kedua kubu menentukan area berperang dan aturan menembak. Hanya boleh menembak bagian tubuh di bawah kepala.

Begitu aba-aba dimulai, maka masing-masing kubu akan mencari tempat persembunyian. Mereka bisa menembak lawan dengan sembunyi-sembunyi maupun secara terbuka.

Siapa yang terkena tembakan mimis, dianggap gugur. Dia tidak boleh melanjutkan permainan. Jika semua anggota kelompok terkena tembakan mimis, maka merekalah yang dinyatakan kalah—walaupun lawan tersisa lagi satu misalnya.

Seringkali bedil-bedilan itu tidak digunakan untuk berperang, tetapi sekadar eksebisi, beradu jarak pentalan mimis. Biasanya, anak-anak berkumpul di satu tempat terbuka. Kemudian, mereka menembakan bedilnya ke arah depan atau ke atas langit.

Era 80-an dan 90-an, permainan bedil-bedilan dianggap maju. Kebanyakan para pendukungnya ialah anak laki-laki. Permainan ini sangat tergantung dengan keberadaan buah prasi di NP. Tanpa buah prasi, senjata bedil-bedilan tidak ada gunanya.

Pohon Prasi, Manfaat dan Rasa Alam

Menurut Wikipedia, pohon prasi atau lantana termasuk perdu. Tergolong ke dalam jenis tumbuhan berbunga dari famili verbenaceae yang berasal dari wilayah tropis Amerika Tengah dan Selatan. Tanaman ini tumbuh di daerah ketinggian 1.700 m dpl dan memiliki banyak percabangan. Tingginya bisa mencapai 0,5-4 meter.

Batangnya berkayu, bercabang banyak, ranting bentuk segi empat, berduri, dan berambut. Kulit batang berwarna coklat, dengan permukaan kasar, daun tunggal berwarna hijau berbentuk oval dengan pinggir daun bergerigi. Bunga dalam rangkaian yang bersifat rasemos mempunyai warna putih, merah muda, jingga kuning, dsb. Buahnya mirip buah buni berwarna hitam mengkilap bila sudah matang.

Dulu, keberadaan pohon prasi/ lantana sangat melimpah di NP. Sangat mudah menjumpainya. Prasi dapat hidup leluasa di atas permukaan tanah berbatu, di antara bataran tegalan, semak belukar, ladang-ladang kosong yang tak terurus, dan di bawah kerumuman pohon-pohon besar lainnya.

Ketika bunganya bermekaran, prasi menjadi magnet bagi hewan serangga seperti kupu-kupu. Bunga prasi di NP memiliki varian beragam seperti putih, kuning, orange, merah, jingga dan lain sebagainya. Begitu juga dengan varian kupu-kupu yang menghinggapinya. Ada variasi/ kombinasi putih, biru, hitam, merah dan lain-lain.

Selain dimanfaatkan sebagai mimis, buah prasi yang matang bisa langsung dimakan. Anak-anak seangkatan saya sudah terbiasa mengkonsumsi buah prasi yang matang. Ciri buah prasi yang matang ialah berwarna hitam mengkilap.

Saya dan kawan-kawan biasa mengkonsumsi buah prasi. Sambil mencari buah setengah matang untuk dijadikan mimis, kami mengambil buah yang matang untuk dimakan. Rasanya manis agak masem. Jadi, buah yang matang masuk ke mulut, sedangkan yang setengah matang masuk ke kantong celana atau baju.

Sering pula, saya dan kawan-kawan memakan buah prasi sepulang sekolah. Dalam keadaan perut kosong, kami menyeruak di antara rimbun pohon prasi lalu memetik buahnya untuk sekadar mengganjal perut kami. Begitu pula ketika menyabit rumput untuk pakan sapi. Di sela-sela kesibukkan menyabit rumbut, kami sempat saja memetik buah prasi untuk dimakan.

Di samping anak-anak, buah prasi yang matang juga disukai oleh beberapa jenis burung pemakan buah seperti pleci dan nagi. Buahnya yang matang selalu menjadi incaran burung termasuk serangga seperti kupu-kupu.

Bukan hanya buah, hampir semua bagian pohon prasi/ lantana bermanfaat. Daunnya dimanfaatkan oleh warga untuk pakan sapi peliharaan. Pun berguna untuk kesehatan karena dipercaya dapat menyembuhkan luka memar misalnya.

Sementara itu, batang dan rantingnya yang kering dimanfaatkan oleh warga sebagai kayu bakar. Bagian percabangan batang sering digunakan sebagai gagang ketapel. Kami biasa memotong sesuai desain yang dinginkan, lalu mengupas kulit batangnya. Tinggal mendesain karet ban dalam dan mengikatnya ke batang ketapel.

Ranting-ranting pohon prasi juga menjadi idola burung-burung untuk berkembang biak terutama burung nagi. Burung yang memiliki sarang seperti kantong kangguru ini biasanya membuat tempat bertelur di antara rimbun ranting yang bergelimpangan sehingga tidak terlihat dari luar.

Ketika hobi bonsai menjangkiti masyarakat, beberapa pencinta bonsai memburunya. Akarnya dicongkel. Batang dan rantingnya yang panjang dipotong menjadi lebih pendek untuk memberi kesan kerdil.

Namun, seiring perkembangan waktu, keberadaan pohon prasi sudah tak populer lagi sekarang, terutama di kalangan anak-anak. Bahkan, dapat dikatakan tidak dikenal oleh anak-anak. Bedil-bedilan tradisional sudah tak laku lagi.

Kini muncul beragam permainan anak-anak. Permainan yang lebih canggih dan modern. Tidak perlu usaha dan kreativitas. Cukup bermodalkan uang, maka anak-anak sudah dapat memainkan bedil-bedilan (pistol) yang modern, lengkap dengan audio, kerlip lampu dan mimis yang tak lagi menggunakan buah prasi.

Akibatnya, permainan tradisional bedil-bedilan kian asing bagi anak-anak sekarang. Jangankan memainkannya, melihat tampangnya saja mungkin tidak pernah. Faktor keterasingan ini  sangat berpengaruh menciptakan jarak antara anak-anak dengan pohon prasi.

Tanpa disadari, permainan tradisional bedil-bedilan mengedukasi anak-anak bahwa betapa pentingnya menjalin kedekatan dengan alam sekitar. Dalam permainan ini, anak-anak dibentuk memiliki karakter cinta terhadap alam. Mungkin permainan ini “lebih intens”  mengajarkan anak-anak tentang pelajaran IPA atau Biologi.

Mereka langsung praktik dengan dunia nyata. Mereka tidak hanya melihat gambar-gambar, video, dan atau hanya membaca deskripsi tentang pohon prasi/ lantana. Sebaliknya, anak-anak langsung melihat, mengamati dan bersentuhan dengan pohon prasi.

Model pembelajaran tersebut mungkin jauh lebih bermakna dibandingkan dengan menghabiskan materi pada buku paket IPA atau LKS di bangku sekolah formal. Mereka hanya memiliki rasa menghapal, digantung bayang-bayang teori, dikarbit menghabiskan materi, dan diracuni dengan metode pembelajaran yang monoton.

Seringkali pembelajaran IPA melupakan sentuhan rasa alam (Biologi) pada anak-anak. Mereka hanya memiliki pengetahuan alam, tetapi tidak memiliki rasa alam. Hal ini didukung karena cakupan materi yang dipelajari jauh dari alam anak-anak. Para guru IPA sangat jumawa mengajarkan materi tentang tumbuh-tumbuhan yang tidak ada di lingkungan anak-anak.

Efeknya bisa ditebak. Anak-anak semakin jauh dengan alam yang dipelajarinya. Lalu, bagaimana kondisi ini dapat menciptakan “kedekatan”. Kedekatan yang saya maksud ialah hubungan batin antara anak-anak dengan alam sekitarnya. Karena itu, saya sangat respek dengan model permainan bedil-bedilan zaman dulu.

Apakah masih relevan diterapkan sekarang? Mungkin tidak. Akan tetapi, model permainan bedil-bedilan ini setidak-tidaknya dapat dijadikan model pembelajaran “cinta alam” bagi anak-anak, sehingga tumbuh rasa cinta terhadap lingkungan alam sekitarnya.

Hadirnya sekolah formal yang menciptakan jarak antara anak-anak dan lingkungan alam nyatanya, membuat pohon prasi semakin kabur dari peta ingatan anak-anak NP sekarang. Kasus ini diperkuat oleh hegomoni bedil-bedilan modern yang menjajah selera anak-anak sekarang. Artinya,  alam prasi (baca: pohon prasi) akan lenyap dari peta lingkungan alam anak-anak NP ke depan.

Cara pandang tersebut jelas akan mengancam eksistensi prasi dari alam kenyataan. Buntutnya, prasi tidak dianggap menjadi bagian lingkungan alam NP. Nasib pahit ini mungkin sudah diprediksi sebelumnya.

Karena itulah, muncul nama Prasi di dekat kampung saya. Nama dari salah satu sumber mata air yang ada di NP. Mata airnya masih mengalir hingga kini. Saya tidak tahu persis apakah nama itu sengaja digunakan untuk mengabadikan pohon prasi. Atau jangan-jangan nama Prasi memang terinspirasi oleh keberadaan pohon prasi yang melimpah di sekitarnya pada zaman dulu.

Semuanya masih kabur. Mirip mungkin dengan kaburnya nasib pohon prasi dari alam pikiran anak-anak nantinya. Namun, kita berharap jejak kisahnya tidak sampai dikaburkan begitu saja. Semoga warna-warni kisah pohon prasi di NP tetap abadi mengalir pada ceruk dan derasnya mata air Prasi.

Minggu, 23 Januari 2022

 

Mobil dan Jalan di Nusa Penida. Foto:www.youtube.com


Perilaku sopir di Nusa Penida (NP) sudah lama mendapat sorotan miring baik oleh masyarakat nyata maupun dari para nitizen. Sorotan ini terutama dialamatkan kepada beberapa sopir pariwisata yang terlibat “lomba ngebut “ di jalanan. Konon, aksi ngebut ini dilatarbelakangi oleh satu alasan klasik yaitu “mengejar waktu”. Para sopir takut jika waktu pemberangkatan fast boat (yang dibooking tamu) melewati ambang batas.  

Karena itu, ngebut dianggap sebagai solusi. Para sopir pariwisata tancap gas, melaju secepat mungkin—melewati kelok demi kelokan jalan yang cukup sempit di NP. Di atas jalan yang cukup mulus, mereka memacu kendaraannya dan sering melupakan pengguna jalan yang lain.

Kasus penyerempetan bahkan berujung kecelakaan pada pengguna jalan lain, tidak ampuh mengingatkan para sopir meminalisasikan perilaku ngebutnya. Entah kenapa, ketika membawa tamu, pikiran sopir kembali ke pola semula. Ngebut dan tidak ingin ketinggalan waktu.

Para sopir tak mampu melawan egonya. Mereka tunduk dengan kepentingan pribadinya. Sementara, kepentingan orang lain tak sempat mereka pikirkan. Karena itu, jalanan menjadi rasa kavling. Ketika mengantar (balik) tamu ke pelabuhan, jalanan menjadi kuasa para sopir pariwisata. Mereka melaju, menyalip paksa dan bahkan tak jarang mengambil badan jalan jalur lawan arah (keluar lintasan).

Sopir Masa Lalu

Citra “sopir ngebut” di NP bukan muncul ketika pariwisata melejit seperti sekarang. Dari dulu, predikat ini sudah melekat pada sopir di NP. Image ini tidak hanya dilontarkan oleh masyarakat lokal, tetapi justru lebih kuat dihembuskan oleh masyarakat Bali daratan.

Ketika berbicara tentang sopir di NP, mereka pasti teringat satu kata yaitu “ngebut”. Seolah-olah sudah menjadi ikonik. Imbasnya, semua sopir di NP dianggap memiliki perilaku yang sama yakni suka ngebut. Padahal, sejatinya tidak demikian.

Klaim “sopir ngebut” ini bermula dari pengalaman langsung. Banyak masyarakat luar (Bali seberang), yang menjadi penumpang, mengalami langsung ketika melakukan perjalanan di NP zaman dulu. Kebanyakan yang merasakan adalah penumpang yang pernah melakukan tirta yatra ke NP. Zaman itu, transportasi darat (angkutan umum) dikuasai oleh mobil colt semi terbuka—mirip angkutan umum pedesaan era 1980-an di Bali pada umumnya.

Bagian atasnya, tertutup oleh atap yang menjulur sepanjang bodi mobil. Kiri-kanannya juga tertutup rapat. Di sela-selanya, terdapat beberapa kaca jendela kecil yang tansparan. Dari kaca inilah, penumpang dapat melihat view sepanjang perjalanan.

Sementara, di belakangnya terbuka tanpa pintu. Hanya ada penghalang kiri-kanan pada bagian bawah tegak lurus dengan jok penumpang—sebagai penghalang bodi penumpang atau barang terutama ketika berada di tanjakan. Tidak ada AC. Namun, angin dapat leluasa masuk dari belakang atau sela-sela kaca jendela yang dibuka pada pinggir kiri-kanan mobil.

Model mobil inilah yang digunakan untuk mengantar para pemedek berkeliling di NP zaman dulu. Para sopir membawa penumpang—melaju dengan kecepatan tinggi di atas jalan aspal yang kasar, sempit dan bergelombang (tidak rata). Dengan genjotan yang kurang elastis, maka penumpang tidak hanya merasakan sensasi kecepatan tetapi sensasi lompat-lompat dan rasa mirip terbang (lepas landas).

Wajar saja, para penumpang merasakan “ngeri-ngeri sedap”. Pasalnya, adonan sensasi itu dianggap sangat berisiko—meskipun dikendalikan oleh sopir yang cakap. Sayangnya, para sopir kurang memahami adonan sensasi ngeri-ngeri sedap tersebut.

Atau jangan-jangan para sopir sebetulnya menyadari persoalan ini. Namun, mereka menyimpan dengan rapi dalam balutan kepentingan pribadi. Jika para sopir pariwisata (sekarang) berdalih dikejar waktu (jadwal) pemberangkatan fast boat, lalu apa dalih para sopir dulu untuk melakukan tindakan ngebut?

Pertanyaan ini penting diajukan mengingat rombongan pemedek (dulu) tidak bisa one day trip. Mereka harus menginap (mekemit) di pura, minimal satu malam. Keesokan paginya, baru mereka bisa menyeberang dengan jukung (perahu tradisional). Lalu, mengapa sopir harus ngebut? Ingin diajum (dipuji) sebagai sopir andal dan cakap?

Ah, tentu tidak sebanding dengan risiko dari tindakan ngebut tersebut. Untuk menguak misteri ini, kebetulan saya pernah mengajak rombongan satu kantor melakukan tirta yatra di seputaran NP tahun 2000-an. Trayek pura yang kami sasar yaitu Pura Puncak Mundi, Goa Giri Putri dan Dalem Ped.

Pura pertama yang kami sasar ialah Pura Puncak Mundi. Turun dari pelabuhan, mobil yang kami tumpangi langsung melaju kencang menuju Puncak Mundi. Sesekali diwarnai dengan teriak-teriakan ekspresi ketakutan pada lintasan medan tertentu. Syukurnya, kami selamat sampai tempat tujuan. Seperti biasa, kami melakukan persembahyangan dan berpikir sopir kami menunggu dengan sabar di area parkir.

Karena itu, ketika selesai sembahyang, kami bergegas menuju parkir-an. Berharap mobil carteran kami parkir di situ. Ternyata tidak ada. Kami mencoba memfokuskan pandangan di antara kerumunan sopir di area parkir. Pun tidak ada. Kondisi ini berlangsung kurang lebih setengah jam lebih. Namun, kami tetap bersabar.

Sekitar hampir 50 menitan, muncullah mobil yang kami tumpangi. Kami langsung naik ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan menuju pura kedua yaitu Pura Goa Giri Putri. Pura yang letaknya di dalam goa raksasa. Untuk mencapai pura ini, kami harus menaiki beberapa anak tangga, melewati mulut goa yang sempit—kemudian disambut kelebat sayap kelelewar dan formasi lampu-lampu yang estetik.

Kami melakukan persembahan dengan khusuk dari satu pelinggih ke pelinggih yang lainnya hingga ujung goa yakni pelinggih Dewi Kwan Im. Persembahyang usai. Kami bergegas menuruni tangga keluar, hendak melanjutkan ke pura Dalem Ped. Namun, apa daya. Kami harus mencari-cari hingga berjam-jam mobil yang kami tumpangi—tetapi tidak ada di area parkir.

Akhirnya, kami arahkan pandangan ke arah laut luas. Kami tetap sabar menunggu sambil membeli minuman dan jajan di sekitar area parkir. Semula pikiran kami positif saja, walaupun kami merasa ditelantarkan. Namun, obrolan segelintir sopir yang lainnya, membangunkan pikiran negatif kami.

Tak sengaja, saya mendengar obrolan sopir dalam dialek Nusa. Mereka membicarakan soal rombongan yang mereka antar. Poinnya, dalam satu hari mereka dapat membawa lebih dari satu rombongan. Dari sinilah, kami baru menyadari bahwa kami termasuk dalam target kasus yang dibicarakan itu.

Belum bulat kami menegatifkan pikiran, datanglah sopir kami dengan laju cepat dan tergesa-gesa. Kami enggan bertanya. Kami langsung naik dan meluncur menuju pura Dalem Ped.

Sambil menahan goncangan dalam mobil, saya berpikir. “Inikah motif di balik kebut-kebutan sopir di NP?” gumamku. Mereka memaksimalkan waktu dengan cara mengambil lebih dari satu rombongan. Cara ini memang terkesan merugikan atau menelantarkan klien (penumpang). Namun, jika hanya mengantar satu rombongan mungkin mereka merasa rugi.

Banyak waktu tersisa jika hanya menunggu dan mengantar dengan taat satu rombongan saja. Menunggu pemedek sembahyang berjam-jam, dapat diisi dengan mengantar rombongan lain. Ya, karena jarak antara pura satu dengan lainnya tidak begitu jauh. Mungkin begitu hitung-hitungan para sopir.

Sebaliknya, pemedek/ penumpang jelas merasa dirugikan. Pasalnya, mereka merasa mencarter mobil tersebut. Namun, kenyataannya mereka diperlakukan seperti penumpang biasa. Ditaruh di tempat tujuan, kemudian para sopir yang memiliki peluang “mendua” menjemput rombongan lain.

Wajar saja, para sopir bermain di zona kebut-kebutan. Mereka berusaha meringkas perjalanan sesingkat atau secepat mungkin guna mendapatkan rombongan lain, terutama ketika musim pemedek ramai.

Ngebut Beda Motif

Hingga sekarang, kebiasaan ngebut dari para sopir di NP masih berlanjut. Alasannya sama yaitu “mengejar waktu” atau “meringkas perjalanan” (karena waktu tidak bisa dikejar). Namun, varian motifnya berbeda. Jika sopir pemedek (dulu) melakukan tindakan ngebut untuk meringkas perjalanan agar dapat “mendua”, maka sopir pariwisata (sekarang) berdalih agar para kliennya tidak ketinggalan fast boat yang sudah dipesannya.

Para sopir pariwisata tentu tidak bisa mendua, karena mereka dikunci oleh sistem one day trip. Bagaimana caranya dapat mengantar tamu ke objek wisata, lalu balik ke pelabuhan sesuai dengan jadwal keberangkatan fast boat ke Bali seberang dalam waktu sehari.

Itulah tantangan kekinian para sopir pariwisata di NP sekarang. Tantangan ini harus disikapi dengan bijak dan mandiri untuk kelancaran perjalanan. Tentu tidak mudah memang, karena ada sejumlah persoalan yang mengganjal di lapangan.

Pertama, akses jalan. Meskipun jalanan sudah divermak menjadi lebih mulus sekarang, tetapi masih terganjal pada persoalan lebar jalan. Dengan lebar jalan rata-rata kurang lebih 4 m, maka papasan dua mobil tidak terjadi dengan mulus. Harus terjadi penurunan gas kecepatan ke titik rendah dengan memanfaatkan pinggir terluar medan jalan.

Kedua, rata-rata medan ke objek wisata curam dan terjal. Diperlukan waktu ekstra untuk menjangkau objek wisata dan balik ke titik parkir mobil. Ini belum terhitung waktu enjoy tamu untuk menikmati panorama di lokasi.

Ketiga, karakter tamu yang kurang konsisten. Ada beberapa tamu yang tidak disiplin dengan waktu yang sudah disepakati dengan sopir. Ya, mungkin karena terlalu keasyikan menikmati objek wisata sehingga lupa dengan waktu yang sudah disepakati dengan para sopir.

Keempat, jumlah mobil yang beroperasi cenderung mengalami peningkatan. Jumlah ini tidak hanya menaikkan tensi kompetisi, tetapi berpengaruh terhadap kelancaran arus lalu lintas di jalanan.

Jika kompleksitas kendala lapangan tersebut tidak diminalisasikan, maka para sopir pariwisata tetap saja terjebak dalam lingkaran ngebut yang tak berujung. Ngebut akan dianggap sebagai sebuah solusi. Bahkan, satu-satunya solusi nanti.

Ke depan, tentu berbahaya. Ngebut tidak saja membahayakan penumpang, sopir dan terutama pengguna jalan lain. Karena itu, sistem one day trip mungkin sebaiknya dikurangi. Setidaknya, para tamu dapat menginap minimal semalam agar perjalanan bertamasya tidak uber-uberan (terburu-buru).

Ujung-ujungnya pasti berkaitan dengan biaya. Banyak tamu hendak berkunjung ke NP dengan biaya terbatas. Jika menginap, tentu costnya lebih besar. Namun, jika dibandingkan dengan harga keselamatan, sebetulnya tidak menjadi persoalan. Akan tetapi, semua pilihan itu sepenuhnya tergantung kepada pengunjung itu sendiri.

Pengusaha fast boat banyak. Pilihan jadwal trip fast boat banyak. Pengusaha transportasi darat juga merebak di  NP. Kondisi ini menyebabkan pengunjung bebas keluar masuk dari dan ke NP sesuai kemauannya. Kecuali, ada kesepakan (MOU) yang bersifat simbiosis mutualisme antara pengusaha boat, pengusaha transportasi dan pengusaha penginapan.

Itu pun jika pihak yang bersangkutan memiliki visioner yang sama. Visi yang berkaitan dengan kepuasan, kenyamanan, dan keselamatan pengunjung. Modal ini akan menjadi nyawa keberlangsungan pariwisata di NP. Artinya, ngebut dalam jangka panjang akan menurunkan citra pariwisata di NP.

Dalam konteks inilah, isu jalan melingkar di sepanjang pesisir pulau NP menjadi ide visioner. Ide untuk mengurangi kemacetan dan meningkatkan kelancaran arus lalu lintas di NP. Realisasinya sangat didambakan oleh semua masyarakat NP, terutama kalangan sopir pariwisata. Mungkin saja jalan melingkar itu akan mengeluarkan para sopir pariwisata dari lingkaran ngebut di NP. Atau bisa jadi malah memicu sopir bertambah ngebut. Biarkan waktu yang membuktikannya nanti! 

Sabtu, 22 Januari 2022

 

Kerusakan Akibat Banjir di NP. Foto: Pak Apel

Pada tanggal 13 Desember 2021, banjir besar melanda Pulau Nusa Penida (NP). Banjir menerjang 6 desa pesisir di antaranya, Desa Suasana, Batununggul, Kutampi Kaler, Ped, Kampung Toyapakeh dan Desa Sakti. Hampir sepanjang (tubuh) pesisir utara Pulau NP mengalami rusak berat. Padahal, durasi hujan deras di daerah perbukitan hanya mencapai kurang lebih 4-5 jam. Namun, kiriman airnya mampu mencetak rekor spektakuler yakni banjir terparah sepanjang sejarah di NP.

Kok bisa, ya? Adakah berhubungan dengan ruang air (sungai mati) di NP saat ini? Ruang yang luput dari perhatian semenjak pariwisata bertahta di NP selama rentang 5-6 tahun terakhir. Betulkah laju “ekspansi” ruang pariwisata kian membatasi ruang air (sungai) di NP?

Fenomena banjir kali ini menarik untuk dibahas, bukan karena NP tidak pernah mengalami banjir sebelumnya. Ketika musim hujan, wilayah NP sering diguyur hujan deras bahkan seharian. Akan tetapi, tidak sampai menimbulkan banjir yang parah. Terakhir, 25 tahun yang lalu, banjir besar pernah melanda Pulau NP. Meski dilanda hujan deras selama lebih dari sehari, tetapi dampaknya tidak separah banjir sekarang yang hanya berdurasi 4 jam-an.

Beberapa rumah warga, tanggul air, jembatan dan termasuk beberapa titik badan jalan utama di pesisir menjadi jebol. Akibatnya, lalu lintas daerah pesisir menjadi terganggu. Kasus ini pun langsung mendapat sorotan dan respon cepat dari Pemda Klungkung. Proyek perbaikan jembatan dan badan jalan di daerah pesisir langsung dikebut.

Sebagai jalan utama, jalan-jalan pesisir NP memang tidak elok dibiarkan terbengkalai lama. Di samping berperan penting sebagai penghubung lintas desa, jalan-jalan pesisir utara juga menjadi akses utama pintu keluar masuk (penyeberangan) dari dan ke Nusa Penida. Pasalnya, jalan pesisir utara berkolerasi dengan titik-titik pelabuhan transportasi laut yang strategis di NP.

Jika akses ini terganggu, dipastikan akan menghambat aktivitas penyeberangan. Arahnya merembes pada citra pulau NP sebagai destinasi pariwisata. Ya, karena label pariwisata sangat sensitif dengan fasilitas yang menjadi daya dukungnya.

Banjir terparah di NP abad ini tidak hanya membuat masyarakat NP tercengang, termasuk masyarakat luar. Mereka tercengang setelah melihat dokumentasi banjir ini lewat panggung-panggung medsos. Momen-momen banjir itu tersebar begitu cepat dan berantai baik dalam bentuk deskripsi foto, video, teks dan lain sebagainya

Dampaknya, bukan hanya mengundang rasa prihatin, tetapi banjir parah kali ini juga mengundang pertanyaan yang “menganga” pada setiap insan. Bagaimana tidak? Pasca kebanjiran tamu, kini NP kebanjiran air bah yang parah sekarang?

Dugaan Penyebab

Spekulasi atas jawaban ini berseliweran. Banyak orang menduga bahwa faktor penyebabnya berkaitan dengan perilaku minus masyarakat terhadap sampah, terutama sampah plastik. Meskipun beberapa komunitas masyarakat peduli lingkungan (di NP) sudah melakukan aksi bersih-bersih sampah secara sporadis, rupanya gerakan ini baru berhasil pada tataran bersih fisik saja. Belum mampu “berbuah kesadaran” kepada masyarakat.

Banyak masyarakat belum tersentuh betapa sampah plastik sangat berbahaya. Tidak hanya mencemari lingkungan, sampah plastik juga dapat menjadi malapetaka ketika hujan deras melanda. Pencapaian “buah kesadaran” ini memang tidak mudah. Di daerah-daerah perkotaan sekali pun, masalah sampah plastik masih menjadi persoalan klasik hingga sekarang.

Di samping sampah plastik, beberapa media melaporkan bahwa dugaan kuat bersumber dari ruang air di NP. Dari pantauan pemerintah, ditemukan minus besar terhadap jalan air (sungai) di NP. Ada pendangkalan di beberapa hulu sungai di NP.

Salah satu penyebabnya ialah karena timbunan material. Tinjauan sementara, pemda Klungkung menemukan sejumlah material pada hulu sungai di NP. Di duga, beberapa pihak yang membangun membuang materialnya ke sungai tadah hujan yang ada di NP.

Temuan tersebut jelas tidak mengada-ada. Sangat rasional. Selama 5-6 tahun belakangan, ruang pariwisata semakin meluas di NP. Pembangunan akomodasi pariwisata seolah-olah tak terbendung. Dari pesisir hingga perbukitan Pulau NP, bertumbuh bangunan-bangunan baru. Keberadaan penginapan, rumah makan (restoran) dan fasilitas lainnya bertambah setiap harinya.

Bukan hanya kuantitasnya yang terus mengalami peningkatan, laju pembangunan akomodasi ini juga sering tak memedulikan lingkungan alam sekitar. Demi mempertahankan view dan keluasan ruang akomodasi, kadang-kadang pembangunan sampai merampas hak jalan air.

Selain pendangkalan, juga terjadi kasus penyempitan sungai. Mungkin tidak disadari, tetapi laju ruang pariwisata tidak bisa membohongi. Pembangunan akomodasi bertambah luas, sedangkan badan sungai mengalami penyempitan.

Dari sinilah, utak-atik ruang mulai dipermainkan. Semangat mabuk membangun melupakan hak-hak lingkungan. Namun, alam tak pernah melakukan perlawanan apalagi turun ke jalanan. Alam hanya memilih diam, sambil menunggu kepedulian dari pihak berwenang atau masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya. Kalau toh tidak ada yang peduli, alam memiliki caranya sendiri. Ia akan melawan dengan kekuatan dewanya. Alam tak peduli regulasi. Tak perlu petantang-petenteng.

Alam adalah silent power. Kekuatannya melebihi massa manusia di mana pun. Sayangnya, manusia tetap saja meremehkan alam. Libido meraup dolar lebih penting daripada membiarkan keleluasaan jalan air (alam) kepada sungai. Ya, karena memang tidak memberikan keuntungan. Sebaliknya, merugikan pihak pebisnis akomodasi pariwisata.

Mungkin ini bukan cerita baru. Ketika ruang pariwisata berkuasa, arogansi materi dan hedonis saling bertumbuh. Kompetisi egoisme meraup untung materi sangat ketat. Para pelaku pariwisata saling sikut untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Lalu, keuntungan alam kemana? Siapa yang peduli?

Ah, boro-boro peduli. Justru, orang sering berlomba-lomba mengekploitasi alam untuk mendukung berhala pariwisata. Alam dipermak untuk memenuhi hasrat pelaku dan tamu wisata. Kita berharap lomba eksploitasi alam ini tidak terjadi pada pengembangan ruang pariwisata selanjutnya di NP.

Banjir terparah di NP tahun ini cukup dijadikan alarm. Alarm betapa ruang air harus menjadi perhatian bersama. Semangat membangun bak air bah, jangan sampai tidak memperhatikan jalan air bah. Kalau tidak, maka apa yang dibangun bisa saja “bah” (roboh) diterjang air bah.

Karena itu, kedua ruang (pariwisata dan ruang air) mesti berjalan harmonis. Pembangungan ruang pariwisata bertumbuh, tetapi tetap memberikan ruang sewajarnya pada ruang sungai—sehingga kedua hasrat (manusia dan alam) berjalan sesuai porsinya masing-masing. Dari keadilan inilah kita berharap perdamaian dengan alam.

Jika tak mempedulikan jalan air, jalan perdamaian dengan alam  akan semakin sulit diraih. Tidak hanya dampak perlawanan alam, citra pariwisata NP akan menjadi kurang baik. Apa jadinya jika destinasi pariwisata rawan banjir. Pasti akan mencoreng rasa aman para pengunjung. Padahal, konon rasa aman menjadi taruhan mendasar untuk menarik pelancong berkunjung ke suatu daerah.

Hal ini berarti bahwa pembangunan ruang wisata yang memperhatikan ruang air (alam) memiliki keuntungan ganda. Di samping menyelamatkan aset materi pebisnis, juga menyelamatkan kelangsung hidup pariwisata. Jika tak rawan banjir, pengunjung menjadi tertarik dan nyaman berkunjung ke NP. Yang untung bukan diri sendiri, tetapi semua pelaku pariwisata yang ada di NP.

Sebaliknya, jika mengabaikan ruang air dan menyebabkan rawan banjir—maka tindakan segelintir oknum ini berdampak kerugian kolektif kepada semua pelaku pariwisata di NP. Pengunjung merasa tidak tertarik untuk berkunjung ke NP. Buntutnya, pariwisata NP tidak bisa bertahan lama ke depannya.

Karena itu, alangkah baiknya jika tata ruang pariwisata NP selalu memperhatikan ruang alam (sungai). Masyarakat yang membangun (terutama di sekitaran sungai) agar selalu menyediakan ruang air sewajarnya. Kesadaran ini mungkin akan semakin kuat jika didukung oleh payung regulasi yang jelas.

Tidak mudah memang. Keberadaan sungai tadah hujan di NP cukup sulit dipetakan. Lintasannya tidak terbaca dengan jelas. Seringkali, tubuh sungai itu merupakan ladang milik warga, yang sudah memiliki sertifikat yang sah secara hukum. Para warga menanami palawija pada musim hujan. Jika hujan deras, tanaman itu dipastikan tergerus air sungai.

Berbeda dengan sungai yang terus dialiri air. Lintasan sungai itu sudah tampak jelas. Jadi, lekuk badan sungai tak perlu dipertanyakan lagi. Akan tetapi, sungai di NP sedikit abal-abal. Beberapa lintasan air memang melintasan ladang warga. Ketika hujan deras, baru kelihatan dengan jelas lintasan air hujan tersebut. Artinya, saat musim panas atau hujan biasa, menjadi kuasa manusia. Sedangkan, saat hujan deras menjadi kuasa air.

Untuk kepastian ilmiah, mungkin penting adanya tim khusus yang turun ke lapangan meretas banjir parah kali ini. Tim ini bertugas mengkaji, menganalisis dan berupaya menemukan solusi. Dalam menjalankan tugasnya, bisa bersinergi dengan semua elemen masyarakat guna mendapatkan hasil yang optimal.

Temuan kajian tersebut selanjutnya menunggu implementasi konkret di lapangan sehingga ke depan banjir dapat diminalisasikan. Lebih tinggi, dapat diantisipasi atau dicegah sejak dini. Tentu tidak gampang. Dibutuhkan waktu, biaya dan pemikiran dari semua pihak (baik secara individu maupun kolektif)—bukan hanya dari pihak pemerintah termasuk swasta, pakar lingkungan, masyarakat dan lain sebagainya.

Eksekusi research ini sangat urgen, tetapi sekarang lebih mendesak pertolongan nyata kepada warga yang terdampak di NP. Saat ini, masyarakat sangat membutuhkan tindakan sosial, kemanusiaan dan atau tindakan psikologis untuk bisa bangkit kembali.

Namun, sambil menunggu pulih, tidak ada salahnya tim pengkaji bergerilya ke lapangan untuk mendapatkan data-data ilmiah dan menganalisisnya. Apa pun temuannya nanti sangat berharga menjadi semacam instrospeksi diri bagi masyarakat  NP. Introspeksi untuk berdamai dengan ruang air (alam) sehingga ke depan banjir parah tidak terulang kembali di NP.

Kamis, 30 Desember 2021

 

Dermaga Banjar Nyuh. Foto: Ketut Serawan


Jika Anda masih SD pada awal tahun 90-an di Nusa Penida, pasti tidak lupa dengan isu teror dagang punggalan. Dagang punggalan adalah spesialis tukang penggal kepala anak kecil tetapi berkedok menjadi pedagang. Konon, kepala ini akan dijual kepada pemborong proyek untuk memperkuat bangunan dermaga yang sedang dibangun.

Dalam menjalankan aksinya, mereka memanggul karung (kaping). Karung ini berisi barang dagangan, seperti sarung/ kamen, baju dan lain sebagainya. Ia menjajakan barang dagangan itu door to door (ke rumah-rumah warga). Mereka sangat ramah pada setiap penduduk lokal.

Namun, Anda jangan terkecoh. Jika mereka menjumpai anak kecil keluar seorang diri, di jalan sunyi—maka cerita akan berubah. Ia akan memenggal kepala si anak, lalu memasukkan ke dalam karung.

Kepala itulah yang akan dijual kepada pemborong proyek dermaga. Kemudian, pemborong proyek akan menamamnya (pakelem) di dasar laut, pada salah satu pilar dermaga Banjar Nyuh yang memang sedang proses penggarapan waktu itu. Lewat ritual mengubur kepala itu, bangunan dermaga konon akan menjadi lebih kukuh, kuat dan tahan lama.

Entah siapa yang pertama kali menghembuskannya. Isu teror dagang punggalan ini bak virus, menyebar begitu cepat dan meluas di kalangan para warga. Padahal, waktu itu belum ada HP android (tidak ada medsos). Akan tetapi, isu tersebut merembes tak terbendung ke telinga para orang tua, remaja hingga ke telinga anak-anak.

Terang saja membuat anak-anak menjadi ngeri termasuk saya. Waktu itu, kira-kira saya duduk di bangku kelas 5 SD. Setiap hendak pergi sekolah, terasa ada yang mengganjal kaki saya. Kengerian tiba-tiba saja melintas di kepala. Saya membayangkan dagang punggalan itu menghadang kami di tengah jalan setapak. Lalu, ia menghunus pedang.

Selanjutnya, ia memenggal kepala kami mirip aksi pembunuh darah dingin dalam sandiwara radio yang kami dengar lewat radio 2 band. Seiring perjalanan waktu, kisah (peristiwa) fiktif sandiwara radio itu seolah-olah menjadi kenyataan. Ketakutan bermula dari indera telinga, merembes ke saraf-saraf otak, dan akhirnya memompa jantung kami.

Detaknya kencang tak beraturan. Detak ketakutan yang hanya bisa dipahami oleh anak-anak seusia kami. Detak ketakutan ini awalnya imajinasi. Selanjutnya, melompat keluar menjadi realitas. Akibatnya, tidur kami menjadi terganggu. Kadang ia menjelma menjadi mimpi menyeramkan dalam tidur kami. Sering pula, menjelma igauan-igauan yang tidak kami sadari.

Tidak hanya ketika berangkat sekolah, momen pulang sekolah lebih mengerikan lagi. Konon, waktu paling rawan kasus pemenggalan itu ialah siang bolong. Entah apa yang mendasarinya. Mungkin, pagi jalanan masih ramai oleh lalu lalang orang untuk beraktivitas. Akan tetapi, siang hari, sepulang sekolah, jalan setapak yang kami lalui sangat sepi.

Sepinya terasa karena jalan setapak membelah ladang-ladang warga. Pun sesekali melintasi bataran-bataran ladang warga. Sementara, kiri-kanan jalan tumbuh pepohonan seperti gamal, bunut, bila, dan mangga. Disela-selanya, tumbuh pula pohon prasi, padang merdeka, bekul, kom, dan jambu monyet.

Beda lagi kalau memasuki musim hujan, tumbuhan jagung akan mendominasi. Tumbuhan penghasil makanan pokok ini tumbuh memenuhi ladang-ladang warga. Jika besarnya setinggi tubuh orang dewasa—maka jalanan dikerumuni pohon jagung. Efeknya, beberapa bagian tubuh jalan akan menghilang ditelan keramaian dan ketinggian pohon jagung tersebut.

Situasi itu semakin menguatkan rasa sepi kami. Di tambah keberadaan rumah warga yang terpencar tak beraturan. Maklum, kami tidak tinggal di jumah desa (pusat desa) tetapi di mel (di sekitar ladang-ladang warga). Jadi, rumah warga masih sangat jarang dan jauh dari jalan setapak utama yang kami lalui.

Siang hari, jalanan seperti mati. Ia akan menggeliat ketika kami pulang dari sekolah. Sementara, para orang tua sibuk dengan rutinitas bertani di ladang masing-masing. Mereka menunggu senja untuk kembali ke rumah.

Karena itu, ketakutan lebih kuat kami rasakan ketika pulang dari sekolah. Untuk mengantisipasinya, kami mengubah strategi pulang dan termasuk ketika berangkat ke sekolah. Awalnya, kami terbagi menjadi beberapa kelompok pejalan kaki. Namun, semenjak isu dagang punggalan itu merebak, kami lebur menjadi satu rombongan. Kami berjalan bersamaan, memenuhi jalanan, sambil mata kami waspada.

Waspada jika sewaktu-waktu dagang punggalan itu muncul di hadapan kami dan menghunus pedang. Apa yang bisa kami lakukan? Mengeroyoknya dengan tangan kosong? Ah, tidak mungkin. Atau melemparinya dengan hujan batu?

Ya, semua teman kami sepakat membawa pecah-pecahan batu kapur (segenggam) yang melimpah di sepanjang jalan. Jika benar ada dagang punggalan menghadang kami, setidak-setidaknya kami bisa bersatu melawan mereka, seperti para pejuang mengusir penjajah Belanda, yang kami baca dalam buku PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa).

Namun, sekuat-kuatnya kami memeram ketakutan, kami tetaplah anak-anak. Tidak bisa membendung rasa takut itu. Akhirnya, suatu hari kami diantar oleh orang dewasa. Dia ialah paman saya. Ia mengantar kami pergi sekolah. Pun mendampingi kami ketika pulang sekolah.

Sebetulnya, jarak antara rumah ke sekolah tidak begitu jauh. Bisa ditempuh kurang lebih 30 menit dengan menyusuri jalan setapak. Zaman itu, waktu tempuh di bawah satu jam-an tergolong sangat dekat. Saya dan kawan-kawan termasuk generasi beruntung. Bisa mengenyam pendidikan formal dengan jarak sekolah yang sangat dekat.

Sebelumnya, orang-orang di kampung saya pergi ke sekolah dengan menghabiskan waktu hingga berjam-jam karena harus melewati bukit, sungai dan lembah. Sebab keberadaan sekolah (SD) sangat jarang. Faktor ini pula yang menyebabkan orang-orang menjadi malas sekolah—di samping karena faktor ekonomi dan lingkungan. Akibatnya, banyak orang di kampung saya tidak sekolah dan putus sekolah.

Pada penghujung tahun 70-an, pembangunan gedung-gedung Inpres (terutama) SD di kampung saya mulai menjamur. Zaman ketika pemerintah Soeharto sedang berkuasa. Mungkin karena gencarnya pembangunan Inpres masuk desa ini pula yang menyebabkan Presiden Soeharto mendapat predikat sebagai bapak Pembangunan.

Selain itu, Soeharto juga dikenal dunia dengan predikat “The Smiling General” (Sang Jenderal yang Tersenyum). Senyumnya yang khas ini sesekali kami tonton lewat Dunia Dalam Berita atau acara Klompencapir (semacam cerdas cermat untuk petani berprestasi) di TVRI. Satu-satunya saluran televisi yang ada waktu itu.

Betapa senangnya kami menonton senyum beliau lewat TV milik tetangga sebelah. Di balik layar hitam putih, senyumnya terlihat begitu berwibawa dan meneduhkan. Sayangnya, kadangkala senyum itu tidak sempurna terlihat pada layar televisi. Tiba-tiba layar TV mengecil. Bagian kiri-kanan dan atas-bawah layar keluar garis hitam. Pelan tapi pasti, garis hitam itu mengepung sisa layar putih (ditengah)—yang tak sempurna menampilkan gambar. Buntutnya, layar TV total menjadi hitam. Itulah pertanda aki TV sempurna mati.

Meskipun senyum khas itu menguasai TVRI, powernya tidak sampai ke batin kami. Batin kami ketakutan. Karena itu, kami harus diantar-jemput bersekolah oleh paman. Padahal, sebelumnya kami berangkat ke dan pulang dari sekolah secara mandiri. Tidak ada keluarga yang menjemput apalagi mengawal kami.

Namun, ketika proyek penggarapan dermaga di Banjar Nyuh, yang jaraknya kurang lebih 1,5 km dari kampung kami, keadaan menjadi kurang aman. Hari-hari kami menjadi penuh ketakutan. Mirip mungkin dengan suasana Gestok (Gestapu tahun 1965).

Konon, harga kepala tidak berharga waktu itu. Orang-orang bisa saja memenggal kepala orang (PKI) kapan dan di manapun—tanpa rasa kemanusiaan dan tanpa proses hukum. Orang PKI adalah manusia haram/ terlarang. Tak pantas eksis di permukaan bumi. Mereka harus dihabisi sampai ke akar-akarnya.  

“Sadis sekali!” Itulah kalimat terakhir yang biasa diucapkan oleh kakek saya ketika menceritakan peristiwa berdarah itu. Sambil mengusap-usap bagian leher belakangnya, ia seperti merinding membayangkan tragedi penggal kepala itu. Tragedi politik yang konon (justru) memuluskan Soeharto naik menjadi presiden hingga mencapai waktu kurang lebih 32 tahun (1967-1998).

Lalu, apa dosa kami, anak-anak kecil? Apakah kami termasuk anak-anak “terlarang”? Dilarang bertumbuh kembang seperti yang dituduhkan kepada orang-orang PKI? Entahlah.

Yang jelas peristiwa menakut-nakuti dan sadisme sejak momen G30S PKI sukses membawa Soeharto bertahan kurang lebih 6 periode menjadi presiden RI—tanpa kritik, tanpa saingan dan tanpa perlawanan. Jika ada riak kritik dari masyarakat, cukup menuduhkan cap PKI— maka hitungan jam bisa lenyap tanpa jejak.

Jadi, referensi PKI zaman Orba bukan lagi mengacu kepada partisan (orang) atau simpatisan partai PKI. PKI adalah semua orang yang hendak mengkritisi pemerintah rezim Orba. PKI adalah makhluk yang diciptakan rezim Orba untuk melegalisasikan tindakan pemerintah dalam meniadakan pengkritik (oposisi). Tujuanya sangat jelas yakni menjaga kelanggengan untuk berkuasa.

Teror dan Karakter Penakut

Adakah dalam teror dagang punggalan kami sedang disiapkan untuk menjadi generasi penakut? Mungkin saja. Bisa jadi kami hendak disiapkan menjadi generasi berkarakter patuh dan tunduk. Kami disiapkan untuk selalu hormat dan menyanjung apa pun kebijakan penguasa. Karena penguasa adalah raja, titisan dewa. Dialah penguasa kebenaran yang tak membutuhkan celah pengingkaran/ kritik.

Begitulah mungkin cara rezim Orba melanggengkan kekuasaan. Sejak kecil, kami dididik secara sistematis menjadi penakut. Sejujurnya, ada niat kami untuk melihat pembangunan dermaga dari jarak yang dekat, tetapi kami tidak punya nyali. Kami hanya berani melihat dari kejauhan, di titik lereng Abasan, tempat kami menyabit rumput untuk sapi peliharaan kami.

Samar-samar kami melihat seperti ada gerakan menghantam besi ke bawah laut. Suaranya terdengar hingga radius 1,5 km. Sambil menyabit rumput, kami mendengar suara pukulan besi itu seperti menghantam jantung kami. Lalu, imajinasi kami liar. “Adakah dalam hantaman suara itu terkubur kepala anak kecil?”

Tanya ini terus menganga hingga kami remaja. Pada tahun 1992, tersiar kabar dermaga Banjar Nyuh diresmikan. Waktu itu, kami baru menginjak SMP kelas 1 di SMPN 2 Nusa Penida. Sekolah ini hanya berjarak beberapa meter dari jembatan.

Peresmian dermaga Banjar Nyuh menjadi kebanggaan masyarakat Nusa Penida. Karena dianggap sebagai tonggak kemajuan (modernisasi) transportasi laut pulau Nusa Penida, guna meretas ketertinggalan Nusa Penida sebagai wilayah kepulauan.

Nyatanya, hingga kami tamat SMP dan melanjutkan SMA ke Klungkung daratan (tahun 1995), jembatan itu tidak difungsikan untuk melabuhkan kapal laut. Ketika kami menyebrang ke Klungkung daratan, kami tetap naik jukung tradisional (perahu bermesin). Duduk di atas perahu ala be pindang (berdesak-desakan) dan siap naik-turun perahu dalam kondisi basah-basahan.

Dermaga Banjar Nyuh tetap menjulur ke tengah laut dengan gagah. Namun, kami tak menemui kapal laut berlabuh di situ. Tak ada lalu lintas penyeberangan seperti pelabuhan modern pada umumnya. Ia malah digunakan sebagai tempat melabuhkan cinta oleh anak muda tahun 90-an. Pun menjadi tempat untuk melabuhkan sensasi strike bagi warga yang hobi mancing.

Ingin kami menanyakan prihal penyimpangan fungsi dermaga Banjar Nyuh itu. Namun, kami takut dipenggal oleh dagang punggalan itu.

 

Keris, Pusaka Populer Zaman Kerajaan. Foto: Novan

Dalem Dukut berhasil mengalahkan raja Dalem Sawang yang sakti mandraguna dengan sebilah keris bernama Pencok Sahang. Konon, keris pemberian Batara Tohlangkir ini sesungguhnya ialah taring Naga Basuki. Keris inilah yang sukses mengawali Dalem Dukut naik menjadi raja dan sekaligus mengakhiri kariernya sebagai raja di Nusa.

Sebelum berkuasa di Nusa Penida (NP), Dalem Dukut adalah utusan (ksatria) dari Batara Tohlangkir. Kelahirannya tergolong absurd. Ia lahir dari rumput kasna hasil yoga-semadi Batara Tohlangkir.

Selanjutnya, Dalem Dukut diutus ke Nusa. Misinya ialah untuk menghentikan sepak terjang raja Dalem Sawang yang zolim dan sekaligus mengambil alih kekuasaan di Nusa (menjadi raja). Namun, proses mengamankan dan mengambil alih kekuasaan ini tergolong penuh liku.

Dalem Dukut harus menjalani proses duel perang tanding yang sangat melelahkan. Keris Ratna Kencana yang ditusukkannya ke dada Dalem Sawang tak membuahkan hasil. Dalem Sawang yang kebal dari segala jenis senjata buatan Pande ini hanya tertawa terbahak-bahak. Keris Ratna Kencana itu tak mampu melukai tubuh Dalem Sawang. Justru patah menjadi dua bagian.

Kondisi tersebut membuat Dalem Dukut menjadi frustasi. Ia hampir bertekuk lutut di hadapan Dalem Sawang. Syukurnya, Batara Tohlangkir tetap mengontrol posisi Dalem Dukut dari kejauhan. Kemudian, Tohlangkir mengirim istri Dalem Dukut untuk membawa keris Pencok Sahang ke Nusa.

Menurut babad Nusa Penida yang ditulis Mangku Buda (2007), keris Pencok Sahang inilah yang membuat Dalem Sawang takut dan gemetar. Keris berbentuk paruh burung garuda ini akhirnya membuat Dalem Sawang bertekuk lutut kepada Dalem Dukut.

Keris Pencok Sahang mengakhiri kuasa sakti Dalem Sawang dan sekaligus kuasa pemerintahannya. Sebaliknya, mengantarkan Dalem Dukut keluar sebagai pemenang dan melenggang naik menjadi raja di NP.

Keris Pencok Sahang menyebabkan kekuasaan berpindah ke tangan Dalem Dukut. Ia berkuasa entah berapa lama. Dalam mitologi, tidak diceritakan usia pemerintahanya di Nusa. Mangku Buda hanya menulis bahwa Dalem Dukut diperkirakan moksa pada tahun Saka 260. Sementara itu, beberapa mitos menyinggung sedikit tentang pemerintahan Dalem Dukut yang membawa kenyaman, ketetraman dan kesejahteraan bagi masyarakat Nusa.

Sayangnya, pada masa pemerintahan Dalem Dukut muncul misi penyatuan antara Bali  dengan Nusa oleh Dalem Klungkung. Gaguritan Ratu Gede Mecaling, Karangasem, I milik I Ketut Kari, Br. Bias, Abang, Karangasem 21 Juni 2007 menyebutnya masa pemerintahan Dewa Enggong/ Dalem Waturenggong. Tujuannya untuk membangun hubungan yang lebih produktif antara rakyat Bali dengan rakyat Nusa.

Untuk mewujudkan misi tersebut, Dalem Klungkung mengutus Ngurah Peminggir ke Nusa. Misi Dalem Klungkung gagal karena Paminggir menggunakan metode kekerasan. Pasukan Paminggir kocar-kacir. Selanjutnya, diutuslah I Gusti Ngurah Jelantik Bogol dengan strategi yang berbeda. Etis dan sesuai tata krama seorang utusan raja. Dari sinilah cerita keris Pencok Sahang terulang kembali.

Tiruan Cerita

Ketika menjalankan tugasnya, Ngurah Jelantik berangkat ke Nusa bersama sejumlah pasukan serta didampingi oleh istrinya yang bernama Ni Gusti Ayu Kaler. Kedatangan Ngurah Jelantik disambut baik oleh raja Dalem Dukut. Namun, bukan berarti Dalem Dukut tunduk dengan Ngurah Jelantik.

Misi penyatuan harus dilalui dengan perang tanding (kesaktian) secara ksatria. Ngurah Jelantik dan Dalem Dukut harus bertanding secara jantan, tanpa melibatkan pasukan atau orang lain. Jelantik menggunakan keris Ganja Malela (pemberian kerajaan) untuk mengalahkan Dalem Dukut yang sakti mandraguna.

Namun, nasib keris Ganja Malela sama seperti keris Ratna Kencana. Bukannya dapat melukai tubuh Dalem Dukut, melainkan patah menjadi dua bagian. Kemudian berkatalah Dalem Dukut: “Pawuwusé Dalem Nusa sada banban, Jlantik Bogol kemo mulih, twara ñidayang, ngepét pati Dalem Nusa, gustin cahi tundén mahi, mañentokang, nira pacang mangarepin” (Pupuh Durma dalam Gaguritan Ratu Gede Mecaling, Karangasem, I milik I Ketut Kari, Br. Bias, Abang, Karangasem; 2007).

Dalem Dukut bersabda dengan halus: “Wahai, Jelantik Bogol, pulanglah! Kamu tidak akan mampu membunuh saya. Silakan suruh rajamu datang ke sini untuk mengadu kekuatan! Aku akan menghadapinya.”

Keadaan ini membuat Ngurah Jelantik frustasi. Ia merasa hina, rendah diri dan ingin mati. Hampir saja Jelantik menyerah kalah kepada Dalem Dukut. Ni Gusti Ayu Kaler (istrinya) sangat sedih melihat kondisi suaminya. Kemudian, ia memberikan senjata kepada suaminya.

“Gusti Ayu raris nyagjag, sampunang beli ajerih, titiang ngaturang pusaka, anggen beli nyaya satru, I Gusti Ngurah nanggapa, metu jati, bayu ageng tan pasesa.” (Prasasti Jeroan Sompang—Kerthayasa, I Gusti Made–Gaguritan Runtuhnya Sri Dalem Dukut, Ped, Nusa Penida, 19 Februari 2003, dalam bentuk Pupuh Ginada). Artinya, Gusti Ayu lalu datang, kakanda jangan takut, saya memberikan kakanda pusaka, untuk digunakan membunuh musuh, I Gusti Ngurah menerima, benar-benar muncul kekuatan tenaga yang luar biasa.  

Konon, keris itu diperoleh Ayu Kaler di Sungai Unda. Ketika sedang mandi, ada sepotong kayu (sahang) menabrak tubuh Ayu Kaler. Ia melempar kayu itu sebanyak tiga kali. Anehnya, kayu itu datang lagi dan mendekati Ayu Kaler.

Akhirnya, Ayu Kaler membawanya pulang. Setelah dibelah di rumah, ternyata di dalamnya ditemukan sebilah keris yang belum jadi, menyerupai taring yang tumpul. Keris inilah yang disebut keris Pencok Sahang.

Keris Pencok Sahang inilah yang menyebabkan Dalem Dukut menghentikan perang tanding dengan Jelantik. Dalem Dukut sangat mengenal pusaka itu. Ia tahu bahwa pusaka itu adalah taring Naga Basuki. Senjata yang akan mengantarkannya ke sunia loka (nirwana). Dalem Dukut mengaku kalah dan menyerahkan segala kekayaan Nusa beserta bala wong samarnya untuk mendukung Dalem Klungkung.

Keris Pencok Sahang, “Kekuatan Dharma” dan Pusaka Diplomasi

Kisah keris Pencok Sahang yang dialami oleh Dalem Sawang dan Dalem Dukut sangat mirip. Bahkan, dapat dikatakan seperti fotokofian. Dalem Dukut mengakhiri kekuasaan Dalem Sawang dengan keris Pencok Sahang. Begitu juga Dalem Dukut. Ia dilengserkan oleh Gusti Ngurah Jelantik Bogol oleh pusaka yang sama yakni keris Pencok Sahang.

Apakah kejadian ini termasuk kasus senjata makan tuan? Apakah Jelantik Bogol menggunakan keris Pencok Sahang yang digunakan Dalem Dukut ketika melengserkan Dalem Sawang?

Jika dari namanya, sama persis. Bentuk dan bahannya juga sama. Keris Pencok Sahang. Berbentuk paruh burung. Restu dari Tohlangkir. Hakikinya juga sama yakni taring Naga Basuki. Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita utak-atik keris Pencok Sahang pemberian Tohlangkir kepada Dalem Dukut sebelumnya.

Kemana keris itu setelah Dalem Dukut mengalahkan Dalem Sawang? Di mana disimpan selama berkuasa menjadi raja di Nusa? Saya belum mendapatkan jejak kisah yang menghubungkan Dalem Dukut dengan Pencok Sahang pasca mengalahkan Dalem Sawang.

Tiba-tiba muncul Pencok Sahang pada zaman dan dengan tokoh yang berbeda. Namun, kisahnya hampir sama. Keris itu digunakan untuk menaklukkan raja Nusa lewat perang tanding (duel). Kemudian, raja Nusa disebutkan sangat sulit dikalahkan dengan segala jenis senjata. Buntutnya, baru dapat dikalahkan dengan keris Pencok Sahang.

Kesamaan lainnya, kedua cerita ini melibatkan “perempuan” (istri) dalam pertarungan. Dalem Dukut dibawakan keris oleh istrinya. Sedangkan, Jelantik memang sejak awal didampingi sang istri pergi ke Nusa.

Fenomena-fenomena yang menyertainya membuat kisah keris Pencok Sahang menarik untuk diperdebatkan. Apalagi, dua raja Nusa yang sakti mandraguna (yang anti senjata) tidak berdaya di hadapan pusaka ini. Keduanya harus takluk. Wah, bisa dibayangkan betapa hebatnya keris Pencok Sahang itu! Saktinya pasti setingkat dewa. Ya, karena keris itu konon adalah taring Naga Basuki, pemberian Dewa Tohlangkir.

Jangankan ditancapkan, melihat saja raja Nusa langsung membayangkan sunia loka (kematian, kekalahan). Kekuatan apa kiranya yang tersimpan pada keris Pencok Sahang? Di samping abstrak dan terlalu purba, pertanyaan ini juga terkesan mengada-ada. Apalagi ditanyakan dalam kondisi sekarang. Namun, menurut saya keris Pencok Sahang memiliki “kekuatan dharma” yang luar biasa.

Coba perhatikan cerita Dalem Sawang. Sangat kentara bau adharmanya, bukan? Dalem Sawang digambarkan sebagai raja yang mabuk diri. Ia merasa super power (berkuasa, sakti dan tak terkalahkan). Rasa inilah yang mungkin membuat ia kalap atau lupa diri. Ya, ujung-ujungnya berbuat semena-semana—melenceng dari jalur dharma.

Namun, sesakti-saktinya orang toh ada masa runtuhnya. Orang Bali percaya bahwa kebenaran pasti menang (satyam eva jayate). Spirit inilah yang mungkin hendak dirayakan dalam setiap perayaan Hari Raya Galungan itu—dengan simbol penjor yang konon melambangkan sosok Naga Basuki. Pada lengkung penjor itu mungkin tersembunyi spirit yang sublim bahwa setinggi-tingginya orang toh akhirnya akan menunggu jatuh ke bawah (menuai masa kalah).

Keris Pencok Sahang membuktikan kasus tersebut. Keris Pencok Sahang adalah simbol “kala runtuh”. Waktu jatuhnya arogansi adharma. Patahnya keris Ratna Kencana dan Ganja Malelo merupakan ujian ketinggian (kesaktian) raja Nusa. Betapa kedua raja Nusa tak terkalahkan. Akan tetapi, usia arogansi kesaktian ini akhirnya rontok juga oleh waktu.

Lalu, bagaimana dengan kasus Dalem Dukut? Bukankan beliau dikenal sebagai raja yang arif, bijaksana dan membawa kesejahteraan? Jika membaca Gaguritan Runtuhnya Sri Dalem Dukut karya I Gusti Made Kerthayasa, 2003, terjadi penyelewengan pada masa pemerintahan Dalem Dukut. Hal ini yang menyebabkan Dalem Klungkung mengutus Ngurah Jelantik Bogol.

Dalam geguritan itu ditulis sebagai berikut: “Sampun suwe ne kalintang, rajas tamase mamurti, momo kalawan angkara, matunggalan pada metu, akrodane ngewasayang, peteng jati, sang patut sampun ngulayang”. Artinya, setelah lama berlalu (memerintah), muncul sifat tamak (Dalem Dukut maksudnya), loba dan angkara, bersama-sama muncul, dikuasai amarah, gelap gulita, kebenaran itu sudah melayang.

Jika fakta geguritan ini benar, maka kasusnya tidak jauh berbeda dengan yang dialami Dalem Sawang. Keris Pencok Sahang hanya mengulang sejarah kezoliman raja Nusa dan sekaligus membuktikan kemenangan dharma melawan adharma.

Bagaimana jika Dalem Dukut memerintah dengan baik, tanpa penyelewengan? Apakah ketaklukkan raja Dalem Dukut kepada Jelantik Bogol dapat dimasukan ke dalam kasus dharma melawan adharma? Padahal, posisi keris Pencok Sahang berada pada posisi ekpansi (memaksa tunduk).

Dalam konteks inilah,  konsep dharma (kebenaran) menjadi cukup bias. Sebagai raja, Dalem Dukut berkewajiban mempertahankan daerah kekuasaannya. Sementara, sebagai utusan raja, Jelantik berkewajiban menaklukkan Dalem Dukut. Keduanya sama-sama benar. Lalu, mengapa keris Pencok Sahang hanya ada di pihak Jelantik?

Pada kasus tersebut, pantas kita mempertanyakan kemurnian dharma yang direpresentasikan oleh keris Pencok Sahang. Jangan-jangan ia dipinjam sebagai alat monopoli untuk melegalisasikan dharma seperti yang menimpa Dalam Sawang. Semuanya masih misterius. Sama misteriusnya dengan eksistensi keris Pencok Sahang tersebut.

Selain sebagai representasi kekuatan dharma, saya mencurigai bahwa keris Pencok Sahang adalah “pusaka diplomasi”. Mungkin bukan berwujud senjata fisik, melainkan senjata lidah dan otak (pikiran). Dugaan ini dikuatkan oleh beberapa fakta peristiwa dalam cerita. Misalnya, perang tidak melibatkan pasukan, didahului dengan perang menggunakan senjata sungguhan, melibatkan perempuan (istri) dan muncul keris Pencok Sahang.

Peristiwa tersebut dapat ditafsirkan begini. Perang diplomasi memang tidak membutuhkan prajurit atau pasukan. Ia membutuhkan seorang diplomat yang andal. Kemudian, seringkali metode diplomasi muncul belakangan ketika cara kekerasan menuai jalan buntu. Peristiwa patahnya keris Ratna Kencana dan Ganja Malelo merupakan simbol bahwa terjadi perang fisik (kekerasan) terlebih dahulu.

Lalu, apa hubungan diplomasi dengan peran seorang perempuan (istri) pada cerita? Perempuan mungkin identik dengan karakter lemah lembut, cinta kasih dan tidak suka kekerasan. Bukankah diplomasi adalah jalan perdamaian yang penuh kelembutan? Karena itulah, ketika Dalem Dukut dan Ngurah Jelantik (sebagai utusan) hampir takluk di depan raja Nusa, muncullah seorang perempuan (istri) membawakan/ memberikan keris Pencok Sahang. Keris itu tidak tajam. Kecil. Digambarkan seperti paruh burung dan ditemukan di dalam sebatang kayu bakar.

Selanjutnya, pada keris Pencok Sahang inilah raja Nusa dikatakan membayangkan sunia loka (nirwana). Bisa jadi sunia loka ini maksudnya jalan perdamaian. Artinya, senjata Pencok Sahang sesungguhnya “pusaka diplomasi”. Di dalamnya ada taktik halus, penuh cinta kasih, humanis dan mendamaikan—tetapi meruntuhkan.