Mobil
dan Jalan di Nusa Penida. Foto:www.youtube.com
Perilaku sopir di Nusa Penida (NP) sudah lama mendapat sorotan miring baik oleh masyarakat nyata maupun dari para nitizen. Sorotan ini terutama dialamatkan kepada beberapa sopir pariwisata yang terlibat “lomba ngebut “ di jalanan. Konon, aksi ngebut ini dilatarbelakangi oleh satu alasan klasik yaitu “mengejar waktu”. Para sopir takut jika waktu pemberangkatan fast boat (yang dibooking tamu) melewati ambang batas.
Karena
itu, ngebut dianggap sebagai solusi. Para sopir pariwisata tancap gas, melaju
secepat mungkin—melewati kelok demi kelokan jalan yang cukup sempit di NP. Di
atas jalan yang cukup mulus, mereka memacu kendaraannya dan sering melupakan
pengguna jalan yang lain.
Kasus
penyerempetan bahkan berujung kecelakaan pada pengguna jalan lain, tidak ampuh
mengingatkan para sopir meminalisasikan perilaku ngebutnya. Entah kenapa,
ketika membawa tamu, pikiran sopir kembali ke pola semula. Ngebut dan tidak ingin
ketinggalan waktu.
Para
sopir tak mampu melawan egonya. Mereka tunduk dengan kepentingan pribadinya.
Sementara, kepentingan orang lain tak sempat mereka pikirkan. Karena itu, jalanan
menjadi rasa kavling. Ketika mengantar (balik) tamu ke pelabuhan, jalanan menjadi
kuasa para sopir pariwisata. Mereka melaju, menyalip paksa dan bahkan tak
jarang mengambil badan jalan jalur lawan arah (keluar lintasan).
Sopir Masa Lalu
Citra
“sopir ngebut” di NP bukan muncul ketika pariwisata melejit seperti sekarang. Dari
dulu, predikat ini sudah melekat pada sopir di NP. Image ini tidak hanya dilontarkan oleh masyarakat lokal, tetapi justru
lebih kuat dihembuskan oleh masyarakat Bali daratan.
Ketika
berbicara tentang sopir di NP, mereka pasti teringat satu kata yaitu “ngebut”.
Seolah-olah sudah menjadi ikonik. Imbasnya, semua sopir di NP dianggap memiliki
perilaku yang sama yakni suka ngebut.
Padahal, sejatinya tidak demikian.
Klaim
“sopir ngebut” ini bermula dari pengalaman langsung. Banyak masyarakat luar
(Bali seberang), yang menjadi penumpang, mengalami langsung ketika melakukan
perjalanan di NP zaman dulu. Kebanyakan yang merasakan adalah penumpang yang pernah
melakukan tirta yatra ke NP. Zaman itu, transportasi darat (angkutan umum) dikuasai
oleh mobil colt semi terbuka—mirip angkutan umum pedesaan era 1980-an di Bali
pada umumnya.
Bagian
atasnya, tertutup oleh atap yang menjulur sepanjang bodi mobil. Kiri-kanannya
juga tertutup rapat. Di sela-selanya, terdapat beberapa kaca jendela kecil yang
tansparan. Dari kaca inilah, penumpang dapat melihat view sepanjang perjalanan.
Sementara,
di belakangnya terbuka tanpa pintu. Hanya ada penghalang kiri-kanan pada bagian
bawah tegak lurus dengan jok penumpang—sebagai penghalang bodi penumpang atau
barang terutama ketika berada di tanjakan. Tidak ada AC. Namun, angin dapat
leluasa masuk dari belakang atau sela-sela kaca jendela yang dibuka pada pinggir
kiri-kanan mobil.
Model
mobil inilah yang digunakan untuk mengantar para pemedek berkeliling di NP
zaman dulu. Para sopir membawa penumpang—melaju dengan kecepatan tinggi di atas
jalan aspal yang kasar, sempit dan bergelombang (tidak rata). Dengan genjotan
yang kurang elastis, maka penumpang tidak hanya merasakan sensasi kecepatan
tetapi sensasi lompat-lompat dan rasa mirip terbang (lepas landas).
Wajar
saja, para penumpang merasakan “ngeri-ngeri sedap”. Pasalnya, adonan sensasi
itu dianggap sangat berisiko—meskipun dikendalikan oleh sopir yang cakap. Sayangnya,
para sopir kurang memahami adonan sensasi ngeri-ngeri sedap tersebut.
Atau
jangan-jangan para sopir sebetulnya menyadari persoalan ini. Namun, mereka
menyimpan dengan rapi dalam balutan kepentingan pribadi. Jika para sopir
pariwisata (sekarang) berdalih dikejar waktu (jadwal) pemberangkatan fast boat,
lalu apa dalih para sopir dulu untuk melakukan tindakan ngebut?
Pertanyaan
ini penting diajukan mengingat rombongan pemedek (dulu) tidak bisa one day trip. Mereka harus menginap
(mekemit) di pura, minimal satu malam. Keesokan paginya, baru mereka bisa
menyeberang dengan jukung (perahu tradisional). Lalu, mengapa sopir harus
ngebut? Ingin diajum (dipuji) sebagai
sopir andal dan cakap?
Ah,
tentu tidak sebanding dengan risiko dari tindakan ngebut tersebut. Untuk
menguak misteri ini, kebetulan saya pernah mengajak rombongan satu kantor melakukan
tirta yatra di seputaran NP tahun 2000-an. Trayek pura yang kami sasar yaitu
Pura Puncak Mundi, Goa Giri Putri dan Dalem Ped.
Pura
pertama yang kami sasar ialah Pura Puncak Mundi. Turun dari pelabuhan, mobil
yang kami tumpangi langsung melaju kencang menuju Puncak Mundi. Sesekali
diwarnai dengan teriak-teriakan ekspresi ketakutan pada lintasan medan
tertentu. Syukurnya, kami selamat sampai tempat tujuan. Seperti biasa, kami
melakukan persembahyangan dan berpikir sopir kami menunggu dengan sabar di area
parkir.
Karena
itu, ketika selesai sembahyang, kami bergegas menuju parkir-an. Berharap mobil carteran kami parkir di situ. Ternyata
tidak ada. Kami mencoba memfokuskan pandangan di antara kerumunan sopir di area
parkir. Pun tidak ada. Kondisi ini berlangsung kurang lebih setengah jam lebih.
Namun, kami tetap bersabar.
Sekitar
hampir 50 menitan, muncullah mobil yang kami tumpangi. Kami langsung naik ke
dalam mobil dan melanjutkan perjalanan menuju pura kedua yaitu Pura Goa Giri
Putri. Pura yang letaknya di dalam goa raksasa. Untuk mencapai pura ini, kami
harus menaiki beberapa anak tangga, melewati mulut goa yang sempit—kemudian
disambut kelebat sayap kelelewar dan formasi lampu-lampu yang estetik.
Kami
melakukan persembahan dengan khusuk dari satu pelinggih ke pelinggih yang
lainnya hingga ujung goa yakni pelinggih Dewi Kwan Im. Persembahyang usai. Kami
bergegas menuruni tangga keluar, hendak melanjutkan ke pura Dalem Ped. Namun,
apa daya. Kami harus mencari-cari hingga berjam-jam mobil yang kami
tumpangi—tetapi tidak ada di area parkir.
Akhirnya,
kami arahkan pandangan ke arah laut luas. Kami tetap sabar menunggu sambil
membeli minuman dan jajan di sekitar area parkir. Semula pikiran kami positif
saja, walaupun kami merasa ditelantarkan. Namun, obrolan segelintir sopir yang
lainnya, membangunkan pikiran negatif kami.
Tak
sengaja, saya mendengar obrolan sopir dalam dialek Nusa. Mereka membicarakan
soal rombongan yang mereka antar. Poinnya, dalam satu hari mereka dapat membawa
lebih dari satu rombongan. Dari sinilah, kami baru menyadari bahwa kami
termasuk dalam target kasus yang dibicarakan itu.
Belum
bulat kami menegatifkan pikiran, datanglah sopir kami dengan laju cepat dan
tergesa-gesa. Kami enggan bertanya. Kami langsung naik dan meluncur menuju pura
Dalem Ped.
Sambil
menahan goncangan dalam mobil, saya berpikir. “Inikah motif di balik
kebut-kebutan sopir di NP?” gumamku. Mereka memaksimalkan waktu dengan cara
mengambil lebih dari satu rombongan. Cara ini memang terkesan merugikan atau
menelantarkan klien (penumpang). Namun, jika hanya mengantar satu rombongan
mungkin mereka merasa rugi.
Banyak
waktu tersisa jika hanya menunggu dan mengantar dengan taat satu rombongan
saja. Menunggu pemedek sembahyang berjam-jam, dapat diisi dengan mengantar
rombongan lain. Ya, karena jarak antara pura satu dengan lainnya tidak begitu
jauh. Mungkin begitu hitung-hitungan para sopir.
Sebaliknya,
pemedek/ penumpang jelas merasa dirugikan. Pasalnya, mereka merasa mencarter mobil tersebut. Namun,
kenyataannya mereka diperlakukan seperti penumpang biasa. Ditaruh di tempat
tujuan, kemudian para sopir yang memiliki peluang “mendua” menjemput rombongan
lain.
Wajar
saja, para sopir bermain di zona kebut-kebutan. Mereka berusaha meringkas
perjalanan sesingkat atau secepat mungkin guna mendapatkan rombongan lain,
terutama ketika musim pemedek ramai.
Ngebut Beda Motif
Hingga
sekarang, kebiasaan ngebut dari para sopir di NP masih berlanjut. Alasannya
sama yaitu “mengejar waktu” atau “meringkas perjalanan” (karena waktu tidak
bisa dikejar). Namun, varian motifnya berbeda. Jika sopir pemedek (dulu)
melakukan tindakan ngebut untuk meringkas perjalanan agar dapat “mendua”, maka
sopir pariwisata (sekarang) berdalih agar para kliennya tidak ketinggalan fast boat yang sudah dipesannya.
Para
sopir pariwisata tentu tidak bisa mendua, karena mereka dikunci oleh sistem one day trip. Bagaimana caranya dapat
mengantar tamu ke objek wisata, lalu balik ke pelabuhan sesuai dengan jadwal
keberangkatan fast boat ke Bali seberang dalam waktu sehari.
Itulah
tantangan kekinian para sopir pariwisata di NP sekarang. Tantangan ini harus
disikapi dengan bijak dan mandiri untuk kelancaran perjalanan. Tentu tidak
mudah memang, karena ada sejumlah persoalan yang mengganjal di lapangan.
Pertama,
akses jalan. Meskipun jalanan sudah divermak menjadi lebih mulus sekarang,
tetapi masih terganjal pada persoalan lebar jalan. Dengan lebar jalan rata-rata
kurang lebih 4 m, maka papasan dua mobil tidak terjadi dengan mulus. Harus terjadi
penurunan gas kecepatan ke titik rendah dengan memanfaatkan pinggir terluar medan
jalan.
Kedua,
rata-rata medan ke objek wisata curam dan terjal. Diperlukan waktu ekstra untuk
menjangkau objek wisata dan balik ke titik parkir mobil. Ini belum terhitung
waktu enjoy tamu untuk menikmati
panorama di lokasi.
Ketiga,
karakter tamu yang kurang konsisten. Ada beberapa tamu yang tidak disiplin
dengan waktu yang sudah disepakati dengan sopir. Ya, mungkin karena terlalu
keasyikan menikmati objek wisata sehingga lupa dengan waktu yang sudah
disepakati dengan para sopir.
Keempat,
jumlah mobil yang beroperasi cenderung mengalami peningkatan. Jumlah ini tidak
hanya menaikkan tensi kompetisi, tetapi berpengaruh terhadap kelancaran arus
lalu lintas di jalanan.
Jika
kompleksitas kendala lapangan tersebut tidak diminalisasikan, maka para sopir
pariwisata tetap saja terjebak dalam lingkaran ngebut yang tak berujung. Ngebut
akan dianggap sebagai sebuah solusi. Bahkan, satu-satunya solusi nanti.
Ke
depan, tentu berbahaya. Ngebut tidak saja membahayakan penumpang, sopir dan
terutama pengguna jalan lain. Karena itu, sistem one day trip mungkin sebaiknya dikurangi. Setidaknya, para tamu
dapat menginap minimal semalam agar perjalanan bertamasya tidak uber-uberan (terburu-buru).
Ujung-ujungnya
pasti berkaitan dengan biaya. Banyak tamu hendak berkunjung ke NP dengan biaya
terbatas. Jika menginap, tentu costnya
lebih besar. Namun, jika dibandingkan dengan harga keselamatan, sebetulnya
tidak menjadi persoalan. Akan tetapi, semua pilihan itu sepenuhnya tergantung
kepada pengunjung itu sendiri.
Pengusaha
fast boat banyak. Pilihan jadwal trip fast boat banyak. Pengusaha transportasi
darat juga merebak di NP. Kondisi ini
menyebabkan pengunjung bebas keluar masuk dari dan ke NP sesuai kemauannya.
Kecuali, ada kesepakan (MOU) yang bersifat simbiosis mutualisme antara
pengusaha boat, pengusaha transportasi dan pengusaha penginapan.
Itu
pun jika pihak yang bersangkutan memiliki visioner yang sama. Visi yang
berkaitan dengan kepuasan, kenyamanan, dan keselamatan pengunjung. Modal ini
akan menjadi nyawa keberlangsungan pariwisata di NP. Artinya, ngebut dalam
jangka panjang akan menurunkan citra pariwisata di NP.
Dalam konteks inilah, isu jalan melingkar di sepanjang pesisir pulau NP menjadi ide visioner. Ide untuk mengurangi kemacetan dan meningkatkan kelancaran arus lalu lintas di NP. Realisasinya sangat didambakan oleh semua masyarakat NP, terutama kalangan sopir pariwisata. Mungkin saja jalan melingkar itu akan mengeluarkan para sopir pariwisata dari lingkaran ngebut di NP. Atau bisa jadi malah memicu sopir bertambah ngebut. Biarkan waktu yang membuktikannya nanti!
0 komentar:
Posting Komentar