Mengkaji Penistaan Hak Ekonomi Guru
dalam Kebijakan 24 Jam
Oleh
I Ketut Serawan
Foto: suara.com |
Kebijakan ini menjadi
hakim penentu atas prakara profesional guru. Integritas profesional guru yang
diperoleh secara legitimasi melalui portofolio maupun jalur pelatihan (PPG) menjadi
“lemah syahwat” dengan kebijakan mengajar minimal 24 jam.
Barometer eksekusi ini
memberikan persepsi bahwa pemerintah memandang (mengutamakan) integritas profesional
guru dari tingkat intensitas (kuantitatif) mengajar di dalam kelas. Semakin
tinggi frekuensi tatap muka, maka semakin melekat citra profesional pada guru.
Cara pandang prematur
ini menggoyang sendi-sendi profesional guru. Indikasinya terlihat dari suasana
gaduh di kalangan para guru. Mereka saling
sikut untuk memperebutkan standar minimal 24 jam mulai dari intern hingga melakukan
ekspansi jam ke sekolah lain.
Kegaduhan ini
menciptakan spirit (mental) mendidik yang tak sehat. Gong kompetisi yang keras
membuat para guru hanya mengejar target administratif untuk keamanan hak-hak
ekonominya. Implikasinya, etos kerja guru menjadi kurang baik karena menurunnya
fokus, mutu, dan persepsi mengajar. Ditambah dengan kepadatan jam tatap muka
(minimal 24 jam), maka guru hendak dijauhkan dari sumbu keprofesionalan.
Kepadatan tatap muka membelenggu
dan menjebak guru pada lingkaran seremonial mengajar yang melelahkan. Efeknya,
aspek pengembangan dan peningkatan profesionalisme guru terabaikan. Padahal,
guru membutuhkan waktu untuk mengupgrade
dirinya dengan cara mengikuti pelatihan-pelatihan keguruan (seminar, workshop)
dan membangun kreativitas konkret (meneliti, menulis, membuat alat peraga).
Lebih luas, sistem 24
jam ini juga menimbulkan iklim pendidikan yang kurang kondusif, karena mempersempit
lahan pekerjaan, mematikan eksistensi sekolah swasta, dan menurunkan kualitas
layanan pendidikan. Sempitnya lahan pekerjaan disebabkan oleh hegemoni guru yang
tersertifikasi dalam memonopoli jam mengajar sehingga kiprah para guru muda
semakin termarginalkan. Lebih parah lagi, kebijakan 24 jam ini menyebabkan
sekolah negeri menerima siswa secara overload
(hingga kelas siang) sebagai solusi meratakan target jam mengajar sehingga sekolah
swasta terancam krisis siswa. Kasus overload
ini juga menyebabkan pelayanan pendidikan menjadi rendah karena mengabaikan komposisi
ideal antara guru-siswa, fasilitas-jumlah siswa, dan efektivitas PBM di dalam kelas.
Sayangnya, pemerintah
tidak memiliki sinyal mengkaji kebijakan tersebut. Belakangan, pemerintah
justru hendak mengukuhkan dinasti 24 jam dengan isu full day school. Full day
school dirasakan dapat mengakomodir jam mengajar guru dengan lebih leluasa.
Solusi ini tentu kurang tepat untuk mengantisipasi kegaduhan guru. Semestinya,
standar mengajar diminimalisasikan. Paradigmanya ialah efektivitas mengajar
jauh lebih penting daripada frekuensi tatap muka. Apa artinya intensitas tatap
muka yang tinggi jika pembelajaran hanya bersifat seremonial (kurang kreatif,
kurang bermutu, dan monoton). Lebih baik tatap muka terbatas, tetapi menghasilkan
PBM kreatif dan berkualitas. Inilah yang dilakukan oleh negara Finlandia.
Selanjutnya, pemaksaan pemberlakuan
kebijakan 24 jam sesungguhnya bertentangan dengan spirit filosofi guru profesional
(UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan
Dosen). Keliru jika pemerintah menganulir hak-hak ekonomi guru gara-gara tidak
memenuhi standar jam minimal. Bukankah guru bersertifikat pendidik sudah
memenuhi integritas guru profesional yaitu memiliki kompetensi pedagogik,
profesional, kepribadian, dan sosial? Lain halnya jika guru berkasus dengan
wilayah keprofesionalannya, misalnya tidak mengajar, tidak disiplin, sakit,
terlibat kasus tertentu, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu,
sepantasnya pemerintah menggunakan alat ukur yang mengacu pada 4 standar, yaitu
pedagogik, profesional, kepribadian, dan
sosial. Keempat aspek ini dikembangkan dalam bentuk instrumen untuk menakar
kelayakan guru profesional dan sekaligus penentuan atas TPG.
Untuk lebih mudahnya, format
instrumen penilaian 4 kompetensi dasar guru ini dapat dimunculkan dalam dapodik
sekolah. Sekolah (atau setiap guru) dapat menginput data-data yang menjadi acuan penilaian tersebut. Selanjutnya,
sistem tinggal membaca dan memberikan skor secara otomatis.
Dapodik sekolah
menjadikan guru setiap saat bisa mengupgrade
data sesuai keperluan. Upgrade data
ini menjadikan guru terus aktif untuk mencapai dinamika standar profesional
guru. Untuk pengembangan dan peningkatan mutu profesional, pemerintah cukup
membuat halaman portofolio di dapodik. Portofolio ini akan menginput data tentang legitimasi aktivitas
guru dalam pengembangan karier (profesi) dan peningkatan mutu guru. Model
instrumen ini jauh lebih berintegritas dibandingkan dengan sistem minimal 24
jam yang parsial, kurang berdasar, dan terkesan (sengaja) menistakan hak
ekonomi guru.