Kamis, 16 Januari 2020


Teli Sempi Nyengket, Canda Rasis, dan Taruhan Inferior Orang Nusa Penida
Oleh
Ketut Serawan

Jika Anda, orang Nusa Penida (NP), pernah tinggal di Klungkung daratan pada tahun 90-an ke bawah, mungkin pernah diwalek dengan candaan “teli sempi nyengket”. Kalimat bermakna  “alat kelamin sapi (betina) tersangkut” ini merupakan plesetan dari kalimat aslinya yaitu “talin sampi nyangket” (tali sampi tersangkut). Kemudian, plesetan ini berkembang menjadi canda rasis untuk (maaf) merendahkan atau mengolok-olok orang NP di mata teman-teman Klungkung daratan.
Candaan tersebut mengalir begitu saja. Entah siapa yang menghembuskan pertama kali. Tahu-tahu berkembang estafet, dari generasi ke generasi. Mengusutnya secara tuntas, apalagi melakukan penelitian tentang silsilah canda tersebut akan menjadi tampak serius dan serem. Untungnya apa coba?
Ya, nggak ada. Di mana-mana canda rasis hanya berujung pada “unjuk rasa” antara superior (pihak yang membully) dan inferior (pihak yang dibully). Dalam konteks canda “teli sempi nyengket” juga demikian. Masyarakat Klungkung daratan merasa lebih superior dari segala lini. Misalnya, soal kedudukan politik, kemajuan ekonomi, infrastruktur, pendidikan, dan lain sebagainya.
Sebaliknya, orang-orang NP ditempatkan sebagai stereotip yang terisolir, tertinggal, miskin, pendidikan kurang, kolot, dan stigma negatif lainnya. Stigma ini berlangsung cukup lama dan sulit dihilangkan. Pasalnya, orang-orang NP kurang mampu mengambil peran-peran penting untuk meminimalisir image inferior itu. Salah satunya ialah sektor politik. Padahal, sektor ini sangat strategis dimanfaatkan untuk mengatur kebijakan publik, agar masyarakat NP dapat keluar dari citra rendahan itu.
Bagi masyarakat NP, sektor politik merupakan aspek yang efektif digunakan untuk mengatur kesenjangan rasis itu. Karena lewat politik, masyarakat NP dapat dibebaskan (diminimalisir) dari kebijakan rasis dan diskriminatif. Sayangnya, selama ini sistem politik (demokrasi) Klungkung tidak mendukung. Sistem perwakilan menyebabkan masyarakat NP tidak mampu berbuat banyak.
Klungkung hanya melahirkan bupati dan pejabat-pejabat strategis asal Klungkung daratan. Lalu dapat ditebak, kebijakannya tidak menguntungkan masyarakat NP. Diskriminasi tetap saja menghantui masyarakat NP. Mereka tetap bercongkol di zona inferior, dengan daya tawar politik yang sangat rendah.
Ketika demokrasi Klungkung mengalami kemajuan, salah satunya pemilihan bupati (pilkada) secara langsung (tahun 2007), masyarakat NP memiliki impian keluar dari belenggu rasisme yang melilitnya. Prof. Dr. Kinog (alm.) muncul menjadi calon bupati asal NP, bersaing melawan calon petahana, I Wayan Chandra.
Kondisi politik masyarakat NP mulai bergairah. Masyarakat NP dari berbagai kalangan muda dan tua mendadak melek politik. Sayangnya, di injury time muncul balon lain (asal NP) yakni Prof. Jinar sebagai pemecah belah suara di NP. Strategi ini diduga kuat hasil rekayasa calon petahana.
Akhirnya, Chandra sukses naik untuk kedua kalinya (dan sekaligus menjadi bupati pertama produk demokrasi langsung) di Klungkung. Chandra memimpin Klungkung (2007-2013), dengan berbagai kasus korupsi yang melilitnya dan berujung pada penjara di akhir masa jabatannya.

Suwirta Taruhan Inferior
Kesempatan kedua muncul, ketika I Nyoman Suwirta (asal NP) menjadi balon bupati tahun 2013. Ia bersaing ketat dengan tokoh berpengaruh asal puri (Klungkung). Untungnya, kalangan puri pecah menjadi dua. Puri mengusung dua balon bupati yang tak mau mengalah yakni Tjok Bagus dan Tjok Raka. Buntutnya, Suwirta menang. Ia mencatatkan dirinya sebagai bupati pertama asal NP di Klungkung.
Semenjak Suwirta menjadi orang nomor satu di Klungkung, ketajaman isu canda rasis “teli sempi nyengket” mulai meredup. Setidaknya, Suwirta dipandang sebagai ikon (bukti) bahwa orang NP memiliki kemampuan setara dengan masyarakat Klungkung daratan. Bahkan, dapat dikatakan melebihi kemampuan bupati-bupati (asal Klungkung daratan) sebelumnya.
Di bawah kepimpinan Suwirta, Kabupaten Klungkung yang kecil dan miskin berubah signifikan. Pembangunan dan termasuk tata pemerintahan mengalami kemajuan. Tidak hanya di Klungkung daratan, pembangunan berkembang pesat di Kecamatan NP terutama sektor pariwisatanya.
Era Suwirta, Klungkung tidak hanya dilirik oleh provinsi termasuk nasional. Terobosan-terobosan kebijakan politik yang dilakukan Suwirta (entah pencintraan/ tidak) setidaknya membuat Klungkung yang dulu tenggelam mencuat ke permukaan. Klungkung masuk peta politik yang diperhitungkan di Bali dan nasional.
Suwirta merupakan jawaban ganda atas keraguan masyarakat Klungkung daratan terhadap stereotip negatif yang melekat pada masyarakat NP. Pertama, dia mampu merobohkan  tembok rasisme yang begitu lama dan kuat. Kini, masyarakat NP memiliki derajat dan daya tawar politik yang sejajar serta tidak bisa diremehkan dalam kehidupan bermasyarakat di Klungkung.
Kedua, kesempatan menjadi bupati adalah ujian bagi Suwirta untuk membawa  dan menunjukkan representasi kualitas orang-orang NP. Dia merupakan juri kunci (sebagai) taruhan atas image inferior yang melekat pada masyarakat NP. Jika dia hanya mampu menjadi bupati minimal biasa saja (sama kualitasnya dengan bupati-bupati sebelumnya), maka masyarakat Klungkung daratan tidak akan respek terhadap orang NP.
Syukurnya, Suwirta sangat memahami perannya. Sebagai pionir, ia memang harus menunjukkan kualitasnya di atas rata-rata bupati asal Klungkung daratan. Ekspektasi itu dapat tercapai dengan mulus. Buktinya, selama memimpin satu periode, respon masyarakat Klungkung daratan terhadap kepimpinan Suwirta sangat baik.
Suwirta mampu menjadi bupati bukan hanya untuk orang NP, melainkan juga untuk kesejahteraan masyarakat Klungkung daratan. Inilah yang memuluskan Suwirta melenggang untuk kedua kalinya (2018-2023) menjadi bupati di Klungkung, dengan perolehan suara yang sangat telak dengan lawannya Tjokorda Bagus Oka-Ketut Mandia (Bagia).
Faktor kualitas inilah yang menguatkan bahwa orang-orang NP (sekarang) memang pantas disejajarkan (bahkan lebih) dengan masyarakat Klungkung daratan. Suwirta telah membuktikan bahwa orang NP (berikutnya) layak duduk untuk menyandang gelar bupati di Klungkung.
Suwirta menguatkan bahwa canda rasisme (teli sempi nyengket) sudah tidak relevan sekarang. Di samping taruhan kualitas bupati, NP juga mengalami kemajuan pesat dalam bidang ekonomi sekarang. Kemajuan ekonomi ini tidak lepas dari kebijakan pemda (Suwirta) yang pro masyarakat NP. Dialah yang memulai, menggali dan mengembangkan sektor pariwisata hingga melejit seperti sekarang.
Imbasnya dirasakan nyata oleh masyarakat NP. Sektor ekonomi dan pembangunan infrastruktur di NP mengalami perkembangan pesat belakangan ini. Kalau kita jujur, pencapaian ini tidak pernah ada pada era bupati-bupati sebelumnya. Suwirta mampu mendongkrak pariwisata bahkan melebihi pariwisata Klungkung daratan yang hanya mengandalkan objek Kerta Gosa dan Goa Lawah.
Sementara NP memiliki banyak titik-titik objek wisata menarik hingga berkelas internasional. Inilah yang menyebabkan jumlah kunjungan mencapai ratusan ribu per harinya. Jumlah kunjungan ini tentu berdampak signifikan terhadap pendapatan pemda Klungkung. Artinya, peran NP sangat dibutuhkan oleh pemda Klungkung sekarang.
Terlepas dari pro dan kontra, Klungkung dan khususnya masyarakat NP tentu tidak bisa melupakan peran penting Suwirta. Dialah yang meletakkan fondasi pariwisata, ekonomi masyarakat NP, dan PAD Klungkung.
Selain peran ketokohan, kasus rasisme atau inferior orang NP sudah kian tak relevan karena sistem demokrasi langsung. Semenjak berlaku sistem demokrasi langsung di Klungkung, orang-orang NP memiliki daya tawar politik cukup tinggi. Pasalnya, Kecamatan NP merupakan distrik yang memiliki jumlah pemilih terbanyak di Klungkung. Jadi, jika ingin memenangi kompetisi politik di Klungkung, maka jangan lagi meremehkan peran aktif politik masyarakat NP. Mereka harus menjadi prioritas. Artinya, masyarakat NP memiliki nilai penting dan menentukan dalam ajang perpolitikan di Klungkung.
Jika demikian adanya, buat apa lagi mengungkit-ngungkit eksistensi “teli sempi nyengket”. Karena sekarang, plesetan ini akan bermakna ganda. Mungkin menjadi celaan yang tetap ingin merendahkan atau semacam kesirikan atas kemajuan berbagai sektor kehidupan yang dicapai oleh masyarakat NP sekarang.


Ulangan Sejarah Krisis Air di Nusa Penida
Oleh
I Ketut Serawan

Ketika pariwisata berkembang pesat di Nusa Penida (NP), keberadaan air bersih justru diambang krisis yang mengkhawatirkan. Wilayah paling lancar (barat), seminggu hampir 2-3 kali air PDAM milik pemda Klungkung ini harus mengalami kematian. Sedangkan wilayah ngadat (timur), air PDAM mengalami kematian hingga berbulan-bulan.Ya, ampun! Kondisi ini menyebabkan masyarakat Nusa Penida (terutama pemilik usaha akomodasi pariwisata) sering menjadi gusar. Akibatnya, hampir setiap hari pemda Klungkung (Bupati dan Dirut PDAM) diserang kritikan, cacian, dan bully dari para nitizen.
Namun, serangan para nitizen ini tidak serta merta membuat air mengalir lancar pada kran-kran masyarakat. Air tetap menunggu “dewasa ayu” untuk keluar dari mulut kran masyarakat. Sementara, kesehariannya lebih sering mengeluarkan angin, alias kosong. Masyarakat mengatakannya dengan sebutan keluar kentut. Gas yang tentu saja tidak berbau (ada-ada saja).
Entah kenapa, momen krisis air justru muncul beriringan dengan melejitnya pariwisata di Nusa Penida. Mungkin karena jumlah pelanggan airnya kian meningkat tajam. Pasalnya, pemanfaatan air tidak semata-mata untuk konsumsi rumahan. Belakangan, semakin banyak dimanfaatkan oleh kaum bisnisan, seperti penginapan, rumah makan, cuci motor, dan lain sebagainya. Ah, ini pasti logika murahan dan awam, kan? Kalau ingin tahu kepastiannya, ya, tentu pemda Klungkung (terutama pihak PDAM setempat) yang lebih persis mengerti kasus tersebut.
Tidak hanya di medsos, isu air selalu menjadi perbincangan publik baik di pasar, banjar, perkantoran dan lain sebagainya. Saking boomingnya, isu air bersih sering dijadikan dagelan-dagelan dan anekdot dalam berbagai kesempatan oleh masyarakat. Dagelan-dagelan yang tidak hanya menggelikan, tetapi sekaligus mengibur. Pasalnya, ketika masyarakat Nusa Penida dilanda krisis air bersih, PDAM Klungkung justru menerima penghargaan dari pusat. Hal yang paradoks, bukan?
Namun, ini kenyataan, lho! PDAM Tirta Mahottama Klungkung mendapat penghargaan TOP BUMD kategori operasional usaha terbaik nasional dari Bussiness News dan Asia Bussiness Research Center. Penghargaan ini diserahkan langsung oleh ketua tim penyelenggara M. Lutfi Handayani kepada Dirut PDAM Klungkung, Nyoman Renin Suyasa, (Kamis, 3/ 5/ 2018) di gedung Kartini Kuningan, Jakarta Selatan (balipuspanews.com).
Penghargaan ini tentu mengganjal hati masyarakat Nusa Penida. Karena kinerja sesungguhnya belum dirasakan oleh masyarakat NP. Krisis air bersih tetap saja melanda NP secara berkelanjutan. Konon, beberapa masyarakat NP (wilayah timur) harus rela mengeluarkan isi kantong pribadi hingga mencapai jutaan rupiah per bulan hanya untuk membeli air bersih.
Sementara itu, PDAM seolah-olah kurang responsif. Hingga sekarang belum ada sosialisasi terobosan-terobosan, inovasi, dan solusi prediktif untuk memuluskan air bersih mengalir melalui kran-kran masyarakat. Akibatnya, rasa galau masyarakat terus mengambang. Mereka tidak tahu persis, entah sampai kapan krisis air akan berakhir di wilayah NP.

Air Bersih Sebelum Pariwisata
Dulu, sebelum pariwisata berkembang (tahun 200-an), air kran di Nusa Penida mengalir lancar setiap hari. Daerah-daerah yang dialiri air PDAM tidak pernah mengeluh. Mereka merasa aman-aman saja, karena sangat jarang mati.
Namun kini, keberadaan air bersih begitu berharga. Kondisi ini seperti mengulang masa kecil saya pada tahun 80-an. Masa ketika air PDAM belum menyentuh wilayah NP. Kala itu, masyarakat NP mengandalkan sumber air bersih dari cubang-cubang (sumur tadah hujan) milik pribadi.
Air bersih dari cubang ini biasanya difokuskan untuk keperluan minum dan memasak. Sementara untuk keperluan mandi, mencuci, memandikan ternak dan lain-lain biasanya menggunakan sumber air dari semer (sumur dari air bawah tanah).
 Keberadaan semer harus dekat dengan pantai/ lautan, dengan kondisi permukaan tanah yang datar (landai). Artinya, keadaan permukaan tanah itu harus serendah mungkin dari permukaan laut. Kondisi inilah yang menyebabkan air akan mudah muncul dari dalam tanah. Hanya saja, air akan terasa agak asin. Karena, air yang muncul dalam tanah itu mungkin bersumber dari air laut. Meski agak asin, tetapi kandungan garamnya tidak seutuh air laut.
Dari segi kepemilikan, semer dapat dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, semer milik pribadi untuk konsumsi sendiri. Kedua, semer milik umum untuk kelompok (pengempon) tertentu. Semer pribadi biasanya dimiliki oleh orang-orang pesisir pantai. Sedangkan, semer umum dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di ketinggian (perbukitan). Dulu, para tetua mereka  bergotong-royong membangun semer, kemudian airnya dinikmati oleh generasi berikutnya.
Jika dilihat dari kadar airnya, semer juga dibedakan menjadi dua yaitu semer yang airnya asin dan tawar. Semer tawar inilah yang dikonsumsi (untuk minum dan masak) oleh masyarakat. Namun, keberadaan semer ini agak jauh dari laut dan lebih dalam. Ukurannya, saya tidak tahu persis. Dari contoh yang ada, misalnya Semer Gamat Teben, jaraknya dari laut tidak lebih dari satu km. Dalamnya, berkisaran 15 m ke atas, sedangkan semer air asin tidak lebih dari 5 m.
Awalnya, keberadaan semer (asin maupun tawar) menjadi tumpuan utama ketika masyarakat belum memiliki sumur tadah hujan. Masyarakat sangat bergantung pada air yang ada di semer. Mereka harus menyediakan waktu setiap hari untuk mengambil air (warga di tempat saya menyebutnya dengan istilah kayeh) di semer. Biasanya,  setiap dini hari yaitu pukul 03.00-04.00, dalam kondisi yang gelap gulita dan medan jalan yang terjal.
Begitu warga bisa membuat cubang sendiri, frekuensi aktivitas kayeh mulai berkurang. Dalam stok air yang aman, mereka bahkan tidak melakukan aktivitas kayeh ke semer air tawar. Sedangkan, untuk memberi minum dan memandikan sapi-sapi tetap seperti biasa (sekali dalam dua hari).
Kemudian, tahun 80-an, beberapa daerah di wilayah NP mendapat bantuan bak penampungan air dari pemerintah. Kondisi ini membuat aktivitas kayeh semakin sepi, kecuali yang dekat dengan lokasi semer. Semer-semer makin kehilangan pengempon atau massa.
Namun demikian, ketika musim kemarau berkepanjangan, yang tak bisa ditebak ujungnya, masyarakat tetap merasa was-was. Seringkali, stok air cubang dan bak penampungan pemerintah kering kerontang. Dalam situasi beginilah, saya ingat masyarakat di daerah saya mengadakan ritual memohon hujan. Ritual ini dilakukan setiap tahun, tidak hanya karena krisis stok air cubang, tetapi berkaitan pula dengan kegiatan bercocok tanam palawija di kampung saya.
Seingat saya, pasca ritual memohon hujan, selang beberapa hari atau minggu, hujan pasti turun di kampung saya. Gaung tradisi ritual memohon hujan ini berlangsung hingga saya tamat SMA (tahun 1998). Ketika air PDAM masuk-masuk ke kampung saya (tahun 200-an), gaungnya kian memudar.
Orang-orang mulai tak peduli dengan ritual ini. Masyarakat perlahan-lahan putus hubungan dengan semer-semer. Bak-bak penampungan air milik pemerintah roboh, tak terurus. Bahkan, cubang di rumah pun dibiarkan terbengkelai. Segala keperluan berkaitan dengan air sepenuhnya diakomodir oleh air kran, mulai dari masak, mencuci, mandi, dan termasuk keperluan ternak. Untuk keperluan minum, masyarakat beralih ke air mineral kemasan. Namun, ada pula beberapa masyarakat masih mengkonsumsi air tadah hujan dengan cara dimasak terlebih dahulu.
Sekarang, ketika ketergantungan masyarakat telanjur total kepada PDAM, air bersih justru mengalami krisis di NP. Untuk mengantisipasi persoalan ini, pemda Klungkung mewacanakan akan mengecek desa-desa yang belum terjangkau air bersih di NP, dengan menggunakan teknik geolistrik. Rencananya, pemda akan membuat beberapa titik sumur bor (nusabali.com).
Pemda juga meminta PDAM Klungkung melakukan inventarisir, menyelesaikan perencanaan dan biaya yang diperlukan untuk merealisasikan 100 persen air bersih bagi masyarakat Nusa Penida. Setelah berkantor selama kurang lebih dua minggu, Dirut PDAM Klungkung (Renin Suyasa) berencana melakukan pemasangan pipa induk dengan diameter 6 inchi dari Batumulapan sampai Desa Suana. Kemudian, dilanjutkan dengan pemasangan pipa GWI 2 inchi sepanjang 700 meter di Dusun Pengaud untuk suplay air dari mata air Guyangan. Sambungan ini untuk pelayanan di zona Karangsari dan Suana yang bersumber dari mata air Penida dengan kapasitas debit yang belum maksimal. 
Setelah pemasangan pipa tersebut, Renin Suyasa berencana melakukan identifikasi sambungan rumah (SR) yang terpasang. Selanjutnya, uji coba pengaliran air (news.beritabali.com).
Wacana dan rencana ini tentu tidak main-main, karena pemda Klungkung berharap dapat mewujudkan 100 persen air bagi masyarakat NP pada tahun 2020. Sebuah optimisme yang pantas kita dukung dan patut diberi acungi jempol.
Namun, sebagai sebuah wacana dan rencana, masyarakat NP diharapkan untuk bersabar. Sambil menunggu realisasinya, masyarakat NP tentu harus kreatif dalam mengatasi krisis air bersih. Sebab, air bersih merupakan kebutuhan dasar yang tidak bisa ditunda-tunda.
Karena itu, gagasan masyarakat untuk memanfaatkan cubang patut kita dukung. Belakangan, beberapa masyarakat sudah merevitalisasi cubang untuk dimanfaatkan tidak hanya sebagai keperluan minum, tetapi untuk mandi, mencuci, memasak, dan lain sebagainya. Langkah konkret ini merupakan bentuk responsif masyarakat atas ketakberdayaan PDAM untuk memenuhi keperluan sehari-hari  masyarakat terhadap air.
Meski demikian, kita tetap berdoa dan berharap pemda Klungkung dapat segera merealisasikan rencana-rencananya untuk mencapai target yang diharapkan. Semoga penghargaan TOP BUMND menjadi pemantik bagi PDAM Klungkung untuk bekerja lebih optimal, sehingga kasus air bersih di NP dapat diselesaikan dengan tepat dan cepat.
 Sekarang, masyarakat NP sedang menunggu, sambil diganggu halusinasi tentang cubang-cubang, semer-semer, dan ritual memohon hujan—bukan ritual menurunkan Dirut PDAM, ya. Ngawur (bercanda dikit, ya). Yeeh…semoga semua pihak insaf, ya!