Bantal Bleleng (Foto: The Catar
Cottage)
Apa yang paling ikonik dari perayaan
Nyepi di Nusa Penida (NP)? Jika ditanyakan kepada generasi NP tahun 80-an dan 90-an,
maka jawabannya ialah bantal bleleng.
Jajan ini seolah-olah wajib ada saat Nyepi—meskipun sudah berlimpahan pangan
lainnya. Bantal bleleng dianggap
penting, pelengkap dan penanda Nyepi. Sampai ada ungkapan (di kampung saya), “Tanpa
bantal bleleng seperti tidak
merayakan Nyepi”.
Kedengarannya
dahsyat sekali. Ya, bantal bleleng memang
mampu menguatkan kesadaran kolektif warga di kampung saya. Kesadaran untuk
mengadakan bantal bleleng menjelang
Nyepi secara berulang dan konsisten. Jadi, jangan heran jika setiap menjelang
Nyepi, dapur-dapur warga bergelantungan dengan bantal bleleng.
Lalu,
apa sih istimewanya bantal bleleng
itu? Secara komposisi, sebetulnya mirip saja dengan bantal ketan pada umumnya. Ada
parutan kelapa, kacang, dan pisang. Namun, perbedaan pokoknya ialah bahan utamanya
yaitu bleleng. Bleleng adalah varietas sorgum (di Bali dikenal dengan nama jagung
gimbal), satu kelas dengan tumbuhan serealia seperti padi, jagung dan gandum.
Biji
bleleng mirip beras atau ketan. Akan
tetapi, bentuknya lebih pendek, lebih besar, bulat dan montok. Sekilas,
warnanya seperti beras merah. Tekstur bijinya lebih keras. Karena itu, dibutuhkan
energi yang ekstra dalam proses pengolahannya menjadi bantal terutama saat
proses penghalusan biji bleleng.
Untuk
mendapatkan biji bleleng yang halus, bleleng harus ditumbuk berkali-kali di
dalam lesung batu. Biji yang sudah halus direndam (kurang lebih setengah hari)
agar tekstur bijinya menjadi lebih lunak.
Selanjutnya,
biji bleleng ditiriskan dan dijadikan
adonan bersama parutan kelapa, kacang merah khas NP, garam secukupnya (tanpa
gula) dan potongan buah pisang. Adonan ini dimasukkan ke dalam kulit bantal yang
terbuat dari daun kelapa lalu diikat.
Nah,
menunggu proses matang juga membutuhkan waktu ekstra. Adonan harus direbus dengan
api kayu bakar kurang lebih 6 jam. Rentang waktu ini mampu menghasilkan bantal bleleng yang “lepah”, beraroma khas, dan
layak dikonsumsi selama kurang lebih 2 hari.
Bantal
bleleng memiliki cita rasa yang
berbeda. Legit, permukaan luarnya lengket seperti sagu, dalamnya sedikit gesar/ pesak (kasar) dan rasanya sedikit
hambar. Namun, rasa hambar ini tidak kentara karena ditopang oleh garam, rasa
kacang merah dan manis buah pisang. Komposisi bahan inilah yang membangun satu
kesatuan rasa bantal bleleng, yang
sangat akrab, familiar dan favorit bagi lidah generasi NP tahun 80-an dan 90-an.
Mengapa Bantal Bleleng Menjadi
Ikon Nyepi?
Seberapa
hebat sih rasa bantal bleleng itu
sesungguhnya? Mengapa mampu menjadi pangan ikonik perayaan Nyepi era anak NP
80-an dan 90-an? Jika ngomongin soal rasa tentu sangat personal dan relatif.
Namun, ketika panganan itu mampu merebut (mencuri) lidah masyarakat secara
masif, kita harus angkat tangan. Dalam
artian, lidah massal itu objektif menilai bahwa rasa bantal bleleng memang enak (favorit).
Di
luar faktor rasa, bantal bleleng juga
memiliki kelebihan yakni hasil bumi lokal. Biji bleleng ditanam hampir oleh semua petani di NP. Biji bleleng ditanam dengan model tumpang
sari, selang-seling di antara tumbuhan palawija lainnya seperti jagung, kacang
merah dan singkong.
Di
antara palawija lainnya, bleleng
termasuk tumbuhan kuat dan bandel. Tumbuhan asal Afrika ini memiliki daya adaptasi yang
luas, toleran terhadap kekeringan, produktivitas tinggi, dan lebih tahan
terhadap hama serta penyakit. Pohon bleleng mirip dengan jagung. Pohon dengan tinggi
rata-rata 2,6-4 m dilapisi lilin (putih) yang tebal pada batang dan pelepah
daunnya. Bleleng memiliki morfologi yang mencakup akar, batang, daun, tunas,
bunga, dan biji.
Dengan kelebihannya itu, bleleng sangat baik dan cocok
hidup di NP yang kering dan berbatu kapur. Panen bleleng
hampir tak pernah gagal. Masyarakat
di kampung saya tidak perlu repot-repot mendatangkan biji bleleng dari luar daerah (seperti
halnya ketan atau beras). Biji bleleng ada di sekitar warga. Jadi,
secara ekonomi (biaya) sangat murah meriah. Dulu, kalau tidak punya bleleng sangat mudah dikasi gratis
oleh tetangga. Pokoknya, tidak sampai membeli bahan (bleleng).
Selain faktor rasa dan
ekonomis, bantal bleleng menjadi favorit (ikon)
bisa jadi karena proses adaptasi lidah kelompok. Karena panganan itu dekat dan
selalu diadakan, cepat atau lambat lidah suatu kelompok itu akan terbiasa
merasakan enaknya bantal bleleng.
Cita rasa lidah yang sama,
memberikan kesempatan kepada bleleng untuk terus eksis ditanam
di ladang-ladang warga. Sama halnya dengan jagung dan singkong di NP. Jagung
dan singkong merupakan makanan pokok (nasi) bagi masyarakat NP. Kedua palawija ini
tidak pernah absen ditanam oleh para petani di NP.
Faktor ikonik lainnya ialah
bantal bleleng termasuk jajan yang
mungkin paling awet pada zamannya. Zaman ketika kulkas belum merambah ke
rumah-rumah warga. Mungkin satu-satunya jajan yang bisa bertahan sampai 2
harian ialah bantal bleleng.
Jadi, kuat dugaan bahwa unsur
keawetan ini menyebabkan bantal bleleng menjadi panganan favorit
dan ikonik saat Nyepi. Ya, karena bantal bleleng sejalan dengan spirit (salah
satu aspek) Catur Berata Penyepian yaitu tidak boleh menyalakan api. Maksudnya,
selama Nyepi bantal bleleng memang tidak perlu lagi
bersentuhan dengan api.
Menyalakan api zaman tahun
80-an dan 90-an, sangat riskan bagi warga. Pasalnya, setiap warga masih
menggunakan api kayu bakar. Bisa dibayangkan bukan kalau api menyala? Asapnya
akan cepat meluber. Ini akan mengundang pecalang datang dan siap-siaplah
terkena awig-awig denda desa adat.
Di samping awetnya, bantal bleleng juga ramah dikonsumsi oleh
segala umur baik anak-anak, remaja termasuk orang tua. Hal ini tidak lepas dari
kandungan nutrisi dari biji bleleng itu sendiri. Mungkin soal
kandungan ini sedikit masyarakat yang menyadarinya, karena harus dibuktikan
dengan research (penelitian).
Terkait dengan kandungan,
ada berbagai sumber terpercaya yang menyebutkan bahwa bleleng (sorgum) memiliki
kandungan Glikemik Indeks (zat gula) yang rendah tetapi nilai karbohidratnya
ekuivalen dengan beras. Jenis
karbohidrat yang dikandung oleh biji bleleng yaitu pati, gula terlarut, dan serat.
Kandungan gula terlarut pada bleleng (sorgum) terdiri dari sukrosa,
glukosa, fruktosa dan maltosa. Selain itu, bleleng juga bebas gluten (senyawa protein).
Artinya, bleleng juga layak dijadikan
makanan pokok. Namun, nyatanya bleleng tidak favorit dijadikan makanan
pokok (nasi) di NP. Soal makanan pokok, nasib bleleng tidak seperti jagung dan
singkong. Bleleng lebih khusus diolah
menjadi jajan seperti jaja bleleng (seperti jaja kukus), bantal bleleng, dan tipat bleleng.
Namun, di antara berbagai
olahan biji bleleng, batal bleleng dianggap paling favorit.
Bahkan, tidak tanggung-tanggung, bantal bleleng diberikan tempat khusus
setiap pergantian tahun Caka. Momen yang disakralkan oleh masyarakat Bali,
termasuk masyarakat NP.
Karena itu, mengunyah bantal bleleng di hari Nyepi seperti ritual membangunkan kesadaran tubuh. Kesadaran tentang merayakan Nyepi. Kesadaran itu bertambah kuat ketika malam bertahta, sambil mendengar suara alam dan memandang langit. Dalam kondisi demikian, mengunyah bantal bleleng seperti mengunyah sepi dan damai.
Sayang, momen spiritual itu kini mengalami dinamika. Dalam 3 tahun belakangan ini, eksistensi bantal bleleng mulai oleng. Pasalnya, para petani sudah tak kuasa melawan hama burung pemakan biji bleleng. Puluhan burung perkutut, tekukur, perit, dan ratusan burung punan siap menjarah ketika pohon bleleng berbuah di ladang-ladang pak tani.
Hama burung itu seperti tak terkendali. Akhirnya, dari 2 tahun terakhir ayah saya (termasuk petani lain) sama sekali tidak menanam biji bleleng. Artinya, besar kemungkingan Nyepi di NP pada masa mendatang tanpa bantal bleleng. Lalu, apa jadinya Nyepi tanpa bantal bleleng? Masihkan para warga menemukan esensinya di malam gelap sepi? Atau jangan-jangan esensi Nyepi akan diseret ke arah bimbang, menyimpang dan hilang terurai dalam perut-perut burung pemakan biji bleleng itu.